Cahaya bulan memantul keemasan dari balik riak sungai. Gelombang kecil yang tercipta dari langkah kaki para gadis, menari-nari di sela jari kakiku. Langkahku terhenti. Dingin menembus hingga ke tulang. Aku menoleh. Mencari Han Rudhapaksa, kakekku.
Sorot mata hitam miliknya, memupus keraguan yang sempat menahan langkahku. Tubuh Han Rudhapaksa bergeming. Seperti batu besar di sisinya, tegak berdiri, seakan menantang Sang Hyang. Dalam kelam warna malam, mungkin Han, mungkin juga batu itu, turut meresapi keheningan yang wingit. Keheningan yang aku rasakan saat langkahku semakin jauh ke tengah sungai.
Aku memilih tempat yang sepi, jauh dari para gadis. Mungkin, mereka sama sepertiku. Mencari sesuatu yang bahkan kami sendiri belum mengerti. Tubuhku mulai tenggelam separuh dada. Aku tengadah. Bulan berwarna merah keemasan.
“Sang Hyang, apakah malam ini akan menjadi milikku?”
Ikuti : Sang Maharani
Jantungku berdebar kencang, menanti apa yang akan terjadi. Aku memejam mata.
“Apa kau takut, Dyah Murti?” Terdengar suara perempuan begitu dekat di telingaku. Tubuhku meremang. Aku tak ingat ada seseorang di dekatku. Bahkan dia tahu namaku.
“Bukalah matamu!”
Seorang perempuan, dengan payudara lebih besar dan indah dari semua perempuan di rumahku, menatapku lekat. Bayangan bulan di dalam air, meliuk-liuk mengikuti gerakan tangannya. Wajahnya tak bisa aku lukiskan, apakah indah atau menakutkan? Aku tak bisa menaruhnya dalam ingatan.
“Kau akan merasakan panas dan dingin di saat yang bersamaan. Bagaimana rasanya, hanya kau yang tahu. Aku akan membawamu dalam pengalaman batin yang tak kaudapatkan di tempat lain.”
Tangannya terulur, meraih tanganku. Aku dan perempuan itu, tenggelam dalam pelukan sungai.
Re Pramudya, 30 Juli 2021