Padepokan Witasem
kepak sayap angsa, padepokan witasem, prosa liris
KBA

Wong Edan

Aku melihat diriku ketika fajar telah berada di gerbang sunyi. Aku suka kata itu, sunyi, ini seperti membawaku duduk di sisi rembulan ketika ia bersinar terang.

Di sebelah kiri ada seseorang yang aku kenal sebagai Toyip. Aku berkata padanya, “Tidakkah engkau lelah pada kaki ketika menyusur jalan sunyi?”

Dia menjawab, “Belum. Justru aku merasa bugar karena perjalanan ini baru dimulai.”

Soleh, satu sisiku yang lain, menyahut, “Lelah itu ada, kawan. Aku merasa begitu. Penat telah singgah di setiap jarak yang dapat aku saksikan. Sesungguhnya manusia adalah seorang pengembara, ia tidak berhenti lama di suatu tempat. Ia mempunyai tujuan akhir.”

loading...

Seseorang menyela dengan nada ketus. Aku melihat sebilah pedang keluar dari matanya. Wong edan! batinku berkata kasar.
Ia berkata, “Kita masing-masing adalah seorang munafiqun. Bagaimana aku dapat berkata sedang berusaha menjadi baik? Sementara kita sama tahu bahwa kita bukan pemilik hati sesungguhnya.
Aku tahu, aku tahu jika kalian akan mengatakan bahwa hati selalu berada di atas penggorengan. Tapi apakah itu adalah sebuah pembenaran? “

Aku ingin menghentikannya tapi mustahil. Dia adalah seorang santri kyai berkubu bintang. Membantah atau menyuruhnya berhenti? Itu sama dengan memasak air di atas pasir. Tindakan bodoh!

Ia masih berkata, kali ini lebih menyakitkan, “Wahai kalian! Sikap dan hati adalah sebanding dan setara. Tetapi, lihat! Kalian dapat saksikan dengan mata yang tidak buta.

Kalian paham?”

Ia berkeliling sambil memandang wajah kami, satu demi satu. Aku mencuri pandang. Seraut wajah Soleh terlihat seperti kapas. Dan keringat dingin mengembun dari bawah dagunya. Toyip? Dia manusia keji. Seorang pemangsa berdarah dingin. Tidak ada kelembutan yang tersisa atau mengendap dalam hatinya. Namun, kala itu, Toyip tak beda dengan bulu tikus yang dipintal.

Ke arah yang lain, aku beradu pandang dengan Soleman. Lelaki muda yang jenaka. Setiap peristiwa adalah lelucon baginya. Bibirnya bergetar, “Kebusukan adalah keindahan yang tidak terlihat olehmu.”

Aku diam. Mungkin ada benarnya. Mungkin ada busuknya. Mungkin kamu. Mungkin aku. Kamu. Aku.

Wedaran Terkait

Terbit ; Novel Penaklukan Panarukan

kibanjarasman

Tanpa Tudung

admin

Satu Kata Saja

kibanjarasman

Rengkuh Ombak Panarukan

admin

Rahwana dan Wanita

kibanjarasman

Puisi : Ruas Malam

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.