“Kamu yakin atau merasa terpaksa? Atau hanya ingin memuaskan rasa ingin tahumu saja?”
“Boten, Pak. Saya yakin,” tandasku mantab.
Bapak menyesap kopi yang tersisa sepertiga gelas. Terdengar decap kenikmatan pada setiap akhir sesapan. Disusul ucap syukur marang Gusti ingkang akarya jagad. Sederhana sekali cara bapak menikmati hidup. Sesederhana itu pula bapak memaknai kebahagiaan.
Pernah beliau berkata, saat mendapati aku tengah ngresula.
“Bahagia itu letaknya di sini,” ujar bapak seraya menunjuk dadanya sendiri. “Kita yang menciptakannya sendiri, dengan cara nrimo ing pandum, sinau ikhlas lan lilan.”
Itu sebaris nasihat yang sempat terucap, sementara berbaris-baris lainnya tersirat dalam setiap tindak tanduk bapak. Namun sayang, sampai saat ini aku belum bisa nuladhani itu semua. Hanya selintas singgah saat hati lelah, kemudian segera enyah seiring sirnanya resah.
Aku bertanya pada diriku, “Kenapa aku seperti ini?
“Kenapa tidak mampu menjadi seperti bapak?
“Kenapa tidak sanggup memenuhi kehendak bapak?
“Sampai kapan, Senggani?
“Berapa lama lagi kau habiskan waktu untuk sekadar menumpuk sesal?”
Penyesalan bersorak, girang hati dia berteriak, “Aku akan selalu mengikutimu selama kau masih mudah dipermainkan oleh nafsumu, ingat itu!”
Angin bulan September dingin menelisik daun jambu, mengajakku berlari menelusuri peristiwa yang telah lalu. Daun-daun kering melayang di udara, jatuh dalam pelukan bumi tanpa suara.
“Senggani!” panggil Bapak, “sebelum Bapak bicara banyak hal, ada satu hal yang harus kamu pahami.” Bapak berkata lirih. Menepuk nyamuk yang menggigit punggung tangannya, lalu meneruskan ucapannya. “Keris kuwi dudu piyandel, bukan sesuatu yang diciptakan untuk membuat pemiliknya merasa kandel dan kendel. Namun, seperti yang telah bapak katakan tadi siang, keris menjadi bernilai tinggi karena tata cara penciptaannya yang luar biasa.”
“Luar biasa pripun, Pak? Saya memang pernah mendengar bahwasannya dalam membabar sebilah keris, maka empu harus menjalani tirakat atau semacam ritual. Tapi ya hanya sebatas mendengar aaja, belum memahami.” Aku menyela karena dorongan rasa ingin tahu.