Liris yang kami persembahkan, karena kami diizinkan. Ditulis pada awal bulan Ramadan. Barisan emak yang tiada henti mengalirkan kebaikan. Dari Kelas Liris Kepak Sayap Angsa, untuk kesejahteraan umat manusia.
========
Di beranda masjid, aku hanya dapat melihat panci logam mengembun. Dingin dan merah. Berulang aku lihat jam dinding yang seolah berhenti berdetak. Ia mengejekku. Masih lama, pikirku. Aku kembali berbaring. Menunggu. Tidur adalah ibadah.
Mata tidak bisa terpejam. Bayangan merah yang mengembun serta manis cairan yang melewati tenggorokan, membuat jakunku naik turun.
Bilakah azan berkumandang?
Riuh suara anak-anak berlarian. Damai mendengar murotal. Tidak juga mengalihkan pikiranku. Embun itu tetap terbayang. Rasa manis menggoda.
Mereka berlarian tak kenal lelah. Mengingatkanku pada masa itu. Saat diam-diam membiarkan air wudu meluncur di kerongkonganku. Aku tersenyum malu. Jam berdentang untuk kesekian kalinya.
“Ah, masih tiga jam lagi rupanya.” Aku setengah menggerutu.
Dan kini mataku yang mengembun, mengenang kolak pisang buatan ibu.
Bayangan pahit hidupku beberapa tahun belakangan, melintas dengan sinis.
Manis kolak dan sirup di antara pahit kenyataan.
Tampaknya menjadi ramuan sempurna yang menyusup nikmat dalam perjuangan hidupku.
Berapa tahun berlalu, maafkan aku tak bisa mencium tangan ibu. Bahkan, merayakan awal ramadan bersama.
Tahun ini belum juga anak lelakimu ini mendapat pekerjaan yang layak.
Penjaga neraka menggulung cambuknya. Amuk di matanya telah reda.
Bersama banyak teman, aku keliling kampung. Bangunkan orang agar segera santap sahur. Satu per satu petasan kami letakkan di setiap halaman rumah. Aku pasang dengan sumbu lambat.
Setiap pagi perbuatan kami akan menjadi perbincangan.
Biarlah.
Biarlah mereka bicara tentang kami. Kami sedang melaksanakan ibadah yang tak kalah mulia, tidur!
Hanya tidur yang mampu membuatku lupa akan lapar dan dahaga. Tapi tidak dengan sesal yang masih terasa di dada. Berharap di setiap Ramadan ampunanNya tercurah padaku.
“Ya Rabbana, ampuni segala dosaku.” Doaku di setiap waktu.
Aroma masakan ibu membuatku terjaga. Mataku mengerjap pelan. Matahari masih terik bersinar.
Siang terasa begitu panjang. Waktu merangkak seperti siput. Detik, menit, jam melangkah sangat lamban.
“Waktu berbuka masih lama,” keluhku sedikit nelangsa. Cacing di perut mulai meronta. Sia-sia aku makan sahur sampai kekenyangan. Minum bergelas-gelas air hingga perutku sakit.
Teringat omelan ibu, “Makanlah secukupnya, puasa untuk membersihkan hati, bukan menuruti maunya diri.”
Puasa ….
Aku berusaha melupakan hal indah yang ada di bulan Ramadhan.
Hanya ibadah yang akan aku ingat.
Bukan tentang lapar atau kenyang.
Bukan segelas air manis berwarna nan dingin.
Bukan semangkuk kolak.
Bukan sepiring gado-gado untuk berbuka.
Sejak nyawa mereka terenggut, hanyalah kewajiban.
Pada napas bocah-bocahku, aku akan memberi kenangan air bening dan baju putih.
Pada bocah-bocahku, akan aku wajibkan untuk mencium sajadah di gelapnya malam.
Di akhir takbir, sampai sepertiga malam.
Kini, lapar harusnya tak menjadi siksa bagiku. Bukankah aku sering mengalaminya? Akulah laki-laki yang merasa tersia di kampung, yang mencoba peruntungan dengan menjajakan tenaga di kota.
Tapi agaknya, kampung lebih dermawan ketimbang belantara kota. Aku bisa makan siang di lek Minto, hanya dengan membantunya mengambil kayu, itupun masih ada beberapa lembar ribuan yang di selipkan.
“Untuk beli rokok,” katanya.
Aku merasa kampung lebih manusiawi dari kota. Saat haus menyiksa dan waktu berbuka masih lama, aku bisa berendam di sungai. Airnya yang jernih, gemericik menerjang bebatuan sangat menenangkan. Aku merasakan seluruh tubuhku menjadi sejuk. Air menembus pori-pori kulitku dengan santun, perlahan, namun menyenangkan.
“Awas, jangan kentut di air. Batal nanti puasamu,” kata Samingan mengingatkanku.
Dan bayang-bayang itu kembali menyala serupa kobar api yang menghanguskan hati.
“Ini bukan tentang kegagalanku, Bu!” bisikku lirih, yang kemudian dijawab oleh hening.
Ini bukan tentang kegagalanku meraih mimpi. Namun tentang luka begitu lebar yang kutoreh di dada ibuku. Tentang pemberontakan lelaki yang digadang menjadi menteri, sementara bedak dan ginculah yang menjadi pintu rejeki.
“Karmakah ini, Ibu? Atau sekadar pencarian jati diri?”
Kepak sayap Jibril hantam dinding semesta. Gemerincing lonceng membahana di setiap rumah.
Aku gelisah.
Orang bilang bulan puasa adalah bulan penuh berkah. Kawan kata bulan ampunan.
Ringkik setan nyata aku dengar saat siang. Keras menggema.
Aku mendengarnya.
Sementara.
Di balik tirai-tirai itu, iblis yang terpasung menyeringai kesal.
“Pesetan dengan manusia, bisanya hanya menyalahkanku saja!” Geram iblis melirik rantai di kakinya.
“Sudahlah, iblis! Biarkan manusia menunjukkan keasliannya kala kau terpasung!” Atit kembali mencatat di sisi kiri penuh sinis.
“Bukankah kau tahu sampai hari sangkakala diembuskan, perang antara manusia dan dirimu takkan pernah usai?” Kali ini Rakib mengepakkan sayapnya menjauh pergi.
“Kecuali di bulan penuh rahmat ini kata pak Kyai…” Setan semakin tertunduk lesu.
Bahkan sejak dini hari.
Belenggu setan sepertinya tak berlaku pada kotak ajaib.
Tidak ada khusuk untuk mengawal puasa diantara hingar bingar penuh nafsu.
Rasanya hambar saja ritual sahur.
Sekadar makanan yang numpang lewat tanpa jejak.
Dan aku tetap harus berlapang dada pada asap rokok yang kadang mengepul dari arah yang tak kuduga.
Bahkan juga harus maklum pada mereka yang tetap saja membuka kedai lengkap dengan aroma lezat yang tak bisa dikendalikan.
Mereka tetap harus menjaga kelangsungan hidup keluarga. Tantangan yang harus bisa aku kalahkan.
Aku sudah dewasa, mengapa harus manja hanya karena aroma makanan?
Bahkan seorang anak kecil pun bisa puasa di antara temannya yang tidak berpuasa.
Seorang anak kecil mengalahkan aku?
Tidak!
Bukan tentang kalah dan menang.
Penerimaan kepada sesama. Memaknai sebuah perbedaan.
Ya, aku tetap mengingat semua pesanmu, Ibu.
“Kau pikir dirimu hebat, hanya karena bisa seharian menahan lapar dan dahaga, kemudian boleh mengejek teman yang tidak berpuasa?”
Aku menunduk lesu, ternyata ibu melihat perbuatanku. Mengejek Maelan yang mokel jam tiga sore tadi.
“Puasa harusnya mengajarkanmu lebih lapang dada, bukan justru membusungkan dada. Makanlah kolakmu dan jangan ulangi perbuatanmu.”
Semangkok penuh irisan pisang kepok, kolang-kaling, gula aren dan santan kelapa, segera masuk ke perutku dengan suka cita.
Ibu. Kolak. Aku merindu keduanya setiap ramadan tiba.
Ingin rasanya melipat jarak, agar hidangan khas ramadhan tidak hanya menjadi barisan kenangan. Sosok ibu yang tetap setia tinggal di desa. Memaksa lezatnya kolak pisang bercampur tape dan nangka, di temani segelas es dawet berhias kelapa muda hanya sekedar angan belaka.
“Aku tak ingin membuang banyak waktu di dapur. Banyak yang lebih utama,” kilah Ibu yang lebih suka membeli takjil padahal kutahu uang kami terbatas. Baginya Ramadan adalah pertandingan meraup pahala. Setiap detik adalah nyawa yang tak bisa disia-siakan.
“Pergilah ke masjid! Berbicaralah dengan Tuhanmu!” perintah Ibu yang tak suka putranya berada di rumah.
“Sungguh rindu padamu, Mak,” erangku pilu.
Ribuan malaikat mengepak sayap. Bintang bergetar dahsyat. Pencari Tuhan berjalan pelan. Menuang rindu dalam tempa kalimat pelebur dosa.
Aku tahu di saat senja menemani, di saat itulah segala doa tumpah ruah untuk masa lalu dan masa depan.
Walau diri tenggelam dalam dosa, semburat cahaya asa akan memenuhi dada untuk bersua.
Dengung kepak-kepak bibir yang meratap. Melenguh dalam kecewa. Merintih tanpa peduli. Kesalahan yang terampuni. Kebaikan yang tertolak.
Semuanya.
Segalanya.
Mengguncang Baitul Makmur.
“Aku tidak menyakiti kalian. Rahmat-Ku telah menaungi alam.”
Sumber gambar ;
Www.kanzunqalam.com/2015/01/15/baitul-makmur-kabahnya-penghuni-langit/