Aku terdiam. Sebuah batu besar terasa mengganjal di kerongkongan. Banyak tanya yang tak mampu aku ucapkan.
Angin yang berhembus berbisik padaku. “Jangan lupakan apa yang menjadi tujuan kepulanganmu, Senggani. Kamu ingin mencari jawaban bukan? Tapi kenapa kamu diam?
“Nduk, hatimu pasti bertanya-tanya. Untuk apa mbah Kung mewariskan keris ini padamu?”
Aku terkesiap, rupanya suara hatiku terdengar oleh bapak.
“Sejujurnya bapak juga ndak tahu, Nduk. Tapi bapak ingat satu pesan terakhir mbah Kung saat menitipkan keris ini. ‘Sapa kang temen bakal tinemu, Ngger. Mligi kanggo putuku Senggani, lantaran keris iki.”
“Kenapa waktu itu Bapak ndak bertanya?”
“Semua terjadi begitu cepat, Nduk. Hanya beberapa saat sebelum Mbah Kung kembali pada Sang Pencipta. Tapi bapak yakin, Mbah Kung tidak pernah main-main dengan keputusannya. Tugas kita yakin dan menjalani apa yang sudah ginaris.”
“Berarti saya salah duga, Pak. Tadi saya sempat berpikir, jika Mbah Kung mewariskan keris ini untuk melawan kuasa gaib yang ada dalam tubuh saya. Tapi, dari cerita Bapak, saya yakin bukan itu maksud mbah Kung sesungguhnya. Saya tidak tahu itu apa, tapi kula dados sengkleh, Pak.”
Bapak menepuk pundakku, mungkin beliau merasakan kesedihanku. Ujarnya, “Aja sengkleh, Nduk. Percayalah, mbah Kung pasti bermaksud baik. Seperti Gusti Allah yang maringi kowe daya linuwih kang ora diduweni samubarang wong.”
Aku merasakan kesejukan seperti hujan yang turun saat kemarau panjang. Dari kata-kata bapak, rasa itu berasal. Menghapus debu keluh yang mengepul menyumbat pernapasan
“Kamu tahu kan, hidup itu pilihan, Nduk. Ada dua pilihan yang dapat kamu pilih saat ini. Sumeleh dan sengkleh. Pilihlah yang membuatmu bahagia, itu pesan bapak.”
Sengkleh, mendatangkan awan kelabu di langit hatiku. Awan yang bergulung-gulung menikam jantung, disertai halilintar yang membuat hati ambyar, remuk menjadi keping-keping tak berbentuk.
Sementara sumeleh, dia datang tanpa suara. Bersama bening embun yang menyambut rekah sang fajar. Dia mendekapku hangat lalu mengantarku pada terang sang surya.
Aku menghembuskan napas. Berkata pada malam yang gelap, “Sudah seharusnya aku memilih bahagia tapi tolong aku. Malam, temani aku hingga gelap berganti terang, agar aku tidak terperangkap dalam gamang. Memilih berdiam dalam pelukmu dan tak sabar menanti datangnya terang.”