Pemberontakan Senyap
Empat atau lebih lima bulan sebelumnya.
Pada saat Ki Cendhala Geni dan Ubandhana berhasil meloloskan diri dari sergapan di Alas Cangkring, mereka selama berhari-hari tinggal di sebuah padepokan kecil di tepi hutan Sadang. Oleh karena mereka berlari sepanjang malam, maka mereka pun tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar dan terletak di sebelah selatan sanggar padepokan. Tanpa memperdulikan keadaan sekitar yang masih gelap dan sunyi, Ki Cendhala Geni menggedor pintu yang tertutup rapat. Ia berteriak keras memanggil pemilik rumah. Bahkan ia juga tak segan-segan mengumpati pemilik rumah. Pintu pun terbuka dan seorang lelaki bertelanjang dada keluar dari dalam. Dadanya yang dipenuhi bulu lebat terlihat kekar di bawah sinar lampu minyak.
“Aku sudah menduga jika yang datang adalah kau, Bulawar!” suara parau dan berat terdengar keluar dari tenggorokan lelaki pemilik rumah.
“Dugaanmu benar, Ki Sura Tenggulun,” Ki Cendhala Geni memasuki rumah lalu menghempaskan tubuh di atas sebuah amben bambu sebelum dipersilahkan oleh Ki Sura Tenggulun. Ubandhana termangu-mangu melihat sikap Ki Cendhala Geni lalu bergantian ia memandang Ki Sura Tenggulun.
“Kemarilah!” perintah Ki Sura Tenggulun yang melangkah menghampirinya. Ubandhana menyambutnya dengan menapakkan kaki ke sebuah lincak kecil yang berada di ujung ruangan.
“Pecundang!” dengus Ki Sura Tenggulun. Tak lama kemudian ia dan Ki Cendhala Geni saling bercerita tentang keadaan masing-masing sampai pada peristiwa penyergapan di Alas Cangkring. Ki Sura Tenggulun tampak tercenung dan alisnya berkerut mendengar kata-kata Ki Cendhala Geni.
“Aku hanya mencoba menghubungkan peristiwa Alas Cangkring itu dengan keadaan di Kahuripan. Aku pikir sebaiknya kau pergi ke sana. Dan nantinya jika kau telah mendengar kabar tentang keadaan Ki Nagapati yang sesungguhnya, kau dapat segera kembali kemari,” berkata Ki Sura Tenggulun.
“Tentu saja tidak mungkin aku akan berbuat seperti yang kau inginkan, Sarkandi,” Ki Cendhala Geni menyebut Ki Sura Tenggulun dengan nama Sarkandi. Lanjutnya, ”Ki Nagapati tidak pernah dapat aku gunakan sebagai senjata yang dapat mengarah tepat ke kotaraja. Namun, aku tetap berada di belakangmu jika memutuskan untuk membantu Ki Nagapati.”
“Begitukah? Aku tengah menimbang untuk bergabung dengan pasukan besar di pantai timur. Mereka telah siap dengan segala yang ada.”
“Ya, aku pun telah mendengar kesiapan mereka,” gumam Ki Cendhala Geni. “Keberanian yang nyata tengah diperlihatkan oleh pengikut Jayakatwang. Peristiwa maha besar segera terjadi. Aku telah mengetahui rencana itu sebelum tiba di tempat ini.” Ki Cendhala Geni menghentikan ucapannya, ia menoleh pada Ubandhana. “Apakah kau mempunyai nyali yang cukup untuk bergabung dengan orang pilihan Jayakatwang?”
Sedikit gugup Ubandhana menerima pertanyaan Ki Cendhala Geni. Jawabnya, “Aku tidak tahu segala hal yang berhubungan dengan pasukan besar, Ki. Namun aku telah memutuskan untuk selalu berada di dekat Anda.”
Ki Cendhala Geni menyeringai lalu memalingkan muka pada Ki Sura Tenggulun, “Apakah keadaan telah cukup aman bagiku untuk melakukan perjalanan ke Kahuripan?”
Ki Sura Tenggulun mengangkat dua tangannya. “Baiklah, kapan kau akan memasuki Kahuripan?”
“Entahlah. Pertanyaan bodoh telah aku lontarkan padamu tetapi aku belum mempunyai kepastian tentang rencana selanjutnya,” Ki Cendhala Geni menjawab sambil membaringkan tubuhnya yang masih basah dengan keringat. “Aku akan merebahkan tubuh sesaat di sini. Dan aku akan berada di tempat ini untuk beberapa pekan ke depan.”
Ki Sura Tenggulun tertawa mendengar kata-kata Ki Cendhala Geni. “Masih seperti dulu, engkau belum banyak berubah, Bulawar.” Kemudian ia pun mempersilahkan Ubandhana beristirahat sementara ia akan kembali ke biliknya.
Demikianlah keadaan mereka bersembunyi di sebuah padepokan kecil yang jauh dari pengamatan orang.
Di tengah masa penantian hingga keadaan cukup aman baginya, Ki Cendhala Geni dan Ubandhana bekerja sebagaimana petani lainnya. Mereka bergabung dengan banyak orang di hamparan sawah di lereng Arjuna. Sementara Ki Sura Tenggulun lebih banyak berkeliling untuk melakukan pengamatan dan menyerap kabar-kabar yang berkembang. Bisik angin yang sangat lirih pun dapat ia dengar jika terkait gerak para peronda.
2 comments
jilid kedua kok gak ada ya?
maaf.. salah masuk kategori.. Pemberontakan Senyap 2 sudah kembali wajar. matur nuwun