Dia perempuan yang pernah menasbihkan dirinya sebagai teman. Kadang bibir tipisnya bergumam, “Jangan resah, ada aku yang selalu siap mendengar segala gundah.”
Aku terbuai dengan sejuta tawaran menyejukkan sukma bernama persahabatan. Jika sekarang semua itu terasa mencabik jiwa, aku yakin setan pasti tertawa. Dia bahagia. Terbahak. Mengejek dengan mata merah dan napas panas.
“Andini, kamu telah merasakan. Lihatlah dirimu. Kamu sudah lemah, Sayang. Aku melihatmu semakin lemah. Bahkan bila ada orang menghinamu, itu tak lain karena kamu adalah manusia lemah!”
Tawa para penghuni neraka itu terus saja menggema. Menertawakan segala yang menimpa. Sesekali mereka membisikkan hasutan agar aku memupuk kebencian di hati. Dasar setan!
Aku berkalung kecewa, tapi perempuan berjuluk sahabat itu berjalan biasa saja. Bibirnya tak lagi mengalunkan rangkai kata penyejuk jiwa. Aku terluka, tapi tak berdaya.
Meraih perempuan yang pernah berbagi suka dan duka itu, rasanya seperti mengejar bayangan semu. Jangan! Jangan kau bilang aku yang harus datang. Menangkupkan tangan, membungkuk, lalu merapal mantra. Cih!
Aku bukan Rahwana yang mencintai Shinta melebihi Alengka, atau Sengkuni yang menanam kebencian di hati pangeran Hastina.
Aku hanya perempuan yang berjuluk sahabat.
Aku hanya perempuan pengiring tawa dan tangis cerita.
Kini, peranku sepertinya usai.
Yunda tak ingin lagi lembar hidupnya berhias kelir dariku. Aku benar-benar terluka, tapi tak berdaya.
Aku rindu binar matanya saat menyambutku, lalu bibirnya mengembang saat menguntai aksara tentang laki-laki yang dipujanya. Aku tersenyum. Kami bahagia.
“Andini! Semua lamunanmu telah basi!”
“Setan! Tak bisakah kau tutup mulut nistamu itu barang sebentar?”
Sekali lagi makhluk dari api itu tertawa. Membahana. Membuatku makin muak dengan ketidakberdayaanku. Aku lemah.
“Oh, Sayang. Untuk apa menangis? Bukankah kau sudah tahu jika kesedihan adalah kepastian?”
“Hentikan! Kau tahu kalau aku sayang padanya, bukan?”
“Perasaan sayang itu makin membuatmu lemah, Andini sayang!”
“Aku Andini. Aku hidup bukan untuk ditertawakan atau ditinggalkan!”
Dia meringkik. Melengking dan menyakitkan telinga. Setan! Dia menertawakanku yang memuja persahabatan.
Duhai, Yunda. Mengapa kau tawarkan keindahan jika yang kauberi hanya kesedihan?
Denok Utaminingtias, 24 Juli 2020
1 comment
I read this post fully on the topic of the comparison of most up-to-date and previous technologies, it’s awesome
article.