Padepokan Witasem
Bab 1 Berlayar dari Tuban

Berlayar dari Tuban 3

Ayodha: Ekspedisi Pamalayu

Bab 1. Berlayar dari Tuban

Bagian Tiga

 

DI bawah siraman hangat mentari pagi. Ayodha, Dasarata, dan Sinabung berpacu di atas kudanya masing-masing. Mereka hanya bertiga saja, sebab rupa-rupanya Kebo Anabrang tidak dapat menemani mereka dalam perjalanannya mencari pasukan tambahan untuk Penjelajahan Pamalayu.

Sebagai pemimpin sebuah armada penjelajahan besar, Kebo Anabrang tentunya disibukkan oleh berbagai macam kepentingan yang mesti dituntaskan lebih dulu, dan saking banyaknya hal itu membuat dirinya tidak dapat berpergian terlalu lama dan terlalu jauh dari armadanya.

 

loading...

Sebelum melepas Ayodha beserta dua kawannya, Kebo Anabrang telah menyampaikan beberapa pesan penting kepada mereka. Salah satunya yang pula menjadi utama adalah untuk menemui sebuah perguruan yang tersembunyi hulu Bengawan Wulayu, yakni kawasan Pegunungan Sewu.

 

“Ini agak gila.” Dasarata melempar pendapat sambil terus memacu kudanya untuk berlari lebih cepat lagi. “Kita diminta mengumpulkan prajurit yang terletak di selatan Javadvipa untuk kemudian dibawa menuju Tuban yang terletak di utara Javadvipa hanya dalam waktu tujuh hari!”

 

“Sekalipun kita memang pendekar, tetap saja tidak dapat berkelebat dengan kecepatan teramat tinggi untuk waktu yang lama. Dengan berkuda, jarak sebegitu tidak akan dapat kita capai tepat waktu.” Sinabung menyambung perkataan saudara seperguruannya itu. “Sekarang mesti apakah kita kiranya?”

 

“Kita harus tetap berupaya sampai di tempat itu secepat yang didapat. Jikapun nyata-nyatanya berujung pada kegagalan, setidaknya kita telah berjuang keras untuk menuruti kehendak Mahisa Anabrang. Tugas kita tidak akan lebih sedaripada itu.” Membalaslah Dasarata.

 

Seketika itu pula, wajah Ayodha berubah menjadi teramat buruk untuk dipandang. Lalu katanya, “Apakah itu sama artinya dengan meninggalkan penjelajahan?”

Ayodha telah sangat bergembira karena mengetahui bahwa dirinya akan bertandang ke pulau seberang. Melihat lautan luas yang seolah saja tiada memiliki ujung. Bertemu dengan orang-orang yang sama sekali asing baginya. Dan banyaklah hal lain yang membuat Ayodha teramat senang demi mengikuti Penjelajahan Pamalayu.

 

Namun, kini kegembiraannya itu terancam musnah. Tetiba saja dirinya dibebani tugas yang hampir mustahil dapat tergenapi. Pula dengan Penjelajahan Pamalayu, terancam berangkat tanpa seorang Ayodha!

 

“Begitulah adanya, Ayodha!” kata Dasarata setengah berseru. “Kami tahu betul bahwa kau sangat ingin mengikuti penjelajahan itu, tetapi tugas dari Mahisa Anabrang haruslah kita utamakan betapa pun keadaannya.”

Ayodha menelan ludahnya dengan wajah kecut, selayaknya Padepokan Teratai Terbang mengajarkannya untuk terbiasa menelan kekecewaan seberapa pun besarnya itu. Kata salah satu gurunya, pendekar bijak bukanlah mereka yang selalu mendapat kebahagiaan dalam hidup, melainkan mereka yang telah terbiasa menghadapi kekecewaan dan situasi buruk; pendekar bijak adalah mereka yang dapat tetap bersikap tenang di tengah kemelut yang berkecamuk.

 

Maka kemudian Ayodha mengangkat wajahnya ke hadapan, seolah perguruan silat yang sedang dituju olehnya itu berada tepat di ujung jalan yang tengah dilaluinya saat ini.

 

Dalam benaknya, pemuda itu terus meyakinkan diri untuk mengutamakan tugas ketimbang segala kepentingan dan keinginan diri sendiri, tetapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam tentulah ia masih merasakan kekecewaan yang teramat besar.

 

Mereka terus berkuda hingga matahari menanjak ke ufuk tengah. Sinarnya tidak lagi terasa sejuk di kulit, begitu pula dengan hawa udaranya. Teramat menyengat. Pada saat itulah pula kuda-kuda mereka telah menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang agaknya tidak dapat ditawar lagi, maka segeralah ketiganya menepi dan beristirahat di bawah sebatang pohon besar yang teramat rindang hingga menghalau siraman mentari.

 

Saat kuda-kuda mereka meminum air dari kendi perbekalan,  tiga serangkai pendekar seperguruan itu melangsungkan perundingan yang genting lagi menentukan.

 

“Kita benar-benar tidak dapat mencapai Pegunungan Sewu tepat waktu dengan cara seperti ini. Setidaknya, kita masih membutuhkan waktu sekitar sepuluh hari untuk sampai di sana, dan sepuluh hari lagi untuk kembali ke Pelabuhan Kambang Putih. Itu berarti, kita akan memakan waktu dua puluh hari lamanya, sedangkan waktu yang diberikan oleh Tumapel untuk Mahisa Anabrang hanyalah tujuh hari.” Dasarata berkata sambil memperhatikan peta yang terbuat dari segulungan panjang kertas lontar di bawahnya. “Adakah kalian memiliki gagasan yang sekiranya dapat lebih baik ketimbang hanya dengan berkuda?”

 

Ayodha dan Sinabung tidak menanggapi pertanyaan tersebut. Masing-masing dari mereka telah terbenam dalam pemikirannya, begitu terbenam hingga seolah diri keduanya terpisah dari kehakikatan ruang dan waktu dunia.

 

Di dalam Perguruan Teratai Terbang, setiap murid diajarkan untuk dapat melakukan samadhi dalam keadaan apa pun. Selain memiliki kemampuan bertarung yang memumpuni, mereka juga harus memiliki kemampuan berpikir yang mendalam. Bagi perguruan tersebut, setiap perkara masalah akan menjadi jauh lebih baik bila diselesaikan menggunakan kecerdasan ketimbang kekerasan.

 

Setelah beberapa saat terlewati, tetiba saja Ayodha membuka matanya lebar-lebar dengan sinar cermelang, bagaikan telah menerima kilatan petir yang berisi gagasan cermelang!

 

Segeralah ia menyampaikan apa yang didapatkannya dari perenungan barusan itu, “Bagaimanakah bila kita kirimkan surat kepada mereka sedaripada harus mengunjunginya langsung? Bukankah dengan begitu, mereka dapat langsung mengirim pasukan ke Pelabuhan Kambang Putih tanpa kita harus menjemputnya?”

 

Untuk sejenak, Dasarata dan Sinabung menatap Ayodha dengan binar di mata keduanya, tetapi barang sejurus kemudian mereka kembali menundukkan pandang sambil menggelengkan kepala.

 

Dasarata segera menjelaskan kepada Ayodha tentang apa yang menjadi persoalan dari gagasannya itu.

 

“Bila kita mengirim surat, maka kecepatan kuda para pengirim surat pun tidak jauh berbeda dengan kecepatan kuda milik kita. Lantas kemudian, tidak satupun dari kita mengetahui letak pasti perguruan yang dimaksudkan oleh Mahisa Anabrang itu,” kata Dasarata. “Gagasanmu itu bagus sekali, Adha, setidaknya dapat sedikit lebih baik ketimbang gagasan berkuda ke Pegunungan Sewu untuk menjemput mereka. Akan tetapi, itu masih belum dapat menolong kita.”

 

“Tidak perlu menggunakan kuda, Kakang Dasa.” Ayodha tersenyum lebar. “Kita dapat menggunakan jasa burung pengantar surat menuju Pegunungan Sewu. Burung dapat bergerak dengan kecepatan yang tidak jauh dari kecepatan berkuda, terlebih lagi dapat menempuh jarak jauh tanpa perlu banyak beristirahat, tidak seperti kuda yang selalu membutuhkan istirahat setelah berpacu beberapa lama.”

Kembali Dasarata dan Sinabung mengangkat kepala. Seolah melihat sesinar harapan.

 

“Tetapi setelah sampai di Pegunungan Sewu, bagaimanakah kiranya surat tersebut dapat dibaca oleh orang-orang dari perguruan yang jelas saja menyembunyikan diri dari mata orang awam itu?” Sinabung melempar pertanyaan, diam-diam dirinya berharap Ayodha memiliki gagasan cermelang lainnya.

 

“Itulah yang harus kita pikirkan betul-betul. Mudah bagi kita untuk mengirim surat menuju Pegunungan Sewu, tetapi sulit sekali bagi kita  untuk memastikan surat itu terbaca oleh setidaknya salah satu anggota perguruan yang dimaksudkan Mahisa Anabrang.”

 

Mereka kembali merenung. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Mencari jawaban atas pertanyaan. Segalanya menjadi terasa sangat hening, begitu hening, sehingga bagaikan tiada yang dapat lebih hening ketimbang keadaan itu, meski sebenarnyalah angin sedang bersiur sekencang-kencangnya!

Wedaran Terkait

Berlayar dari Tuban 6

WestReversed

Berlayar dari Tuban 5

WestReversed

Berlayar dari Tuban 4

WestReversed

Berlayar dari Tuban 2

WestReversed

Berlayar dari Tuban 1

WestReversed

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.