Lawan Sukra segera menoleh sekelilingnya, ia menjadi tegang dan cemas karena Sukra memang berkata sebenarnya. Namun kemudian ia berkata, ”Orang-orang biasa memanggilku sebagai Pager Waja. Kau akan mengalaminya sendiri, petani bodoh.”
Sukra menggeram marah mendengar hinaan anak muda yang menyebut dirinya sebagai Pager Waja. Namun Sukra masih dapat mengekang dirinya. Pesan-pesan yang sering ia dengarkan dari Agung Sedayu dan Ki Jayaraga agaknya terpahat kuat dalam jantungnya. Bahkan Sukra kemudian terbahak lalu berkata,” Pager Kayu, aku tidak tahu apakah saat ini aku sedang bermimpi atau memang menjalani sebuah kenyataan. Boleh jadi kau memang bernasib sial ketika memilihku sebagai lawan. Kau boleh tanyakan tentangku pada orang-orang Menoreh. Mereka akan menjawab bahwa aku adalah anak ajaib dari sungai Menoreh. Aku lahir di pliridan dan aku belajar kanuragan juga di dalam pliridan.”
Sementara Sukra masih merasa geli dengan kata-katanya sendiri, Pager Waja justru menjadi cemas. Ia tidak melihat rasa gentar dari sorot mata Sukra. Lalu ia dengan hati-hati membuat penilaian kembali tandang Sukra sebelum berkelahi melawannya.
Namun tiba-tiba Pager Waja dikejutkan oleh Sukra yang menyerangnya dengan tata gerak yang tidak terduga. Meskipun Sukra belum berhenti tertawa tetapi sikapnya itu membuat banyak orang merasa terkecoh. Tiba-tiba saja orang-orang disekitar mereka telah melihat Sukra melibat Pager Waja dalam serangan yang sengit. Sementara Pager Waja masih kebingungan dengan tata gerak Sukra yang dirasanya sangat aneh, tiba-tiba bagian luar telapak tangan Sukra telah menampar pipinya.
Kecepatan Sukra bergerak memang mengejutkan. Dan sepak terjang Sukra sepanjang pagi itu tidak lepas dari sepasang mata yang lekat mengawasinya. Orang ini berulang kali berdecak kagum dan sesekali menggelengkan kepala menyaksikan cara Sukra berkelahi. Ia telah membuat sebuah rencana maka karena itu ia datang ke Tanah Perdikan namun ia tidak berada pada saat yang tepat.
Dalam waktu itu, Sukra bergerak dengan kecepatan melebihi kemampuan para pengawal pada umumnya.
Rahang Pager Waja nampak mengeras. Ia merasa telah dipermalukan oleh Sukra dengan tamparan keras yang mendarat pada pipinya. Kini ia meloncat sambil menggerakkan pedangnya mematuk lambung Sukra. Sukra terkejut dengan sambaran pedang Pager Waja yang sedemikian cepat dan nyaris merobek lambungnya. Namun Sukra cukup cekatan dan sigap ia meloncat surut. Dan kemudian yang terjadi adalah Pager Waja mengalirkan serangan yang tiada terputus.
Tata gerak Pager Waja memberi Sukra pengalaman baru dalam perkelahian. Sukra telah banyak melihat unsur-unsur gerak dari orang-orang berilmu tinggi di Menoreh. Dari Perguruan Kedungjati hingga Ki Sadewa, namun apa yang dilakukan Pager Waja pada siang itu benar-benar memaksa Sukra untuk meningkatkan selapis lebih tinggi dari kemampuan yang ia miliki.
“Kau akan segera mengerti kerasnya sebuah tamparan, petani sial!” umpat Pager Waja yang terus mengejar Sukra dengan sengatan pedang.
“Terserah padamu,” kata Sukra, ”kalau kau yakin dapat berbuat apa saja, maka lakukanlah. Aku akan menunggu hingga kau berada di batas akhir kemampuanmu.”
“Sombong!” seru Pager Waja yang kemudian meloncat ke samping sambil menebaskan senjatanya hendak membelah lambung Sukra. Sukra yang belum mendapat kesempatan untuk menggunakan senjatanya, kembali bertumpu pada kecepatan geraknya yang luar biasa. Bahkan Pager Waja harus mengakui dalam hatinya bahwa kecepatan Sukra telah berada pada tingkat yang sama dengannya.
Sejenak Pager Waja meloncat surut, tetapi ia tidak memberikan Sukra kesempatan untuk memperbaiki kedudukan. Deru serangan Pager Waja kali ini datang lebih membadai. Senjatanya menebas silang, menyambar bahkan sering terlihat seperti gulungan cahaya yang membungkus tubuh Sukra.
Prastawa merasa cemas dengan perkembangan yang terjadi, ia mengira Sukra telah berada dalam keadaan bahaya maka kemudian ia memberi perintah para pengawal Menoreh lainnya yang berada di dekat lingkar perkelahian untuk segera mengepung rapat. Namun tiba-tiba terdengar Sukra berteriak, ”Biarkan aku tangani orang ini sendirian, Kakang. Aku masih baik-baik saja!”
Prastawa menarik nafas lega sekalipun ia masih khawatir dengan keselamatan Sukra, tetapi ia akhirnya memberi perintah mundur pada para pengawal.