Kita tinggalkan Swandaru dalam keadaan genting dan Agung Sedayu yang mulai pecah perhatiannya!
Sayoga mendapat ruang bebas ketika Ki Malawi harus mengelakkan wajah demi mengelak terjangan tanah basah. Meski hanya segenggam namun berlambar tenaga inti Serat Waja. Ki Malawi tahu bahwa lontaran itu dapat menembus kulit wajahnya. Tekanan pada Sayoga mengendur, celah sempit ini ia manfaatkan untuk menyerbu Ki Sarjuma. Dalam waktu itu, Ki Sarjuma tengah memeragakan gerakan liar, ia menyambut serangan Sayoga dengan dada terbuka! Satu peluang emas! Tidak akan ada seorang petarung yang akan membuang kesempatan langka ini. Seekor harimau lapar pasti tidak kesulitan menancapkan taringnya!
Dengan kecepatan yang nyaris setara dengan burung walet dan pengerahan seluruh tenaga, pedang kayu Sayoga mengayun deras. Tiba-tiba Ki Sarjuma berteriak nyaring, menembus simpul pendengaran Sayoga!
Peristiwa mengguncang pun terjadi!
Tiba-tiba Sayoga kehilangan kepandaiannya. “Sesuatu terjadi padaku! Ada apakah ini?” sorot mata heran memancar dari Sayoga. Ia belum banyak melewati perkelahian, bahkan ayah dan ibunya tidak pernah bercerita tentang ilmu sejenis yang dimiliki oleh Ki Sarjuma. Kecepatan dan seluruh tenaganya luruh! Bentakan dahsyat yang melebihi auman harimau menyodok bagian dalam tubuh Sayoga. Dadanya terguncang hebat. Pedang kayu Sayoga tetap melaju, menyentuh dada Ki Sarjuma tanpa tenaga! Meski dua kakinya masih mampu bergerak cepat tetapi itu adalah lapis kemampuan orang biasa, maka dera serangan Ki Sarjuma hanya ditanggulanginya dengan menghindar, berlari dan berloncatan saja. Keseimbangan berubah sedemikian cepat! Sayoga yang tangguh dan ulet di awal perkelahian telah menjadi mangsa yang empuk. Ia adalah seekor rusa muda dalam kepungan dua singa ganas yang kelaparan.
“Bagus!” seru gembira Ki Malawi seraya bertepuk tangan. Ia telah membayangkan keberhasilan pergerakan Panembahan Tanpa Bayangan merebut Mataram. Dan baginya, Sayoga adalah orang pertama yang harus dijadikan sebagai tumbal kemenangan.
“Bocah ini harus mati, Ki Malawi!” lantang Ki Sarjuma menggema. Suara yang terdengar mengerikan, suara yang terdengar seperti panggilan untuk malaikat kematian.Sayoga terus menerus bergerak, berlarian, meloncat tak terarah demi keselamatan dirinya.
“Apa dayaku dalam tekanan seperti ini? Orang dengan auman dahsyat masih mencecar dengan napas yang berbau kematian.” Sayoga sepintas mengerling ke arah Ki Malawi yang berusaha memotong arah gerakannya. Upaya Sayoga agar dapat mengurangi tekanan Ki Sarjuma belum menampakkan hasil. “Aku tengah menghadapi dua serigala lapar dan haus darah.” Sayoga benar-benar dalam keadaan lemah. Setiap kali ia bergerak, Ki Malawi selalu mendahuluinya, memotong jalur gerak Sayoga. Sayoga benar-benar terkurung dalam pusar badai serangan Ki Sarjuma. Berulang kali ia harus menerima terjangan senjata yang sengaja tidak dibidik secara tepat oleh musuhnya. Sayoga mengerti maksud lawannya, Ki Sarjuma ingin membunuhnya perlahan!
Sayoga dapat membaca seringai wajah, sorot mata dan gerakan Ki Sarjuma yang mempermainkan dirinya. “Ia dapat mengambil nyawaku, kapan saja! Tapi ia tidak lakukan itu.” Bisik hati Sayoga harus berakhir ketika lutut Ki Malawi mendarat di pinggulnya. Ia terlontar sedikit jauh, terguling beberapa kali di atas tanah basah. Sayoga masih mampu mengangkat tubuhnya. Ia bertumpu pada satu lutut kaki dengan mata penuh gelora! Sayoga menyalakan api semangat yang nyaris redup. Ia membayangkan wajah Nyi Wijil yang masih berada di sekitar tempat Raden Atmandaru. Petunjuk dan wejangan Ki Wijil mengiang di bagian dalam telinganya.
“Aku tidak boleh mati di tempat ini, meski mustahil aku dapat melepaskan diri!” Kayu kering dalam hatinya telah dibakar. Dalam waktu sekejap, Sayoga mencoba memperbaiki keadaan tubuhnya bagian dalam.