Padepokan Witasem
Bab 1 Berlayar dari Tuban

Berlayar dari Tuban 2

Ayodha: Ekspedisi Pamalayu

Bab 1. Berlayar dari Tuban
Bagian 2

 

“Mengapa dimajukan?” BERKATALAH Dasarata dengan heran. “Seharusnya, sangkakala itu baru boleh ditiup setelah matahari berada di tepat pucuk bukit.”

“Barangkali ada satu-dua hal yang membuat perjalanan dimajukan.” Sinabung membalas. “Tetapi ini tetap tidak wajar. Singhasari telah mempersiapkan Penjelajahan Pamalayu dengan sebaik mungkin, tidak mungkin ada yang tertinggal.”

“Kita belum dapat memastikan.” Ayodha berkata seraya bangkit dari bangkunya. “Alangkah lebih baik bila kita memastikannya segera ketimbang berdebat di sini.”

loading...

Dasarata dan Sinabung singkat saja berpandang-pandangan sebelum menganggukkan kepala. Mereka telah saling bercakap di dalam tatap mata, dengan kalimat sepanjang-panjangnya, tetapi dengan waktu yang sependek-pendeknya.

Setelah meletakkan beberapa keping perunggu di atas meja, ketiga pendekar itu berkelebat keluar dari kedai. Bergerak dengan lima kali lipat kecepatan suara telah membuat tubuh mereka diselimuti kabut tipis. Dan bila bukan karena karena tenaga dalam yang membungkus, telahlah pasti tubuh mereka akan hancur berhamburan.

Dalam sekejap mata, mereka tiba di dermaga panjang yang menjadi tempat tertambatnya ratusan kapal jung. Kapal-kapal itulah yang akan bertolak menuju Tanah Malayu, Dharmasraya, membawa tawaran perdamaian.

Beberapa kapal telah mengembangkan layar mereka yang berwarna merah gelap—yang menjadi perlambangan Singhasari. Namun betapa pun, itu hanya beberapa kapal saja, sedangkan masih ada ratusan kapal lain yang belum mengembangkan layarnya. Bukankah itu sama saja menandakan bahwa rombongan penjelajah belum hendak berangkat dalam waktu dekat?

Keramaian di sekitar dermaga juga menandakan hal yang sama. Penjelajahan belum akan dimulai. Para pekerja kasar masih berlalu-lalang mengangkuti barang-barang menuju kapal. Prajurit-prajurit masih membersihkan geladak dan memastikan bahwa kapal telah layak jalan dan tiada sesuatu apa pun yang rusak; tetapi mereka terlihat sangat santai.

“Kalian dari mana saja?”

Ketika terdengar seruan, Ayodha lekas menoleh dan menemukan seorang pria bercambang tebal berjalan keluar menyibak kerumunan. Wajah orang itu terlihat tidak sabaran.

“Bapak Gale! Kami baru saja memesan air jahe di kedai dan langsung bergegas ke sini setelah mendengar tiupan sangkakala, tetapi tidak menjumpai segala apa yang mendesak. Apakah yang terjadi?” Dasarata sebagai yang tertua dari tiga serangkai pendekar itu menjawab menjawab dengan nada bersungguh-sungguh.

“Aduh! Mengapa kalian nikmat-nikmat memesan air jahe? Sudah kutekankan berulangkali bahwa kalian mesti sudah tiba di sini sebelum matahari terbit.”

Ayodha melirik Dasarata dan Sinabung yang telah berubah menjadi tidak enak raut wajahnya. Ia yakin wajahnya pun sedemikian rupa.

“Kami tidak menerima perintah yang seperti itu, Bapak.” Dasarata menggeleng. “Sungguhlah kami hanya diminta untuk datang setelah matahari menanjak hingga ke puncak bukit bila dilihat dari Pelabuhan Kambang Putih.”

“Aku memang tidak menyampaikannya secara langsung pada kalian, tetapi daku telah mengirim surat kemarin hari menuju Perguruan Teratai Terbang,” ujar pria paruh baya yang bernama Gale itu.

Dasarata menepuk dahinya sendiri sebelum berkata, “Bapak Gale haraplah memahami bahwa untuk mencapai perguruan kami dari tempat ini membutuhkan waktu sekiranya satu hari berkuda. Sudah sedari kemarin hari kami berangkat dari perguruan, sehingga perlulah kiai guru kami mengirim surat terusan menuju Pelabuhan Kambang Putih setelah surat tersebut sampai. Itu akan memakan waktu dua hari bila tidak ada masalah dalam perjalanan, maka seharusnyalah surat tersebut baru sampai di pelabuhan ini esok hari.”

Bapak Gale tampak terdiam beberapa saat sebelum menepuk dahinya pula. “Aku terlalu terburu-buru. Memang kabar itu mendadak teramat, jadi tidak sempat berpikir jernih. Tetapi sudahlah, jangan buang-buang waktu dengan mengungkapkan kesalahanku di sini, sebaiknya kalian bertiga bergegas segera menuju kapal utama, Mahisa Anabrang telah lama menunggu kalian.”

“Baiklah, Bapak Gala, kami berangkat sekarang.” Dasarata berkata cepat sebelum beralih menuju Ayodha dan Sinabung, hanya mengangguk sekali, sebelum berkelebat cepat.

Ayodha jelas mengetahui maksud anggukan Dasarata. Itu adalah perintah untuk berkelebat dan mengikutinya. Setelah merasa bahwa Sinabung juga mengerti maksud dari anggukan Dasarata tersebut, Ayodha segera berkelebat mengikuti Dasarata dari belakang. Sinabung melesat pula tepat di sampingnya.

***

KAPAL utama merupakan jung terbesar dari ratusan jung lainnya. Dengan empat pasak dan puluhan dayung panjang di bagian geladak bawah, kapal itu bagaikan dapat melaju secepat lari kuda. Disebabkan Kebo Anabrang yang pula sering dipanggil Mahisa Anabrang itu bertinggal di kapal ini sejak lama, maka begitulah kemudian kapal tersebut dinamakan Jong Anabrang, atau yang dapat diartikan pula sebagai kapal penyebrang.

Perlulah diketahui bahwa nama Kebo Anabrang sendiri bukanlah nama asli dari laksamana itu. Hingga saat ini, belum banyak orang yang mengetahui nama aslinya.

Di dalam sebuah ruangan kedap pada kapal itu, Ayodha bersama dengan dua saudara seperguruannya menghadap kepada Kebo Anabrang. Mereka semua duduk bersila dengan khidmat.

“Wahai, alangkah terlambatnya kalian datang.” Kebo Anabrang langsung memulai percakapan dengan suara lantang. “Gerangan apakah yang menjadi penyebabnya?”

“Keterlambatan kabar, Laksamana.” Dasarata dengan berani tetapi sopan menjawab pertanyaan dari pemimpin penjelajahan itu.

“Rupanya memang benar perkiraanku, surat itu tidak mungkin sampai pada kalian dengan begitu cepat.” Kebo Anabrang tersenyum tipis. “Kita sudah terlambat, maka sungguh harus kusampaikan niatku kepada kalian tanpa jamuan maupun basa-basi.”

Ayodha segera mengangkat kepalanya dan membetulkan bentuk duduk untuk dapat mendengarkan segala perkataan Kebo Anabrang tanpa ada satupun yang terlewat.

“Penjelajahan ini masih kekurangan pasukan pendekar,” kata Kebo Anabrang. “Kalian akan pergi bersamaku untuk mencari pendekar-pendekar lain yang hendak ikut serta dalam penjelajahan. Pertimbangan ini telah daku utarakan dalam surat yang kemudian kukirimkan kepada Paduka Raja Kertanagara, balasannya baru tiba kemarin hari, dengan isi yang menyatakan bahwa beliau memberikan waktu kepada daku untuk mengumpulkan pasukan yang diperlukan. Kerajaan tidak dapat mengirim pendekar lainnya untuk penjelajahan ini.”

“Itu berarti, penjelajahan akan ditunda keberangkatannya?” Dasarata bertanya tanpa memotong.

“Benar. Lebih baik terlambat ketimbang berangkat dengan persiapan yang tidak memandai, sebab bila sekali layar terkembang maka pantanglah kita surut pulang. Itu dapat berarti bahwa kita harus mempersiapkan segalanya, tidak ada kata menyerah bagi para pelaut.” Kebo Anabrang menganggukkan kepala. “Daku sudah menyiapkan beberapa kuda terbaik untuk kalian pakai, tetapi bila kalian memiliki kuda sendiri, bukan menjadi mengapa untuk memakainya. Kalian bebas memilih!”

“Biarkan saya mendapatkan kehormatan untuk memiliki kuda terbaik itu, Laksamana.” Dasarata menyilangkan sebelah tangannya ke muka dada sambil menunduk perlahan. Bersoja.

“Begitu juga dengan saya, Laksamana.” Sinabung pula bersoja.

Namun, Ayodha berani mengambil keputusan yang berbeda.

“Biarkanlah saya membawa kuda milik sendiri yang telah menjadi kawan saya, Laksamana, bila tidak merepotkan.”

“Bukan masalah. Daku telah melihat sendiri bahwasanya kuda-kuda dari Perguruan Teratai Terbang termasuk yang terbaik. Terlebih lagi bila itu telah menjadi kawanmu, Ayodha.” Kebo Anabrang tersenyum hangat.

Ayodha menjadi sedikit terkejut demi mengetahui bahwa laksamana yang membawahi ratusan kapal dengan ribuan prajurit itu dapat mengenali dirinya. Padahal, mereka belum pernah bertemu sebelumnya!

 

____

Catatan penulis:

Pada episode sebelumnya, disebutkan bahwa Amoghapasa dikirim pada 1275. Itu adalah salah. Yang benar, amoghapasa dikirim pada gelombang kedua ekspedisi di 1286. Saya telah memperbaikinya. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang pembaca dapati.

Wedaran Terkait

Berlayar dari Tuban 6

WestReversed

Berlayar dari Tuban 5

WestReversed

Berlayar dari Tuban 4

WestReversed

Berlayar dari Tuban 3

WestReversed

Berlayar dari Tuban 1

WestReversed

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.