Padepokan Witasem
Lanjutan Api di Bukit Menoreh

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 2

Ki Kebo Langit melihat sekeliling halaman rumah Ki Madyasta bagian dalam. Dalam kegelapan itu tidak tampak sesuatu yang mencurigakan dapat ditangkap oleh penglihatannya. Meski begitu, Ki Kebo Langit tetap menaruh kecurigaan yang cukup tinggi. Dalam hatinya, ia berkata,” bayangan yang aku lihat itu tadi bisa saja menyusup ke bagian dalam halaman. Dan tidak mungkin bayangan itu membuka pintu. Derit pintu pasti dapat aku dengar meski di tengah air yang gemericik ini.”

Air hujan membasahi rambut dan janggut tipisnya, Ki Kebo Langit menengadah memperhatikan arah timur dan agaknya fajar masih cukup jauh untuk mencapai tempatnya berdiri. Dalam satu lompatan, Ki Kebo Langit telah memasuki halaman rumah Ki Madyasta.

“Ki sanak. Maaf mengganggumu. Kami prajurit Panaraga akan memeriksa sekeliling halaman rumahmu!” seru Ki Kebo Langit dengan menggedor pintu.

Rara Wulan yang mendengar jejak kaki mendarat di lantai depan pintu masih bersikap tenang. Ia memberi isyarat kepada Lenggana untuk keluar menemuinya. Lenggana termangu-mangu melihat pertanda yang diberikan Rara Wulan. Agaknya Lenggana tidak menghendaki benturan kekerasan sebelum kedudukan orang-orang yang berada di dalam rumah menjadi jelas baginya. Sekali lagi Rara Wulan memberikan tanda bagi Lenggana untuk bergeser membuka pintu. Rara Wulan sudah memperhitungkan benturan yang mungkin saja akan terjadi, ia telah berhitung bahwa suaminya dan Ki Ajar Gurawa tentu sudah berada tidak jauh dari rumah.

loading...

“Ki sanak, bukalah pintunya. Aku tidak ingin ada perkelahian malam ini!” seru Ki Kebo Langit untuk kedua kalinya.

Sambil membenahi pakaiannya, Lenggana bangkit dan bergerak membuka pintu. Sejenak kemudian ia telah berdiri berhadap-hadapan dengan Ki Kebo Langit yang ditemani oleh seorang lurah prajurit. Dan di halaman rumah telah ada beberapa prajurit yang berdiri menyebar di halaman.

“Selamat malam ki sanak. Mungkin ki sanak merasakan ada gangguan di lingkungan ini sehingga sampai menyuruh kami membuka pintu di malam larut seperti ini,” berkata Lenggana yang meskipun berusia muda namun memiliki ketenangan yang meyakinkan.

“Siapakah kau? Aku tidak pernah melihat dirimu sebelumnya,” bertanya lurah prajurit yang berada di sebelah Ki Kebo Langit.

Lenggana segera menundukkan wajahnya, sambil sedikit berbungkuk ia berkata,” aku adalah Lenggana.”

“Apa hubunganmu dengan Ki Marta?” masih lurah prajurit itu yang bertanya.

“Aku adalah keponakan Ki Marta. Ki Marta menitipkan rumah ini kepadaku selama ia dan keluarganya pergi mengunjungi sanak kadang yang berada di Madiun,” jawab Lenggana.

“Dengan siapa kau tinggal di rumah ini?”

“Hanya aku dengan bibi, ia adik dari istri Ki Marta. Ia sedang tidur di bilik belakang.”

Ki Kebo Langit yang tidak dapat mengendapkan hatinya, segera memberikan tanda kepada para prajurit yang menunggu di halaman untuk memasuki rumah.

“Ki sanak tidak dapat begitu saja memerintah prajurit memeriksa seisi rumahku. Aku akan memukul tanda bahaya jika kau memaksa masuk ke dalam rumahku,” suara Lenggana terdengar seperti menahan amarah dan rasa khawatir. Ia merasa harus dapat mengulur sedikit waktu agar teman-temannya yang berada di dalam dapat menyembunyikan diri. Terbayang dalam benaknya, Nyi Kantil yang sedang dalam keadaan pingsan. Keringat dingin segera membasahi leher dan punggung Lenggana.

Derai tawa Ki Kebo Langit dan lurah prajurit terdengar cukup keras.

“Aku adalah prajurit Panaraga, lalu bagaimana kau dapat berkata kepada orang-orang yang datang akan suatu bahaya?” berkata lurah prajurit itu tergelak.

Lenggana sambil  membungkukkan badannya, ia bergeser ke dalam di samping pintu. Lurah Prajurit menyeruak masuk diikuti oleh beberapa prajurit. Sedangkan Ki Kebo Langit masih berada di depan pintu dengan pandangan mata berkeliling.

Bintang-bintang telah berangsur pelan meninggalkan pertengahan malam. Terdengar petir sambung menyambung di udara. Setiap kali suaranya menggelegak memenuhi setiap jengkal udara malam. Hujan mulai deras mengguyur dari langit.

Setiap orang yang berada di sekeliling dan di dalam rumah terjalari perasaan yang tergetar hebat karena suara ledakan yang ditimbulkan oleh petir berulang kali. Ketegangan menyusup dan menjadi semakin memuncak karenanya. Masing-masing orang agaknya mempunyai pertimbangan dan perhitungan sendiri-sendiri. Ki Kebo Langit masih belum beranjak dari tempatnya, lalu teriaknya,”  hati-hati! Jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri kita sendiri, jangan benamkan diri kita ke dalam usaha yang sia-sia. Kita belum tahu pasti siapa yang kita hadapi. Tidak ada seorangpun dapat meloloskan diri dari tempat ini, sekalipun ada kemungkinan itu tipis sekali.”

Para prajurit Panaraga dengan perintah seorang lurah prajurit mulai memeriksa ke setiap bagian di dalam rumah. Mereka memasuki setiap bilik, sentong hingga halaman belakang dan bahkan menguak setiap tanaman di sekitar sumur.

Dentang jantung Paripih begitu keras membentur rongga dadanya ketika seorang prajurit mendekati tempatnya bersembunyi. Ia sangat hati-hati mengatur nafas agar tidak terdengar oleh prajurit yang hanya berjarak sejengkal darinya. Alas kaki prajurit itu hampir saja menginjak telapak tangannya yang tertutup jerami yang tidak beraturan letaknya. Sedangkan Ki Madyasta berada di atas sebuah balok kayu yang melintang di atas pintu. Matanya lekat menatap bilik yang ditempati oleh Nyi Kantil. Dadanya bergemuruh begitu keras saat dua orang prajurit mendekati bilik dan membuka pintunya.

“Ki lurah!” seru seorang prajurit seraya memeriksa keadaan Nyi Kantil yang tak sadarkan diri. “Apakah perempuan ini pingsan atau telah mati?” ia bertanya kepada kawannya sambil menunggu lurah prajurit. Sejenak kemudian, lurah prajurit telah berada di dalam bilik dan memeriksa keadaan Nyi Kantil. Lurah itu memandangi Nyi Kantil lalu berkata dalam hatinya,” Wanita ini memang sudah tidak muda lagi tetapi masih terlihat segar dan cantik sekali.” Matanya lekat menatap nanar perempuan yang terlentang pingsan dengan pakaian bagian atas yang sedikit tersingkap. Degup jantungnya berlomba cepat dengan nafas yang memburu, terlintas satu keinginan dalam hatinya. Lalu ia cepat memondong tubuh perempuan itu dan membawanya keluar dari bilik.

KI Madyasta yang melihat lurah prajurit itu keluar sambil memondong Nyi Kantil yang pingsan, tiba-tiba membentak,“ berhenti! Turunkan wanita itu. Sepantasnya kau menjalankan tugasmu, bukan menculik seorang wanita yang tidak berdaya!”

Bentakan ini ditutup dengan serangannya yang dahsyat, tubuhnya meluncur dari atas dan kedua lengannya terjulur seperti dua ekor ular. Yang kiri meninju bagian kepala lawan, yang kanan ditarik ke dalam untuk kemudian dihantamkan ke arah pusar. Lurah prajurit tersentak kaget dengan bentakan keras itu, segera melemparkan tubuh Nyi Kantil pada seorang prajurit yang berada di dekatnya.

“Akhirnya ada cecurut yang keluar!“ lurah prajurit berseru. Ia cukup tangkas menangkis kedua serangan Ki Madyasta, lalu sambil mengelak ke samping ia cepat memutar tubuhnya melepaskan tendangan memutar kea rah kepala Ki Madyasta.

Terjadilah pertempuran hebat di antara kedua orang yang sama-sama berkedudukan sebagai lurah prajurit. Pada saat itu, Ki Madyasta benar-benar telah mempergunakan segenap kekuatannya dilambari dengan kemarahan yang membara didalam dirinya. Ia mengetahui penyebab kemarahannya, akan tetapi Ki Madyasta cukup kesulitan ketika membedakan apakah kemarahannya itu disebabkan oleh gejolak dalam dadanya yang melihat Nyi Kantil berada di bawah kuasa orang lain atau karena Panaraga benar-benar menunjukkan perlawanan kepada Mataram. Oleh karena itu, maka kekuatan Ki Madyasta seakan-akan menjadi berlipat-lipat.

Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat antara keduanya. Benturan kekuatan antara Ki Madyasta yang menyalurkan gejolak hatinya yang meledak dengan kekuatan lurah prajurit yang tegak seperti batu karang. Demikianlah maka kedua kekuatan itu telah melemparkan keduanya ke belakang beberapa langkah. Sekejap kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertarungan yang seimbang. Semua pukulan dilakukan dengan pengerahan tenaga cadangan, sesekali terdengar angin mendesir, keduanya adalah prajurit tangguh sehingga selalu dapat saling mengelak dan menangkis. Ki Madyasta dan lurah prajurit itu sendiri sudah telah berada di keputusan akhir jika perkelahian ini harus segera diakhiri dengan cepat. Mereka saling serang dan sukar dikatakan siapa yang lebih unggul karena kedua orang itu saling membalas setiap serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Paripih yang melihat Ki Madyasta telah terlibat perkelahian yang menggetarkan, segera menyerbu ke satu dua prajurit yang berdiri mengawasi pertarungan itu. Dari jarak sangat dekat, Paripih dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaga cadangannya segera menghantam kedua prajurit itu. Dua prajurit itu memang tidak bersiap sebelumnya, hingga dengan sangat mudah Paripih menggapai kening kedua prajurit dan menutupnya dengan tendangan yang mendarat di dada mereka. Kedua prajurit itu merasakan  kepala pening dan pandangan mata yang kabur, sebelum mereka menyadari sosok penyerangnya, mereka telah terkulai menahan sakit dan tidak mampu bangkit lagi.

Sejenak kemudian, ketiga prajurit yang lain segera mengeroyok Paripih. Paripih yang telah mempunyai pengalaman bertempur sejak bergabung dengan kelompok Gajah Liwung tidak mengalami kegugupan. Ia dengan tenang mengelak dan sesekali membalas serangan para pengepungnya. Meskipun kemampuan prajurit itu jauh berada di bawah lapisan yang ia miliki, ketiga prajurit Panaraga dapat melakukan perlawanan yang cukup berarti. Ketiganya dapat bekerjasama mengepung Paripih, sesekali Paripih terdesak mundur hingga menggunakan meja dan perangkat rumah lainnya untuk melindungi dirinya dari serangan ketiga prajurit itu. Namun begitu ia masih sempat melirik pertarungan Ki Madyasta dengan lurah prajurit Panaraga.

Perkelahian yang itu benar-benar menegangkan dan kedua pihak dapat mengerti bahwa lapisan mereka tidak banyak selisihnya, sekalipun keduanya mempunyai tata gerak olah kanuragan yang berbeda. Kedua orang ini, seperti halnya perkelahian antara Paripih dan ketiga prajurit, mempunyai tujuan yang sama. Orang-orang Mataram berkelahi untuk sebuah tujuan mulia yaitu menjaga kepercayaan yang dilimpahkan oleh Panembahan Hanyakrawati sebagai satu-satunya orang yang berkuasa di Mataram sesuai paugeran. Sedangkan orang-orang Panaraga berkelahi karena mereka tidak mengetahui jika gerakan yang digalang oleh Pangeran Ranapati sebenarnya menyimpang dari paugeran. Sehingga mereka bertempur hingga ajal menjemput itu karena kesetiaan pada atasan tanpa disertai nalar yang cukup.

Rara Wulan yang mendengar keributan di bagian dalam segera menerjang keluar, menyerbu Ki Kebo Langit. Ki Kebo Langit agaknya telah bersiap dengan segala kemungkinan, segera memapas serangan Rara Wulan seraya beralih turun ke halaman. Sementara Lenggana, tanpa diperintah siapapun, segera menyelinap keluar menghadapi lima prajurit yang berada di halaman depan. Kelima prajurit itu segera menangkap sosok bayangan yang keluar dari pintu dan dengan cepat mereka mengepungnya. Sejenak kemudian, keenam orang itu telah terlibat pertarungan yang tidak seimbang dari jumlah, Namun putaran pedang Lenggana yang bertubi-tubi itu akhirnya mengoyak kepungan lima prajurit Panaraga.

Serangan Rara Wulan bergelombang deras susul menyusul, dalam pada itu Ki Kebo Langit tidak kehilangan pengamatan dirinya. Ia dengan tenang bergerak gesit diantara serangan Rara Wulan dan sesekali melakukan serangan balasan. Serangan Rara Wulan semakin lama menjadi semakin cepat. Bahkan ia melipatgandakan tenaganya hampir-hampir tak tertahankan lagi meskipun belum pada tataran tenaga cadagan. Ki Kebo Langit yang sama sekali belum tersentuh pada bagian tubuh yang berbahaya diam-diam berdecak kagum pada kemampuan yang diperlihatkan Rara Wulan. Secara tiba-tiba serangan Ki Kebo Langit datang menyambar dengan cepatnya. Seperti pusaran angin, kini serangannya membelit Rara Wulan dari setiap penjuru mata angin. Seruan tertahan terdengar dari bibir Rara Wulan ketika tendangannya kaki kiri yang memutar membentur sebelah luar pangkal lutut kaki Ki Kebo Langit. Agaknya Ki Kebo Langit sedang menjajagi kekuatan tenaga wadag Rara Wulan. Sedangkan Ki Kebo Langit sendiri merasakan denyut pelan pada pangkal lututnya yang berbenturan keras dengan tumit Rara Wulan.

Glagah Putih yang mendengar suara perkelahian di bagian dalam rumah, segera mengalihkan dirinya ke bagian depan karena dari arah itu ia mendengar suara Ki Kebo Langit yang berkata-kata cukup keras. Dan ia juga mendengar suara istrinya yang bertarung dengan Ki Kebo Langit di halaman depan.

Glagah Putih melangkah dengan tenang namun ia tidak dapat menahan gejolak hatinya, ia berkata,“Ki Kebo Langit, kau tidak lelah membuat kegaduhan di tanah Mataram. Sejak kekalahanmu di Madiun, agaknya kau tidak segera berdamai dengan masa lalumu. Kalau kau melukai perempuan itu, baiklah. Aku kira kita akan mati bersama-sama. Kau tidak akan dapat menangkap siapapun yang ada di rumah ini. Ki Kebo Langit, aku telah membuat timbangan diantara kekuatan kita. Mungkin kau menang dalam jumlah tetapi semua orang-orangmu dan kau sendiri akan tergeletak di pekarangan rumah ini. Jangan pernah bermimpi mengikat tangan orang-orang Mataram.”

Ki Kebo Langit segera menjauhi Rara Wulan. Mendengar suara suaminya semakin mendekat, Rara Wulan kemudian menahan serangannya. Sementara itu dada Ki Kebo Langit berdesir. Ia segera teringat pertempuran di dalam kota Madiun dan kemudian pertempuran di padepokannya. Ia tidak begitu saja percaya pada orang yang mengatakan itu. Ketika dilihatnya seseorang melangkah maju mendekatinya, agaknya ia sedikit mengenali Glagah Putih.

“Bukankah kau yang pernah ikut serta menyerbu padepokanku?” bertanya Ki Kebo Langit.

Glagah Putih menganggukkan kepalanya. Lalu katanya,” kau telah mengingat penyerbuan itu, Ki Kebo Langit. Sekarang, marilah aku akan selesaikan pekerjaan Ki Gede Menoreh dan kakang Agung Sedayu yang belum tuntas pada waktu itu.”

Glagah Putih segera memberi isyarat pada Rara Wulan untuk memeriksa bagian dalam rumah. Sementara Glagah Putih keluar dari persembunyian, Ki Ajar Gurawa juga telah memutuskan untuk keluar ketika ia mendengar keributan di bagian dalam rumah. Dalam pada itu, Ki Ajar Gurawa melihat Glagah Putih telah berhadap-hadapan dengan Ki Kebo Langit. Ia segera melibatkan dirinya dalam perkelahian bersama Lenggana. Dalam waktu singkat, kelima prajurit itu telah berhasil mereka tundukkan.

Ki Kebo Langit segera percaya akan kata-kata itu. Seluruh prajurit Panaraga pasti akan mati. Ia masih tetap tegak berdiri ditempatnya sambil memperkirakan kelompok prajurit perondan yang bertugas menyusuir jalan-jalan di sekitar rumah Ki Madyasta segera menemuinya.

Rara Wulan segera menghampiri Nyi Kantil yang masih tergeletak di lantai rumah. Kemudian ia membuka beberapa simpul urat agar Nyi Kantil segera bangun dari pingsannya. Tak lama kemudian Nyi Kantil telah sadar diri dan perlahan membuka matanya. Suaranya yang hampir saja keluar dari tenggorokan segera tertahan oleh telapak tangan Rara Wulan yang kemudian memintanya untuk diam dan beranjak masuk ke bilik.

“Pakailah kain ini, nyi. Kita akan segera keluar dari rumah ini dan kau kenakan pakaian yang berbentuk sama dengan yang aku pakai,” kata Rara Wulan di dalam bilik. Nyi Kantil menuruti saja apa yang dikatakan Rara Wulan. Ia sudah tidak dapat melakukan apapun di tengah-tengah pertarungan yang terjadi di dalam rumah selain menumbuhkan harapan dan kepercayaan kepada seluruh orang-orang Mataram. Sejenak kemudian, Rara Wulan menyingkapkan pintu sedikit terbuka dan mencoba menilai perkembangan yang terjadi di dalam rumah. Agaknya Paripih mulai sedikit terdesak dan terkurung dalamkepungan ketiga prajurit Panaraga. Sedangkan Ki Madyasta masih terlibat pertarungan yang dahsyat dengan lurah prajurit. Rara Wulan segera memutuskan mengambil dua orang prajurit Panaraga yang menjadi lawan Paripih. Tak berapa lama kemudian, ketiga prajurit Panaraga itu dapat ditundukkan.

“Ikat mereka, Paripih,” berkata Rara Wulan. Paripih menjawabnya dengan cepat mengikat ketiga prajurit itu dengan tali yang terbuat dari sabut kelapa.

Lurah prajurit yang melihat kekalahan ketiga orang anak buahnya, lantas menggerakkan tangannya mencabut golok besar yang tergantung pada pinggangnya. Sekelebat sinar berkilat ketika golok yang besar itu telah dicabutnya dan kini lurah prajurit menerjang sambil berteriak menggelegar mengerikan.

KI Madyasta terpaksa meloncat surut amat cepatnya untuk menyelamatkan diri dari golok yang berputar-putar sangat ganas itu. Melihat lawannya kini menjadi liar itu mengejarnya dengan golok yang terayun-ayun berputaran mencoba menggapai bagian tubuhnya, Ki Madyasta berloncatan surut. Dalam pada itu, lurah prajurit melihat kesempatan baik saat Ki Madyasta membuka selongsong tombak pendek yang menjadi senjatanya. Tata gerak lurah prajurit seakan-akan tidak beraturan namun ia semakin dekat dengan pintu belakang. Sebelum Ki Madyasta menyadari rencana lawannya, lurah prajurit telah menyusup keluar dan dengan cepat menghilang dalam gelap malam yang masih ditimpa gerimis hujan. Rara Wulan yang melihat arah gerakan lurah prajurit pun juga tidak sempat mengejarnya sekalipun ia meluncur deras seperti anak panah.

Di halaman depan, Glagah Putih telah berdiri berhadap-hadapan dengan Ki Kebo Langit. Ki Kebo Langit telah mengambil satu pertimbangan yang masak. Ia mengeluarkan tata gerak dasar yang sudah umum dikenal oleh orang-orang yang terlibat dalam olah kanuragan. Diam-diam ia mengungkap tenaga cadangan sementara Glagah Putih belum menyadari hal itu.

Satu loncatan panjang, Ki Kebo Langit tiba-tiba menyerang Glagah Putih. Demikian cepatnya, sehingga Glagah Putih menjadi terkejut. Segera Glagah Putih menguasai dirinya dan membalas dengan satu juluran menebas datar ke wajah Ki Kebo Langit dengan satu sisi telapak tangannya. Ki Kebo Langit  harus meloncat surut. Namun berikutnya yang terjadi adalah Ki Kebo Langit menyusulkan serangan yang berturut-turut sangat deras dan cepat. Meskipun Glagah Putih mempunyai pengalaman yang cukup dalam pertarungan tingkat tinggi, agaknya serangan Ki Kebo Langit benar-benar terjadi di luar perhitungannya. Glagah Putih menjatuhkan diri dan  berputar pada pundaknya. Dalam pada itu, Ki Kebo Langit segera melepaskan Glagah Putih dan melayang jungkir balik ke luar halaman setelah menyelinap di antara ranting-ranting pohon yang tumbuh berdekatan. Ki Ajar Gurawa yang menjaga diri untuk tidak bertarung berdampingan dengan Glagah Putih terperangah menyaksikan kecepatan serangan Ki Kebo Langit dan begitu liciknya telah meninggalkan lingkungan pertarungan.

Beberapa lama kemudian, seluruh orang-orang Mataram telah berkumpul di dalam rumah.

“Agaknya penyamaran kita telah terbongkar,” berkata Glagah Putih. Ki Madyasta menganggukkan kepala. Sesekali ia melirik Nyi Kantil yang mengenakan pakaian seperti lelaki. Merasakan dadanya berdegup kencang, Ki Madyasta segera menundukkan kepala dan mengatur perasaannya agar mengendap.

“Kita tinggalkan rumah ini dan berpisah. Aku beserta kedua muridku akan mencoba kembali ke rumah sebelum ini,” Ki Ajar Gurawa mengatakan itu dengan mengusap wajahnya yang masih basah oleh air hujan.

“Bukankah itu akan menjadi sangat berbahaya, kiai. Rumah itu sudah barang tentu berada dalam pengamatan prajurit sandi Panaraga,” berkata Ki Madyasta.

“Memang betul akan seperti itu. Tetapi untuk saat ini kita tidak mempunyai rencana lain. Dan jika kita semua keluar dari Panaraga, tentu tugas pengamatan ini akan berhenti. Sedangkan Mataram masih membutuhkan keterangan-keterangan yang lebih mendalam untuk melengkapi bahan yang telah terkumpul sebelumnya.”

“Baiklah. Sementara Ki Ajar Gurawa kembali ke rumah sebelumnya, maka aku dan Rara Wulan akan menepi ke hutan-butan kecil di sekitar kadipaten. Kita akan bertemu pada setiap pekan di pedukuhan kecil yang tersebar di ujung barat kadipaten. Sementara Ki Madyasta dan Nyi Kantil dapat menuju Mataram,” Glagah Putih menguraikan rencananya. Mereka menilai baik rencana Glagah Putih dan kemudian setuju untuk memisahkan diri pada malam itu juga.

Beberapa hari sebelum kedatangan Ki Kebo Langit di rumah Ki Madyasta, Sekar Mirah menyambut gembira keberhasilan suaminya merambah selapis ilmu lebih tinggi. “Memang seperti itulah seharusnya, kakang Agung Sedayu sebagai seorang senapati yang disegani di Mataram semakin menunjukkan kemampuan yang tersimpan dalam dirinya,” berkata Sekar Mirah dalam hati. Seperti biasa, kedua suami istri itu menjalankan kewajiban rutin di rumah mereka. Selama Glagah Putih tidak berada di rumah, Agung Sedayu mengambil alih tugas mengisi jambangan. Sementara Sukra mulai mengikuti apa yang dulu pernah dilihatnya saat Glagah Putih menyapu halaman. Dengan perasaan yang terkadang tidak sabar, Sukra berusaha memenuhi petunjuk Agung Sedayu untuk tetap berjalan mundur ketika menyapu halaman. Dalam pada itu, Nyi Dwani sering terlihat membantu Nyi Sekar Mirah mengurusi pekerjaan rumah.

Pagi itu, Nyi Sekar MIrah mengantarkan Ki Rangga Agung Sedayu hingga regol halaman, lalu katanya,”kakang, beberapa hari ini aku melihat sejumlah orang yang agaknya bukan berasal dari tanah perdikan ini.”

Sekar Mirah menerawang bentangan lereng perbukitan Menoreh yang menjulang menggapai langit. Ia terdiam sejenak, kemudian,” aku kira sebaiknya kakang kembali ke rumah setelah hari menjadi gelap.”

Agung Sedayu termangu-mangu mendengarkan istrinya. Sementara itu, ia masih menahan diri untuk tidak mengusik dengan pertanyaan.

“Baiklah, kakang. Aku lupa mengatakan itu kepadamu, tetapi aku tetap meminta kakang kembali setelah hari gelap. Sementara kakang belum berada di rumah, aku akan meminta Nyi Dwani dan Empu Wisanata untuk datang kemari menemani KI Jayaraga,” berkata Nyi Sekar Mirah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “ baiklah jika kau telah mempersiapkan sebuah rencana. Dan beritahulah Sukra untuk tidak berada jauh dari rumah. Sewaktu-waktu ia dapat menyusulku jika kau perlukan. Marilah, aku pergi dahulu.” Agung Sedayu minta diri pada istrinya dan memacu kuda tidak terlalu cepat menuju barak pasukan khusus.

Sebenarnyalah Sekar Mirah telah mengetahui kehadiran orang-orang yang tidak dikenalnya telah mengamati lingkungan rumahnya. Namun ia tidak segera memberitahukan pengamatannya itu kepada Agung Sedayu yang sedang berjuang keras menempa diri untuk merambah lapis baru ilmu dari kitab Ki Waskita. Pada suatu malam ketika Agung Sedayu masih berada di dalam sanggar, Sekar Mirah menyatakan kegelisahannya kepada Ki Jayaraga yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri.

“Kiai, aku merasakan sesuatu yang berbeda sedang mengawasi keadaan rumah ini,” berkata Nyi Sekar Mirah.

“Katakanlah, ngger. Mungkin memang ada yang luput dari pengamatanku dan Ki Waskita. Karena kami berdua juga sedang membagi perhatian untuk perkembangan angger Agung Sedayu.”

Setelah mengendapkan perasaannya yang sempat bergejolak sepeninggal suaminya, Nyi Sekar Mirah berkata,” kiai, sudah barang tentu kiai telah mengenal lingkungan rumah ini dan tetangga di sekitar kita.” Ia terdiam sejenak ketika melihat Ki Jayaraga memanggutkan kepala dengan mata terpejam. Kemudian,” beberapa hari ini aku melihat seorang penjual dawet pikulan di depan halaman rumah Ki Sunu. Ia berada di sana dalam waktu yang cukup lama, kiai. Aku mengetahui itu ketika pergi ke pasar. Dan ternyata ia masih berada di sana sepulangku dari pasar. Aku tanyakan itu pada istri Ki Sunu dan ia memang memperhatikan orang itu. Kemudian Sukra juga mendapati penjual kayu bakar yang berbeda orang sering melintas di depan rumah ini di saat siang.”

“Angger, selama ini setiap orang yang berjualan di depan rumah ini mempunyai kebiasaan memanggil nama Glagah Putih atau Sukra. Dan karena mereka tidak memanggil-manggil nama mereka, lalu kau menjadi curiga?”

“Begitulah kiai.”

“Baiklah. Sementara ini kita tidak perlu memberitahu angger Agung Sedayu agar nalar budinya tidak terganggu dengan kehadiran orang-orang yang kau curigai. Tetapi aku akan membawa persoalan ini kepada Ki Waskita dan Ki Gede. Beritahukan kepada suamimu jika ia sudah selesai dengan lelakunya.”

“Baik kiai.” Sekar Mirah kemudian minta diri untuk kembali mengerjakan tugas-tugasnya sebagai seorang perempuan dewasa.

Di barak pasukan khusus, beberapa lama kemudian, Ki Rangga Agung Sedayu telah memanggil Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Kertawirya. Sedangkan Ki Lurah Sanggabaya sedang bertugas memimpin latihan gelar perang yang mengikat empat lima prajurit dalam satu kelompok. Gelar perang ini merupakan gagasan Ki Rangga Agung Sedayu yang dikembangkan untuk menampung sejumlah kelebihan yang ada pada beberapa pasukan khusus. Kedua lurah prajurit telah memasuki bilik khusus yang disediakan untuk Ki Rangga Agung Sedayu. Setelah saling memberi hormat, Agung Sedayu mempersilahkan keduanya untuk duduk. Ternyata keduanya memilih duduk di atas tikar pandan berwarna coklat yang terbentang sebelah menyebelah dengan dinding. Agung Sedayu hanya tersenyum melihat kedua lurah prajuritnya. Lalu ia pun segera berangsur mendekati mereka.

Agung Sedayu mengawali pembicaraan dengan menceritakan rencana istrinya. Lalu ia berkata,” ki lurah berdua, segera siapkan beberapa petugas sandi untuk mengawasi beberapa tempat. Aku sendiri telah mendahului kalian dengan meminta para pengawal tanah perdikan. Dan semua penagawal telah aku tarik mundur untuk bergabung dengan Prastawa melakukan beberapa latihan yang telah disusun bersama Ki Gede.”

“Apakah Pangeran Jayaraga sudah melangkah sedemikian jauh hingga Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi perhatian?” bertanya Ki Lurah Kertawirya.

“Kita tidak dapat menebak seperti itu, Ki Kertawirya. Aku minta kita semua dapat menahan diri dari segala dugaan yang buruk. Sebelum ada perintah dari Mataram, kita hanya bergerak untuk mengamati gerakan mereka. Namun begitu, jika memang ada pertimbangan untuk melakukan satu serangan melumpuhkan kekuatan mereka sebelum berkembang lebih besar, aku kira aku akan dapat memberi tanggung jawab kepada Mataram. Petugas sandi yang ki lurah tugaskan harus benar-benar dalam kesiagaan tinggi.”

Kedua lurah prajurit mengangguk kecil mendengarkan Ki Rangga yang kemudian memberi gambaran rencana secara keseluruhan. Kedua lurah prajurit merasakan bahwa tugas sandi kali ini benar-benar akan menjadi tugas paling sulit. Keyakinan keduanya tentang kemampuan para prajurit satuan khusus benar-benar akan mendapat ujian yang sebenarnya. Para petugas sandi dari kesatuan khusus ini harus mampu bergerak cepat dan tidak dapat diraba kehadirannya oleh kelompok orang yang dicurigai. Ki Lurah Kertawirya bertukar pandang dengan Ki Lurah Patrajaya saat Agung Sedayu memberikan gambaran lebih dalam. Keduanya segera membayangkan kesulitan menembus perkampungan orang-orang yang dalam pengamatan. Sedangkan keduanya sama sekali belum pernah melihat tempat yang dimaksud Ki Rangga Agung Sedayu.

“Apakah dengan begitu kita akan menaruh curiga pada Ki Tumenggung Wirataruna, Ki Rangga?” bertanya Ki Kertawirya.

“Tidak. Ki Kertawirya dan Ki Patrajaya, aku menaruh kecurigaan bahwa mereka sekarang berada di sekitar pesanggrahan yang dibangun oleh Ki Tumenggung. Sukra dan beberapa pengawal pernah melihat sekelompok orang yang ternyata bukan orang-orang yang bekerja di pesanggrahan.”

Sambil mengusap keningnya yang berkerut, Ki Patrajaya berkata,” malam ini aku akan mencoba mengamati sekitar pesanggrahan yang Ki Rangga sebutkan.”

“Pekerjaan berbahaya, Ki Patrajaya. Bawalah satu dua petugas sandi besertamu,” kata Ki Rangga Agung Sedayu.

Ki Patrajaya kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding yang berada di belakangnya. Sejenak kemudian ia beringsut maju dan mengatakan rencana yang disusunnya. Ki Rangga Agung Sedayu mendengarkan dengan seksama bersama Ki Lurah Kertawirya.

“Baiklah, aku kira semuanya menjadi terang sekarang tentang gambaran rencana secara keseluruhan. Ki lurah berdua dapat segera memberi petunjuk kepada petugas sandi yang akan bertugas. Aku serahkan sepenuhnya penunjukkan petugas kepada ki lurah berdua,” kata Agung Sedayu setelah Ki Patrajaya selesai menjelaskan rencananya.

“Lalu bagaimana kami akan mengatakan pertemuan ini kepada Ki Lurah Sanggabaya, Ki Rangga?” bertanya Ki Lurah Kertawirya.

“Aku akan memanggilnya dan berbicara sendiri dengannya. Nanti ki lurah berdua dapat menyampaikan panggilan ini kepada Ki Lurah Sanggabaya,” jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Kami minta diri sekarang. Dan mungkin kami akan meminta bantuan kepada Prastawa agar tidak terjadi salah paham tentang pengamatan yang akan dilakukan pasukan khusus,” berkata Ki Lurah Kertawirya.

“Nanti malam aku yang akan berbicara kepada Prastawa dan Ki Gede Menoreh. Sementara ini, Ki Lurah Kertawirya dapat meninggalkan barak dengan penyamaran untuk menemui Prastawa,” kata Ki Rangga Agung Sedayu.

 

 

(bersambung)

Wedaran Terkait

Tentang Kelanjutan Api di Bukit Menoreh

kibanjarasman

Pengumuman : Tidak Melanjutkan ADBM

kibanjarasman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 5

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 4

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 6

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 3

Ki Banjar Asman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.