Padepokan Witasem
KBA

Ia Bernama Sanumerta 1

Rumpun bambu yang tumbuh di seberang jalan depan rumahnya menjadi petunjuk bagi orang yang mencarinya. Ia tinggal di sebuah rumah berdinding batu.

Ia orang yang cukup. Dua kendaraan roda empat keluaran baru menjadi tanda kemampuannya. Sanumerta dikenal sebagai seorang pedagang alat-alat pertukangan. Dan tidak ada tetangga yang mengetahui bahwa ia juga merangkap sebagai penyamun. Penyamun yang menyelinap di antara gedung tinggi dan orang berdasi. Lihai dalam mengurus izin galian. Mampu membeli air mata dan menukarnya dengan darah.

Bahkan saat gelegar guntur meremas hati banyak orang, Sanumerta terbahak di genangan memabukkan. Ia memandang benci pada perempuan yang mencium lututnya. Ia muak mendengar tangis pedih dari anak yang ditinggal mati oleh bapaknya ketika longsor terjadi di tebing sebelah barat.

Sanumerta datang seperti dewa penyelamat. Topeng malaikat mulus menempel di wajahnya. Segepok lembaran merah ia julurkan pada perempuan yang ditimpa musibah.

loading...

“Biarkan ia tinggal bersamaku, Tuan,” tersedu perempuan itu ketika Sanumerta membawa anak gadisnya.

Sesengguk pelan terdengar dari bibir gadis muda ketika Sanumerta membelakanginya. Seringai puas terungkap di wajahnya.

“Legit, sempit dan menggigit!” kata Sanumerta lalu, ”aku tak lagi membutuhkanmu. Pulanglah! Jangan pernah terlihat olehku!”

Ia ucap kata menyayat, ”Kawinlah dengan siapa saja. Untukku, banyak gadis yang berbaris di belakangmu.”

Sanumerta selalu ada dan hadir di setiap musibah. Ia mengangkat satu kesedihan dan menancapkan perih pada keluarga yang sama. Saat gadis mereka harus pergi mengikuti Sanumerta, mereka tiba-tiba berada di persimpangan.

Mereka tidak akan kesulitan mencari makan, setidaknya untuk beberapa bulan. Namun mereka tak dapat benahi kemalangan yang menimpa perawan.

Satu orang dapat berkata, ”Itu lingkaran hidup. Perawan hanya menunggu waktu. Saat ini ia adalah milik Sanumerta. Bila tidak ada tanah longsor yang membunuh bapaknya, ia akan serahkan miliknya pada orang lain. Jadi, diamlah!”

Orang lain hanya mengumpat dan memaki Sanumerta. Dalam hati. Tanpa suara. Sanumerta berbuat tanpa cela dan tidak berdosa.

“Dosa?” ia bertanya pada masa silam.

Orang berselendang hijau itu mengangguk. Katanya, ”Setiap perbuatan akan mendapat dosa atau pahala. Tergantung. Baik atau jahat.”

“Jawablah, apakah aku jahat?” Sanumerta bertanya.

“Kau setubuhi gadis-gadis itu!”

“Mereka adalah budak. Kapan saja aku inginkan, aku datangi mereka. Aku tiduri meski mereka telah menjadi istri,” sahut Sanumerta, “tapi aku tak lagi peduli. Mereka tak lagi suci. Setiap hari mereka dikeloni lelaki yang mengaku sebagai suami. Suami. Kau tahu, apa itu suami?”

Lelaki berselendang hijau tiba-tiba tertimpa malu yang cepat menyebar di wajahnya. Ia mengerti arah bicara Sanumerta. Tatap matanya tak lagi tajam. Ia tak sanggup beradu pandang dengan Sanumerta. Ia menerima kertas dengan angka yang tertera. Ia hidupi anak dan istri dari pemberian Sanumerta. Ia palingkan muka!

Sanumerta keluar dari sebuah penginapan mewah. Ia rampungkan satu pergumulan ranjang dengan wanita panggilan. Tiba-tiba ia ingin pulang.

Setiap bidang dalam semesta belum berhenti bergulir. Matahari belum dapat menyusul rembulan. Tetapi perempuan molek telah berhenti mencintai Sanumerta.

“Ayah!” ia memanggil Sanumerta, lelaki yang telah belasan tahun mendampinginya sebagai suami.

Sanumerta duduk bersandar di ujung ranjang. Ia belum berganti pakaian setibanya dari penginapan.

Sanumerta hanya menarik napas. Tidak menjawab. Ia tahu istrinya yang bertubuh sintal itu akan menyemburkan kata-kata yang banyak dikutip dari ahli agama. Berkhotbah tentang khayalan. Berceramah seperti orang yang tahu segalanya. Tetapi pada siang, istrinya menatap aneh. Sorot mata hampa memancar dari pandangnya.

“Kau tentu masih ingat! Kau pernah berkata padaku tentang bunga yang kuncup dan berkembang. Tentang lembah yang tidak pernah berhenti untuk berbisik. Tentang ngarai yang dapat mendengar jerit hatimu. Tentu kau ingat itu semua, Ayah!”

Nada yang aneh keluar dari tenggorokan wanita berparas ayu itu.

Ia duduk bersebelahan dengan Sanumerta. Satu tangan ia letakkan di atas paha suaminya, kemudian,” Namun kau tidak peduli dengan hatiku. Setangkai bunga yang mulai layu. Aku tak mampu berkata lantang bahwa aku rindu padamu.”

Sanumerta bergeming.

“Aku telah mendengar semuanya. Aku melihatmu saat datang ke rumah-rumah derita. Lolong tangis sepanjang malam? Aku mendengarnya. Satu demi satu kau koyak kesucian anak-anak Hawa. Lalu kau berkata tentang penebusan,” lanjut istrinya.

Perempuan berbalut kain ketat dengan bagian atas yang terbuka diam sesaat. Kemudian, “Buramnya pagi bukan karena mendung meringkuk di bawah mentari tetapi karena kabut yang tidak terangkat.

“Dan itu dari hatimu, Sayang.

“Ketika Tuhan membagi cinta, semesta diliputi bahagia selama jutaan tahun. Lalu Ayah datang dan merenggut seluruhnya. Tanpa ada yang Ayah sisakan untuk jagad raya.

“Cinta, masih adakah ia di dalam hati Ayah?”

Belati kecil yang tersimpan rapi di balik ikat pinggang Sanumerta mendadak berpindah tempat. Menyentuh bagian dalam tubuh istrinya. Depan, belakang dan pangkal leher menjadi pemberhentian terakhir.

Jasad wanita malang itu terbujur di pembaringan hingga lewat senja. Sanumerta memanggulnya. Menerobos malam. Dan menguburkannya di tengah persawahan.

“Kau begitu anggun jika diam!“ desis tajam Sanumerta.

Sanumerta meninggalkan rumahnya.

Wedaran Terkait

Wong Edan

admin

Terbit ; Novel Penaklukan Panarukan

kibanjarasman

Tanpa Tudung

admin

Satu Kata Saja

kibanjarasman

Rengkuh Ombak Panarukan

admin

Rahwana dan Wanita

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.