Sementara itu perkelahian yang melibatkan Ki Srengganan dengan Ra Pawagal juga terjadi cukup dahsyat. Jarak yang sedikit jauh dari lingkar pertarungan Gajah Mada dan pembantu Ki Srengganan membuat keduanya leluasa menggelontorkan ilmu yang dimiliki. Tetapi agaknya usia yang beranjak senja telah menjadi penghalang bagi keduanya untuk meningkatkan kemampuan lebih kuat dan lebih cepat.
Pada suatu ketika, tombak panjang Ki Srengganan menusuk dada Ra Pawagal, melihat serangan ini ia menggerakkan keris sepenuh tenaga berusaha membelah panjang tombak. Tetapi sekalipun tombak itu terbuat dari kayu namun di dalamnya telah terhimpun tenaga inti Ki Srengganan, sehingga benturan itu menjadikan tombak seolah lentur, lalu menghantam Ra Pawagal.
Ra Pawagal yang terkejut dengan perkembangan itu tidak akan sempat melakukan tangkisan ujung tombak yang melaju ke lehernya. Ia harus melepaskan keris dari genggaman ketika tangannya tergetar sangat hebat karena membentur tenaga inti lawannya, dan secepat kilat ia melenting ke belakang.
Mengira telah memegang sebuah keuntungan ketika lawannya bertangan kosong, Ki Srengganan menjadi kaget ketika tiba-tiba Ra Pawagal telah melesat cepat, kembali menerjangnya. Serangkaian tendangan beruntun mengalir deras seakan-akan kucuran air tanpa henti membentur tangkai tombak dan menghalau ujung tombak sehingga tak beraturan. Meski begitu Ki Srengganan akhirnya dapat keluar dari tekanan setelah ia melepaskan tombak ke pangkal kaki lawannya, dan berusaha mencoba menangkap pergelangan kaki Ra Pawagal.
Dua serangan yang datang bersamaan sungguh di luar perhitungan Ra Pawagal, kecepatan tombak ternyata melebihi yang disangkanya. Ia kesulitan menghindar.
Pekik tertahan keluar dari mulutnya, Ki Pawagal roboh dengan luka di pundak yang cukup dalam menggores daging.
Pada saat itu, ketika Ki Srengganan akan menutup perlawanan Ra Pawagal, sebuah bayangan berkelebat dari depan dan tiba-tiba serangan demi serangan mengalir lebih cepat dari pandangan matanya. Ki Srengganan tidak mampu berbuat lebih banyak, hingga akhirnya tumit Gajah Mada mendorong telak dadanya dan membuatnya terpental jauh ke belakang.
Gajah Mada segera menghampirinya lalu katanya, ”Bertahanlah, Ki Srengganan.” Kemudian ia mengeluarkan dua butir ramuan dari ikat pinggangnya.
Namun Ki Srengganan menggelengkan kepala, ”Tidak! Meskipun aku akan mati, tetapi aku sangat bangga karena Kahuripan dapat aku rebut tanpa darah. Itu adalah pengakuan yang aku dapatkan meski kalian akan menghapusnya dari catatan. Perlu engkau tahu bahwa aku bukanlah pengkhianat seperti yang kalian pikirkan.”
Ki Srengganan tersengal-sengal ketika ia iangin mengucap kata. Gajah Mada meletakkan kepala Ki Srengganan lebih tinggi.
“Malam ini adalah peringatan keras pada Jayanegara. Jika bukan karena kesetiaan Ki Nagapati dan Ra Pawagal, apakah engkau dapat memasuki Kahuripan, Gajah Mada?”
Dalam hatinya, Gajah Mada mengakui kebenaran dari kata-kata Ki Srenggana. Namun Gajah Mada tetap menjaga wibawa raja Majapahit, maka ia berkata pendek, “Lanjutkan, Ki Srengganan.”
Ki Srengganan mengedarkan pandang sekeliling. Ia mengerti maksud Gajah Mada, tetapi hanya desah napas yang terdengar dari kepala yang tergolek lemas di paha Gajah Mada. Ia menatap lekat wajah Ki Srengganan dengan perasaan yang tidak menentu serta pertanyaan yang mungkin tidak akan terjawab.
“Kenyataan pahit telah terjadi, dan seperti yang kau katakan bahwa catatan ini tidak akan ada. Saya tidak dapat memastikannya tetapi itu segera terjadi,” berkata lirih Gajah Mada sambil meletakkan kepala yang terkulai lemas itu dengan hati-hati, lalu bangkit berdiri melihat keadaan Ra Pawagal.
“Mungkinkah Majapahit akan berumur pendek?” demikian pertanyaan Ra Pawagal ketika Kahuripan berangsur pulih.
Sore itu sinar matahari masih terasa menyengat. Demikian yang dirasakan oleh Ra Pawagal sewaktu berdampingan dengan Gajah Mada di tepi Kali Brantas. Mendengar pertanyaan itu, Gajah Mada kemudian menjawab, “Sri Maharaja Dyah Wijaya adalah orang yang mempunyai cita-cita tinggi. Pertemuan singkat dengan bangsa berkulit kuning, mungkin, karena saya berpikir seperti itu, akan menyentuh Sri Maharaja.”
“Aku pun begitu,” kata Ra Pawagal, “tidak menutup kemungkinan pergaulan Sri Maharaja dengan Prabhu Kartanegara menjadi landasan yang sangat kuat.”
“Bila kita berpikir seperti ini, mungkinkah kita dapat menjadi saksi pencapaian itu?”
Ra Pawagal menghela napas panjang, lalu mendesah, “Usiaku bukan penghalan tetapi setiap orang mempunyai batasan. Dan, engkau Gajah Mada, bukan tidak mungkin akan berperan besar untuk cita-cita itu.”
Demikianlah kedua petinggi Kahuripan itu larut dalam angan dan harapan masing-masing.