Pager Waja pun kemudian meniru Sukra yang berlarian saat menghindar dari serangannya. Maka yang terjadi kemudian adalah keduanya saling berkejaran, saling menjauh saat salah satu diantara mereka menyerang dengan garang. Sekali-kali Pager Waja mengeluarkan ejekan untuk membongkar ketahanan hati pengawal Menoreh yang tangguh ini. Namun sampai pada waktu itu, Sukra masih mampu bertahan atas kata-kata kasar yang keluar dari mulut Pager Waja.
Sukra membalas setiap ucapan Pager Waja dengan serangan-serangan yang sangat berbahaya. Melihat keadaan lawannya yang tidak terpancing kata-katanya, Pager Waja pun membalas serangan Sukra dengan gebrakan yang tak kalah garang. Pertempuran antara keduanya kembali menjadi semakin sengit.
Orang-orang yang melingkari mereka pun sampai menahan nafas karena pertarungan itu sedemikian sengit dan seru. Mereka tidak mempunyai perkiraan tentang siapa yang kalah dan menang karena kedua anak muda itu berada dalam kedudukan yang seimbang.
Satu dua orang mencoba berbisik pada orang yang berdiri disebelahnya, namun kebanyakan dari mereka hanya menggelengkan kepala. Akan tetapi orang-orang itu sepakat dalam sebuah pendapat bahwa Sukra memang lebih maju dengan pesat jika dibandingkan enam bulan sebelumnya.
“Aku tidak akan mampu melawannya dengan kemampuannya saat ini,” berkata seorang pengawal pada temannya yang menyodorkan bambu pada Sukra.
Lalu ia membuka mulutnya dan berkata, ”Mungkin kita akan seimbang jika kita bertiga melawan Sukra yang sendirian saja.”
Beberapa pengawal yang mendengar percakapan mereka berdua kemudian menganggukkan kepala. Tampaknya Sukra memberi kebanggaan tersendiri dalam dada para pengawal.
Pedang Pager Waja berputar-putar sangat cepat seolah berubah menjadi selimut cahaya yang rapat menutup tubuhnya dari serangan balasan Sukra. Meski begitu, bambu di tangan Sukra masih mampu untuk menyengat lawannya. Apabila bambu yang di tangan kiri membentur pedang Pager Waja, maka secepat itu pula bambu yang di tangan kanan mematuk bagian leher Pager Waja. Maka dengan begitu keduanya kini terlibat saling menerobos selubung rapat pertahanan lawannya. Satu tusukan benda tumpul dari Sukra dapat berujung maut bagi Pager Waja dan sebaliknya satu goresan pedang Pager Waja akan dapat mencabut nyawa Sukra.
Mereka berdua telah bertarung mengerahkan segenap kemampuan hingga batas puncak yang mereka miliki. Sepasang mata yang lekat mengamati Sukra menggelengkan kepala, ia bergumam pelan, ”Keduanya akan habis.”
Memang sebenarnya tanpa disadari oleh Sukra dan Pager Waja, kekuatan mereka sesungguhnya telah menurun. Mereka berdua terlihat masih tangkas dan cekatan dalam bergerak, tenaga keduanya pun seolah masih berkekuatan raksasa namun bagi mata orang yang berilmu tinggi maka pertarungan itu akan mencapai batas akhir.
Untuk beberapa lama mereka masih terlibat pusaran tinggi perkelahian. Namun sepertinya Sukra dan Pager Waja mulai sadar dengan perubahan yang terjadi pada diri mereka.
“Pager Kayu! Apakah kau mempunyai nyawa cadangan?” bertanya Sukra. Kemudian,”Lihatlah dirimu, kau mulai tersengal-sengal. Menyerahlah padaku, aku akan menjadikanmu seorang kawan bermain.”
“Petani sial! Kau memang tak punya malu, anak kecil! Lihat kedua lututmu yang mulai gemetar karena kau begitu takut padaku,” sambil berkata demikian, Pager Waja menebaskan senjatanya pada kaki Sukra yang dekat dengannya.
Sukra sedikit terlambat menarik kakinya, maka ujung pedang Pager Waja mampu menyentuhnya. Darah pun mengalir dan itu ternyata membuat Pager Waja terlena. Sukra lantas mengambil kesempatan itu dengan sangat cepat, ia memukulkan bambu pada tulang kering Pager Waja. Sekejap kemudian keduanya kembali saling serang dengan kekuatan yang telah berkurang.
Tandang Ki Tunggul Pitu ternyata mendatangkan kesulitan tersendiri bagi Agung Sedayu. Betapa kematangan ilmu dan pengalaman lawannya telah menjadi dinding tebal yang membatasi ruang gerak pemimpin pasukan khusus Mataram ini.
Sementara itu kemampuan Prastawa dalam memimpin para pengawal Tanah Perdikan dapat menutup celah yang ditinggalkan Agung Sedayu. Prastawa semakin cakap dan cermat dalam mengatur pergerakan para pengawal, sedangkan ia sendiri juga bertanggung jawab untuk mengatur arus pengungsi yang semakin membesar dan memenuhi banjar pedukuhan induk.
Ki Tunggul Pitu dengan segenap pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki lambat laun berhasil mengekang Agung Sedayu. Mereka berdua membuat lingkaran yang terpisah agak jauh dari pertempuran kecil yang pecah di sekitar pasar.