Lampu jalan memanjang tak terang. Sudut kota dipenuhi kerlip kunang-kunang. Redup lampu belakang motor di depan seolah berkata padaku, “Tidakkah kau teringat padanya?”
Aku alih pandang. Membeku baris pohon meski dedaun sesekali mengalunkan pilu lagu.
“Tak bosan kau titi sebaris demi sebaris ruas. Akankah kau menetap dan mengendap di bawah angkasa desa?”
Tarik panjang, udara berbelit. Ia tak lagi ramah. Aku coret pada angin yang abai padaku, “Jaga tulisan ini. Biarlah ia membaca. Ia akan mengerti.”
“Aku tak mampu mengemban.”
“Kau adalah empu!”
“Bukan! Berikan kata itu pada angin malam.”
“Ia tak pernah datang padaku.”
“Tetapi ia sahabatmu.”
“Sahabat tak pernah berpaling.”
“Ada kala ia lelah mengikutimu.”
“Ia tahu aku akan berhenti. Sekarang, aku ingin kau pergi. Temui dia!”
“Lalu?”
“Katakan, napas itu belum membiru ketika beredar di sisinya.”
“Kau berkata tentang kehangatan?”
“Kau masih bertanya itu? Pergilah! Ia akan menantimu.”