Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 79 – Gondang Wates

Bahwa pengawal pedukuhan akan memberikan perlawanan hebat sudah menjadi dugaan pengikut Raden Atmandaru, tetapi kegigihan orang-orang Gondang Wates adalah keadaan yang berbeda.

Maka dari itu, kebanyakan pengikut Raden Atmandaru banyak bertanya pada hati mereka, “Apakah kita akan dapat menguasai Gondang Wates semudah menekuk Pedukuhan Janti?” Keraguan datang menyergap. Keresahan datang menggempur benteng pertahanan pasukan Raden Atmandaru.

Gelar yang rapi serta kesungguhan tekad untuk menyelamatkan Sayoga membuat pengawal pedukuhan bertempur begitu gigih. Mereka tidak mengenal Sayoga sebelumnya tetapi ketika menyaksikan anak muda itu tidak berdiam diri, semangat para pengawal semakin berkobar-kobar. Mereka tidak lagi merasa rendah diri sebagai orang-orang padesan. Sebaliknya, mereka seolah mendapatkan siraman air hujan setelah menjadi saksi sepak terjang Sayoga.

Pertempuran semakin menghebat. Panasnya perkelahian orang per orang segera membakar udara Gondang Wates. Pertarungan semakin meluas dan memenuhi ruas panjang bagian selatan banjar pedukuhan. Lorong sempit dan di cabang-cabang jalan telah dipenuhi perkelahian yang sangat sengit. Dalam waktu itu, pengawal pedukuhan meleburkan diri ke dalam gelar-gelar kecil meskipun lawan mereka berusaha mengurai barisan mereka.

loading...

Kinepung wakuI binaya mangap menciptakan kengerian tersendiri bagi pasukan Raden Atmandaru. Walau gelar-gelar kecil tersebut jauh dari sempurna bila diukur dengan pandangan Agung Sedayu, tetapi sepak terjang para pengawal telah menjadi luapan banjir bandang. Setiap kekurangan orang per orang dapat ditutupi oleh perpaduan gelar Jaladri Pasang dan Jurang Grawah.

Sejenak atau lebih lama dari itu, kebingungan menyerbu pasukan Raden Atmandaru. Ki Dirgasana tidak dapat berbuat lebih banyak dari menghalau serangan demi serangan Sabungsari yang terkendali sangat hebat.

Ketika terlihat olehnya jasad Ki Sarjuma, Ki Dirgasana berusaha menjauh dari jangkauan Sabungsari sambil berteriak, “Tidak ada kata mundur dalam usaha kita. Tekan dan bunuh tanpa sisa!”

Waktu yang tak dapat dikatakan singkat segera disambar oleh Sabungsari. Ia mempersiapkan diri, menghimpun segenap kekuatan lalu memusatkannya pada sepasang bola mata.

Hentakan pertama tiba-tiba menghantam dada Ki Dirgasana.

Lengah dalam menyambut serangan itu membuat Ki Dirgasana terdorong surut sambil memegang dada. Sekilas ia memandang pengikutnya lalu serunya, “Kepung!” Telunjuknya mengacu lurus pada kedudukan Sabungsari. Sejumlah orang menyambut perintah itu dengan senjata yang terjulur lurus ke arah lurah Mataram yang juga orang kepercayaan Ki Tumenggung Untara. Sabungsari melontarkan tubuh ke samping lalu menyerang balik para pengeroyoknya.

Ki Dirgasana menyadari pasukan Raden Atmandaru yang berjumlah sedikit lebih banyak dapat menguasai keadaan, tetapi kekokohan gelar dan keuletan pengawal pedukuhan mengadakan perlawanan akan sanggup membalikkan perkiraannya. Maka ia memerintahkan pasukannya agar kembali berhimpun menjadi satu barisan setelah mereka tersebar dan tercerai mengikuti cara berperang pengawal pedukuhan.

Namun Ki Panuju yang telah mengambil alih kepimpinan dari Dharmana segera membalasnya dengan siasat jitu. Ketika Dharmana dan sejumlah pengawal bergerak memasuki banjar untuk mengamankan Sayoga, Ki Panuju memerintahkan pengawal untuk menyebar. Perintah yang kemudian diikuti dengan gerakan cepat. Mereka berlari-lari kecil, menyusup ke lorong-lorong sempit dengan jumlah terbatas lalu tiba-tiba menyergap musuh dari sisi yang lain.

Dengan cara demikian, Sabungsari kembali mendapatkan waktu yang cukup longgar. Ki Dirgasana begitu sibuk membagi perhatian. Musuh Sabungsari ini tidak ingin kehilangan dua kesempatan yang mempunyai kemungkinan berlainan. Bila ia kalah dari Sabungsari, tetapi pasukannya dapat menguasai banjar pedukuhan maka ia akan berharga lebih mahal di hadapan Raden Atmandaru. Sementara itu masih muncul kemungkinan-kemungkinan yang lain di dalam pikirannya. Hanya saja, yang pertama kali harus diraihnya adalah memukul mundur pengawal pedukuhan.

Lalu.

Hentakan kedua kembali datang menerjang dada Ki Dirgasana.

Sabungsari melepaskan ilmunya lewat pandang matanya. Menghunjam tubuh lawannya tanpa halangan. Ki Dirgasana merasakan kekuatan luar biasa tengah berusaha membetot otot jantungnya. Seketika rongga pernapasannya tersekat, tersumbat dan dua matanya membeliak!

Sekejap kemudian ia berloncatan dengan gerak tak beraturan. Seperti tercekik dengan perasaan yang terguncang, namun begitu, Ki Dirgasana tetap berupaya keras mengembalikan keseimbangan. Ia menendang sebatangtombak yang berada di dekat kakinya. Sabungsari mengelak dan itu melonggarkan tekanan pada Ki Dirgasana.

Sesaat. Hanya sesaat keadaan itu berlangsung.

Sabungsari berusaha mencengkeram lawannya dengan permainan pedang yang luar biasa. Gerakan tubuh Sabungsari mulai dipenuhi unsur-unsur Perguruan Orang Bercambuk. Dalam waktu itu, gabungan ilmu pedang dan kekuatan pada penglihatannya benar-benar menunjukkan perpaduan berdaya guna hebat.

Perkembangan yang tidak terduga!

Tata gerak Sabungsari semakin menghebat. Seolah-olah keadaan perkelahian telah penuh berada dalam genggamnya. Sementara itu kepercayaan diri pasukan Raden Atmandaru mulai luntur. Kesibukan Ki DIrgasana dan tiadanya pemimpin yang mumpuni setelah kematian Ki Sarjuma, maka yang terhenti di antara mereka semakin banyak. mereka. Para pemimpin kelompok telah kehilangan perhitungan serta ketenangan.

Mereka menghadapi kenyataan pahit, pengawal pedukuhan mampu memisahkan lawan dari barisan induk dengan cara sedikit demi sedikit. Dengan demikian, kejatuhan tiap regu pasukan Raden Atmandaru mulai terjadi.

Pasukan Raden Atmandari seolah-olah menjadi mangsa yang dirobek-robek taring tajam serigala kelaparan dari Gondang Wates. Perkelahian yang terjadi di banyak tempat pun mulai memudar lalu berhenti seiring dengan rekah merah di kaki langit.

Orang-orang yang bertahan di Watu Sumping berhamburan keluar ketika Dharmana memberi aba-aba perang pada mereka. Tetapi, yang mereka saksikan dengan tubuh bergetar adalah jasad-jasad beku yang membujur lintang di jalanan dan di depan regol banjar.

“Atas nama penguasa Mataram, aku perintahkan kalian berhenti!” seru Sabungsari dengan sebelah  kaki menginjak pundak Ki Dirgasana. Urat leher senapati Raden Atmandaru itu sangat dekat bilah tajam pedang Sabungsari. Ki Dirgasana tak sanggup mengangkat wajahnya.

Sejenak atau lebih lama dari itu, dentang perkelahian mereda. Jalanan di depan banjar itu dicekam oleh kengerian. Membayang di dalam hati pasukan Raden Atmandaru tentang kepala-kepala yang terpisah. Mereka tidak henti berpikir mengenai siksaan-siksaan yang biasa terjadi pada tawanan perang. Seperti mereka mendera pukulan pada tahanan, seperti itu pula yang melintas dalam pikiran mereka.

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.