Ayodha: Ekspedisi Pamalayu
Karya: WestReversed
Sinopsis:
Untuk mencegah serbuan pasukan Kubilai Khan dari Wangsa Yuan, pada 1275 Kertanagara mengirim armada besar di bawah kepemimpinan Kebo Anabrang untuk menundukkan negeri-negeri Malayu di Suvarnabhumi. Begitulah kemudian perjalanan tersebut dinamakan sebagai Penjelajahan Pamalayu, yang berarti menaklukkan negeri-negeri Malayu meski sebenarnyalah diniatkan dengan tidak mengangkat senjata.
Ayodha mendapatkan tugas pertama dari perguruannya untuk mengawal rombongan tersebut. Bersama dua saudara seperguruannya, ia bertolak dari Pelabuhan Tuban menuju Dharmasraya di Suvarnabhumi, negeri yang benar-benar baru baginya.
Sebagai murid muda di perguruannya, Ayodha selalu menyukai petualangan. Sedari dulu, dirinya telah bermimpi untuk melihat pulau-pulau di batas lautan yang bagai tiada bertepi. Namun, petualangannya ini tidaklah seindah bayangannya. Dia melihat banyak darah, banyak duka, banyak air mata, dan banyak kebencian. Perjalanannya tidak akan pernah mudah!
Tetapi apalah Ayodha bila dibandingkan dengan pepatah para pelaut, yang mana bila layar telah terkembang maka pantanglah surut pulang?
Ayodha menatap jauh ke hadapan. Samudera luas. Kapalnya akan terus melaju hingga tiba di tempat tujuan atau tenggelam untuk selamanya; begitu pula dengan Ayodha yang tidak akan berhenti kecuali kematian sendiri yang menghentikannya; atau begitu juga dengan kalian yang tidak akan berhenti mengikuti kisahnya hingga tuntas!
***
BAB 1. Berlayar dari Tuban
Bagian 1.
MATAHARI baru saja menyembul di antara celah-celah perbukitan yang berjejer di sekitaran Pelabuhan Kambang Putih Tuban. Pagi sedingin itu, beberapa orang memilih masuk ke dalam kedai-kedai untuk menyesap secangkir-duacangkir jahe hangat, termasuk pula dengan Ayodha yang baru saja tiba di Kota Tuban setelah sekian lama menunggangi kuda.
Pemuda berparas menawan tetapi kurang pengalaman itu tampak duduk seorang diri di sudut kedai. Secangkir besar air jahe telah habis setengahnya, tidak lagi pula mengepulkan uap hangat, tanda bahwa dirinya telah berada cukup lama di tempat itu.
Memanglah sedari tadi Ayodha menunggu kehadiran dua saudara seperguruannya di kedai itu. Mereka mendapat tugas mengawal searmada laut besar dari Singhasari yang akan bertolak menuju Kerajaan Dharmasraya di Suvarnabhumi. Sejak kemunculan Bangsa Tartar dari Wangsa Yuan beberapa waktu lalu, agaknya membuat Kertanagara merasa rawan. Perjalanan yang dinamakan sebagai “Penjelajahan Pamalayu” ini membawa tawaran perdamaian dalam upaya membendung ancaman dari luar Dwipantara.
“Seharusnya sebelum matahari terbit, mereka sudah tiba di kedai ini.” Ayodha bergumam setengah mendesah resah. “Kalau begini adanya, bisa-bisa pasukan itu berangkat tanpa kami!”
Betapa pun, Ayodha mesti menunggu saudara-saudara seperguruannya terlebih dahulu. Bila tidak begitu, maka pantanglah dirinya berangkat seorang diri.
Namun, kecemasannya tidak bertahan terlalu lama. Dari pintu kedai, muncullah dua orang pria berpakaian serba hitam yang lekas melambaikan tangan kepada Ayodha. Mereka tampak memesan sesuatu pada pengurus kedai sebelum berjalan menuju meja yang ditempati Ayodha.
“Berapa lama kamu menunggu di sini, Adha?” Salah satunya—yang Ayodha ketahui bernama Dasarata—bertanya sambil tersenyum lebar.
“Lihatlah cangkirku ini,” jawab Ayodha sembari menunjuk cangkirnya dengan lirikan mata. Adapun dirinya memang telah biasa dipanggil Adha oleh saudara-saudara seperguruannya.
“Kau terlalu cepat meminumnya.” Seorang yang tersisa membalas, dialah yang bernama Sinabung. “Kita masih memiliki waktu paling tidak sepenanakan nasi lagi. Tidak perlu terburu-buru.”
“Ini adalah tugas pertamaku dari perguruan, berbeda dengan kalian yang telah menjalani beratus-ratus tugas. Aku tidak ingin mendapatkan kesan buruk hanya karena terlambat.” Kembali Ayodha membalas sebelum menegak air jahenya. Udara dingin masih menggerogoti pagi.
Dasarata dan Sinabung saling berpandangan sebelum terkekeh pelan. Begitu seolah perkataan Ayodha tadi teramat aneh didengar.
“Ayodha, semangatmu berlebihan,” ujar Dasarata dengan halus. “Kita tidak akan terlambat. Aku berani menjamin itu. Tidakkah kauingat bahwa kita ini adalah pendekar?”
Ayodha menganggukkan kepalanya perlahan. Pendekar seperti dirinya dapat bergerak dengan teramat sangat cepat, yang terkadang bahkan melebihi kecepatan suara berkali-kali lipat. Dengan begitu, dirinya dapat tiba di dermaga hanya dalam sekedip mata saja. Ketika sangkakala tanda keberangkatan armada ditiup nantinya, mereka dapat langsung berkelebat tanpa perlu khawatir akan tertinggal.
Mungkin benar. Ayodha terlalu bersemangat. Tetapi bagaimana tidak begitu bila impiannya sejak kecil adalah untuk menyambangi pulau-pulau di batas lautan yang bagai tidak bertepi? Ia mendapatkan kesempatan itu hari ini, betapakah tidak bersemangat?
Ayodha berusaha mengendalikan pikirannya untuk tetap dingin. Kalau bisa, sedingin udara pagi di luar kedai itu. Sebagai seorang pendekar, penting baginya untuk tetap berwaspada dalam segala keadaan, dan itu tidak akan bisa didapatkannya tanpa kepala yang dingin!
“Yang harus kita kawal betul-betul adalah para utusan kerajaan, bukan pasukannya.” Dasarata membuka bincangan berat tanpa berbasa-basi. “Jadi, kita akan ditempatkan pada kapal utama; bersama dengan utusan-utusan penting kerajaan.”
“Dengarkanlah baik-baik, Adha.” Sinabung memberi ucapan tajam. “Kita hanya perlu menjaga beberapa puluh orang, tetapi sayangnya tidak ada satupun dari mereka yang merupakan petarung, sedangkan justru merekalah yang paling diincar musuh. Sangat rentan jika sampai terjadi serangan. Tetapi semoga saja tidak, sebab jalur yang akan kita lewati kali ini tidaklah terlalu berbahaya, sehingga semestinya tugas ini akan cukup mudah diselesaikan. Kami berdua, sebagai kakak seperguruan, akan membimbing dirimu sedapat mungkin.”
Ayodha kembali menganggukkan kepalanya.
“Tetapi baiknya engkau tidak terlalu meremehkan mereka, Abung. Biar bagaimanapun adanya, sepuluh nyawa utusan kerajaan jauh lebih berharga ketimbang nyawa seluruh pasukan di armada itu. Mereka merupakan suatu citra perdamaian, yang mungkin saja dapat mencegah tumpahnya nyawa banyak orang tak bersalah di masa mendatang. Anggaplah kita bukan hanya memegang tugas dari perguruan saja, tetapi pula tugas perdamaian.” Dasarata membantah perkataan Sinabung dengan halus.
“Tidak perlu khawatir, wahai Sahabat! Biarpun kukatakan bahwa tugas ini mudah, tetapi tidak sekalipun aku menggampangkannya. Tugas tetaplah tugas. Baik itu dari perguruan semata maupun dari kerajaan pula, aku akan tetap menjalaninya dengan taruhan jiwa dan ragaku.” Sinabung tersenyum mantap.
“Aku tahu kau selalu siap mati demi kebaikan, begitu pula dengan diriku.” Dasarata mengangguk sekali sebelum melirik Ayodha di sebelahnya. “Bagaimanakah dengan dirimu, Adha?”
Menarik napas dalam-dalam, Ayodha menjawab dengan sepenuh keyakinan, “Aku siap pula!”
Percakapan mereka terhenti di sana ketika seorang pelayan kedai datang mengantar hidangan yang tadinya dipesan oleh Dasarata dan Sinabung, berupa umbi-umbian rebus yang memanglah teramat cocok untuk makan pagi.
“Makanlah, Adha. Kami yang membelanjakanmu ini, anggaplah sebagai permintaan maaf dari kami sebab telah membuatmu menunggu terlalu lama di sini.”
Ayodha tersenyum pahit. Umbi-umbian kukus seperti ini dapatlah ia beli dengan uangnya sendiri. Harganya tidak lebih dari sekeping perunggu. Tiadakah ini terlalu murah sebagai tanda permintaan maaf?
Namun, betapa pun Ayodha tetap melahap umbi-umbian itu. Perutnya lapar, tak dapat ditawar lagi. Lagi pula, bila kakak seperguruan telah menyuguhkan sesuatu, maka adab mengharuskan Ayodha untuk menerimanya.
“Persiapanmu lengkap semua, Adha?” Dasarata bertanya.
Ayodha mengangguk. “Siap sudah semuanya untuk beberapa bulan. Sebagian besar barang telah kuletakkan di dermaga agar lebih dahulu diangkut ke kapal.”
“Perjalanan kita hanya akan memakan waktu paling tidak tiga pasar saja, tetapi alangkah banyaknya persediaan yang engkau bawa itu.”
“Kakanda berdua dapat mengambil perbekalanku jika mau,” kata Ayodha santai setelah ditelannya kunyahan umbi-umbian ke dalam lambung. “Tetapi jika tidak, mungkin itu dapat kubagikan pada pengemis-pengemis jalanan.”
“Jangan, biar untukku saja.” Memotonglah Sinabung. “Pengemis-pengemis jalanan itu jauh lebih kaya ketimbang kita bertiga bahkan bila digabungkan sekalipun. Mereka tampil menyedihkan seperti itu memanglah untuk menarik rasa iba orang-orang sehingga akhirnya berderma. Begitulah pekerjaan mereka adanya.”
“Tidak semua pengemis begitu ….” Ayodha mengibaskan lengannya. “Jika Kakanda memang menghendakinya, maka bukan keberatan bila kuberikan sebagian untukmu.”
Tepat setelah Ayodha berkata seperti itu, tetiba saja terdengar suara sangkakala mengoyak udara. Ketiga pendekar dari satu perguruan itu lekas menolehkan pandang keluar jendela dengan air wajah terkejut.