Padepokan Witasem
Lanjutan Api di Bukit Menoreh

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 3

Pertemuan itu ditutup dengan beberapa pesan dari Ki Rangga Agung Sedayu kepada kedua lurah prajurit pilihannya. Kedua orang itu segera keluar dari bilik Ki Rangga Agung Sedayu. Kemudian bergegas menemui Ki Lurah Sanggabaya yang agaknya sedang melakukan penilaian terhadap latihan gelar yang dilaksanakan sejak pagi. Ki Lurah Kertawirya segera menggantikan tugas Ki Lurah Sanggabaya yang pergi memenuhi panggilan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, beberapa saat setelah Agung Sedayu pergi menuju barak, Sekar Mirah memanggil Sukra yang sedang berada di halaman belakang membelah kayu bakar.

“Sukra, pergilah ke rumah Ki Gede. Dan katakan jika aku meminta Prastawa untuk mengirim beberapa orang petugas sandi dari pengawal tanah perdikan. Jika Ki Gede mengijinkan, temuilah Prastawa dan segera kembalilah ke rumah.”

“Baik Nyi.”

loading...

“Keluarlah lewat pintu butulan. Dan untuk sementara ini, Ki Jayaraga akan aku minta untuk ke rumah Empu Wisanata. Aku akan mengatakan itu kepada Ki Jayaraga.”

“Apakah tidak sebaiknya aku dapat menyampaikan permintaan Nyi Mirah kepada Empu Wisanata? Aku akan mengambil jalan memutar sepulang dari rumah kakang Prastawa.”

Sekar Mirah termenung sejenak, kemudian,” baiklah. Aku akan berbicara serba sedikit dengan Ki Jayaraga. Nah, sekarang pergilah.”

Sukra dengan cekatan membereskan peralatan untuk membelah kayu bakar dan menyelinap keluar melalui pintu butulan. Sesampainya di rumah Ki Gede Menoreh, Sukra menyampaikan pesan-pesan Nyi Sekar Mirah kepada pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Kerutan di wajah Ki Gede Menoreh dengan tegas membentuk lukisan-lukisan di wajahnya yang menggambarkan kewibawaan seseorang yang berjiwa besar dan telah masak dalam kehidupan.

“Begitukah pesan Nyi Mirah?” bertanya Ki Gede menatap tajam Sukra yang menundukkan kepala.

“Benar seperti itu, Ki Gede.”

“Pergilah ke Prastawa. Engkau mendapat ijinku. Sementara sambil menunggu petugas sandi yang dikirimkan Prastawa, aku akan meminta beberapa pengawal yang ada di rumah ini untuk mendahului tugas-tugas mereka seperti pesan Nyi Mirah.”

Sukra meminta diri lalu melanjutkan tugasnya ke rumah Prastawa. Ki Gede Menoreh segera memanggil satu dua pengawal yang sedang berada di sebelah gandok kanan. Setelah itu, Ki Gede memberikan beberapa petunjuk dan pesan untuk mereka jalankan dalam mengamati lingkungan rumah Ki Rangga Agung Sedayu.

jgYz81513585003

“Jika orang-orang yang ditugaskan Prastawa telah kalian lihat. Temui dan bicaralah dengan mereka. Seorang diantara kalian harus segera menemui Prastawa dan laporkan perkembangan yang dapat kalian amati. Seorang lagi segera kemari untuk menghubungkanku dengan Ki Rangga atau orang-orang tua yang lain.”

”Baik Ki Gede,” mereka meminta diri dan pergi ke halaman belakang untuk mempersiapkan keperluan yang akan dibawa dalam tugasnya.

Sebenarnyalah beberapa orang yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil mulai keluar dari regol halaman pesanggrahan yang dikenal sebagai milik Ki Tumenggung Wirataruna. Satu dua kelompok kecil itu ada yang menuju ke pasar yang berada di padukuhan induk. Sedangkan yang lain membagi diri dan salah satu kelompok tengah menuju ke lingkungan rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Kelompok ini terdiri dari lima orang yang secara khusus bertugas mengamati keadaan rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh orang-orang Pangeran Ranapati, orang-orang yang tinggal di rumah itu mempunyai pengaruh yang besar di Tanah Perdikan Menoreh selain Ki Gede sendiri. Selain itu juga para penghuni rumah Ki Rangga termasuk orang-orang yang mempunyai kemampuan tinggi.

“Apakah kita akan berada di tempat yang sama seperti kemarin, Ki Rambetaji?” bertanya orang yang bertubuh sedikit kurus dan berkulit gelap.

“Bagaimana menurutmu, Ki Tapa Damar? Apakah perempuan istri ki rangga tidak menaruh perhatian pada kita jika kita tidak berpindah tempat?” oang yang bernama Ki Rambetaji bertanya kembali kepada kawannya.

“Nah, itulah yang aku takutkan. Tetapi jika kita berpindah tempat, lingkungan itu tidak terlalu luas mewadahi pergeseran kita,” berkata Ki Tapa Damar. Kemudian katanya,” kita tidak usah berpindah tempat. Mungkin kecurigaan akan dapat saja terjadi, tetapi bukankah kita adalah penjual kayu bakar?”

Kemudian mereka membagi dalam dua kelompok yang lebih kecil. Satu kelompok berada di sebelah menyebelah dengan rumah Ki Sunu. Sedangkan kelompok penjual kayu bakar masih tetap berjalan berkeliling namun tidak begitu jauh dari rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Seorang pemimpin mereka dengan berbisik berkata,” kau pergilah ke pategalan yang mungkin akan dilewati Agung Sedayu. Berjalanlah memutar untuk mengamati jalan-jalan yang mungkin saja dilewati olehnya.”

“Baik Ki Rambetaji.”

“Bawalah juga seikat kayu bakar agar tidak ada orang yang mencurigaimu jika kau berdiam terlalu lama. Ki Tapa Damar, berilah ia seikat kayu bakar dan kapak yang kecil,” berkata Ki Rambetaji yang ternyata merupakan pemimpin dari kelompok kecil itu. Lalu Ki Tapa Damar menyerahkan seikat kayu bakar dan kapak kecil pada anak buahnya. Orang itu berlalu dengan cepat dan mengambil jalan sebelah utara rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Sejenak kemudian ia menghilang di balik tikungan yang berada di sebelah sebuah pohon randu yang cukup besar.Dalam pada itu, Prastawa dengan cepat menempatkan para petugas sandi yang berasal dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sukra dapat mencapai rumah Prastawa setelah menempuh jalan pintas melalui pategalan dan halaman rumah para penduduk yang telah dikenalnya dengan baik.

Para petugas sandi dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh segera mengenali tanda-tanda dari orang yang harus mereka amati. Agaknya Nyi Sekar Mirah dan Nyi Sunu begitu cermat memperhatikan tanda-tanda yang ada pada orang-orang Pangeran Ranapati. Para petugas sandi ini segera mengambil jarak yang tidak terlalu jauh. Sebagian dari mereka juga ada yang berhenti untuk sekedar membeli dawet yang dibawa oleh orang-orang itu.

Sementara para petugas sandi telah melakukan pengamatan, Ki Lurah Kertawirya telah memasuki daerah yang telah dikelilingi oleh para petugas sandi baik dari Pangeran Ranapati maupun pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sekilas ia menebarkan pandangan dan ketika ia melihat penjual dawet, ia segera mengenali seorang pembelinya. Orang itu pernah dijumpainya ketika Ki Gede Menoreh mengunjungi barak pasukan khusus untuk melihat perkembangan dari perluasan barak. Petugas sandi yang juga mengenali sosok Ki Lurah Kertawirya seolah tidak mengenal kedatangan seorang pemimpin pasukan khusus yang sedang menyamar. Ia segera beringsut ketika Ki Lurah Kertawirya telah berada di depan penjual dawet.

“Permisi ki sanak. Bolehkan aku bertanya sesuatu kepadamu?” bertanya Ki Kertawirya pada penjual dawet.

“Silahkan ki sanak. Aku akan mencoba membantumu,” jawab penjual dawet itu.

“Terima kasih. Dapatkah kau memberitahu arah ke rumah Ki Prastawa?”

“Ki Prastawa?” gumam penjual dawet seraya mengerutkan keningnya. Kebingungan segera menghampiri dirinya namun ia berusaha untuk menahan perasaannya.

“Apakah ki sanak bukan orang Menoreh?” bertanya Ki Kertawirya.

“Oh maaf. Aku baru saja tiba di tanah ini sekitar satu dua pekan yang lalu. Dan selama ini aku tinggal di rumah sanak kadang di pedukuhan sebelah utara hutan Jatipapak. Mungkin anak muda ini dapat membantu ki sanak,” berkata penjual dawet itu seraya memberi tanda dengan jempol kanannya ke arah petugas sandi pasukan pengawal.

Petugas sandi itu lantas memanggutkan kepala, lalu katanya,”aku akan mengantarmu ke rumah Ki Prastawa, ki sanak. Setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh sudah barang tentu mengetahui rumah yang ki sanak maksudkan.”

“Terima kasih anak muda. Silahkan kau lanjutkan dulu menghilangkan dahaga itu,” kata Ki Kertawirya tersenyum ramah.

jarkoni

Sejenak kemudian, Ki Kertawirya sudah disertai oleh satu petugas sandi menuju rumah Prastawa.

“Silahkan ki sanak. Aku akan mengantar ki sanak ke rumah Ki Prastawa. Kita hanya dapat berharap jika Ki Prastawa sedang berada di rumah siang ini. Karena biasanya ia ada di beristirahat di tengah sawah atau kadang di dekat sela-sela pohon jati yang ada di selatan pematangnya,” kata petugas sandi yang diutus oleh Ki Gede Menoreh.

“Oh terima kasih anak muda. Aku telah merepotkan dirimu,” Ki Kertawirya sedikit membungkukkan badan dan menunjukkan rasa hormat pada petugas sandi.

Penjual dawet menarik nafas dalam-dalam dan dengan kening berkerut ia menatap kedua orang itu berlalu dari hadapannya.

“Akan menjadi berbahaya jika mereka mencurigai kehadiranku di sini. Tetapi juga akan menjadi masalah baru jika aku segera meninggalkan tempat ini. Semoga tidak terjadi kecurigaan terhadapku,” kata penjual dawet yang ternyata adalah Ki Tapa Damar.

Selepas matahari meninggalkan puncak langit dan beranjak menuju ke batas cakrawala, Ki Kertawirya telah memasuki halaman rumah Ki Prastawa. Di pendapa ia melihat seorang yang berusia cukup sedang menganyam sebuah tikar pandan. Dari guratan yang terlihat di wajah lelaki itu, tersembunyi sebuah sorot mata yang menggambarkan ketenangan dan kedalaman yang pernah melalui masa kelam. Ki Argajaya agaknya lebih sering meluangkan waktu dengan menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Ia merasakan hatinya lebih hidup jika dibandingkan dengan menumpuk rasa sesal atas sebuah upaya yang nyaris menenggelamkan Tanah Perdikan Menoreh ke dalam jurang tanpa dasar.

Ki Argajaya segera bangkit berdiri menyambut seorang tamu yang ditemani oleh pengawal pedukuhan yang telah ia kenal baik.

“Marilah ki sanak. Silahkan menikmati siang di rumah anakku, Prastawa,” kata Ki Argajaya setelah memberikan salam kepada Ki Lurah Kertawirya. Ki Lurah Kertawirya segera menyadari kedalaman ilmu adik kandung Ki Gede Menoreh setelah berjabat tangan dengannya. Kemudian petugas sandi dari pasukan pengawal Tanah Perdikan meminta diri untuk memanggil Prastawa yang sedang berada di sawah.

Kedua orang itu saling bertukar jawab dan mengungkapkan perasaan masing-masing tentang perkembangan Tanah Perdikan Menoreh. Segera Ki Argajaya meminta bantuan pengawal yang mengantar untuk memberitahu kepada istri Prastawa agar menyiapkan sekedar hidangan bagi tamunya. Pengawal itu bergegas masuk dalam rumah dan memberitahu istri Prastawa tentang pesan Ki Argajaya.

“Aku kira tidak sepatutnya merahasiakan maksud kedatangan ini pada Ki Argajaya,” berkata Ki Lurah Kertawirya.

“Aku harap aku akan dapat membantu keperluan Ki Kertawirya, apalagi jika terkait dengan anakku satu-satunya,” Ki Argajaya tersenyum sambil mempersilahkan tamunya untuk sekedar menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh istri Prastawa dibantu pengawal pedukuhan.

Ki Lurah Kertawirya menguraikan keadaan terakhir di tanah perdikan, Ki Argajaya mendengarkan dengan seksama sambil sesekali mengerutkan keningnya.

“Aku memang mengagumi kecakapan angger Agung Sedayu sejak ia masih muda. Namun yang terpenting dari semua itu adalah perebutan kekuasaan Mataram yang tak kunjung selesai,” desis Ki Argajaya dengan nada yang dalam. Ingatannya membuka kembali pertumpahan darah puluhan tahun yang lalu dengan Sidanti dan Ki Tambak Wedi. Ki Argajaya telah menutup rapat lembaran hitam itu dari hatinya, dan kini ia akan berusaha membantu Tanah Perdikan Menoreh menjaga rasa tenteram bagi rakyatnya.

“Lalu apa perintah Ki Rangga Agung Sedayu selanjutnya, ki lurah?”

“Maafkan aku, ki. Sebenarnyakah lebih baik kita menunggu angger Prastawa hadir di tempat ini.”

“Oh. Ki Kertawirya benar. Sebaiknya Prastawa dapat mendengar langsung dari ki lurah.” Wajah Ki Argajaya sempat memerah sejenak karena ia tidak dapat menguasai gejolak hatinya yang menjadi gelisah karena tanah perdikan akan mendapat anca man bahaya lagi. Ki Kertawirya tersenyum dan dapat memahami keadaan batin Ki Argajaya. Serba sedikit Ki Kertawirya telah mendengar, bahkan mengalami sendiri perjalanan panjang bersama Tanah Menoreh ketika berada dalam bahaya.

Beberapa lama kemudian, Prastawa telah menaiki pendapa seorang diri.Prastawa membungkuk hormat kepada kedua orang yang lebih tua usianya dan memberikan salam kepada keduanya.

“Ki Lurah Kertawirya sudah barang tentu membawa berita penting dari Ki Rangga Agung Sedayu. Serba sedikit ia menyampaikan kepada Ki Lurah Kertawirya dan Ki Argajaya jika petugas yang memanggilnya telah kembali ke lingkungan rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Sambil melihat ki Argajaya untuk sekedar meminta ijin, Ki Kertawirya kemudian menguraikan seluruh bagian rencana yang disusun oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Argajaya dan Prastawa dapat memahami keadaan Tanah Perdikan yang telah berada di bawah pengamatan petugas yang dikirimkan oleh Pangeran Ranapati. Akan tetapi kedua pemimpin tanah perdikan itu tidak mengetahui tempat berkumpulnya para petugas sandi sebelumnya. Kedua orang pemimpin itu tersentak kaget ketika Ki Kertawirya mengatakan tentang lingkungan pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna.

“Aku tidak dapat mengerti alasan Ki Tumenggung yang kini menghadapkan wajahnya ke Mataram. Apakah ia ingin memperoleh kekayaan yang lebih banyak dari apa yang ia dapatkan sekarang?” gumam Ki Argajaya pada dirinya sendiri. Ki Kertawirya menoleh kepadanya ketika mendengar Ki Argajaya bergumam sendiri. Kemudian,” itu juga satu kemungkinan yang sudah tentu berdasarkan prasangka kita sendiri, Ki Argajaya. Juga tidak menutup kemungkinan jika ada hal lain yang ingin diraih oleh Ki Tumenggung,” kata Ki Kertawirya.

“Kakang Agung Sedayu pernah mengatakan kepadaku serba sedikit tentang Ki Wirataruna. Aku ingat ketika malam kami menemui Ki Tumenggung Wirataruna di rumahnya untuk membuka aliran air yang telah ia tutup untuk mengisi danau kecil di samping pesanggrahan,” ujar Prastawa lalu,” menurutku, agaknya memang ia ingin menjadi lebih besar dari yang ia rasakan sekarang.”

Mendengar Prastawa yang berkata dengan penuh keyakinan, Ki Kertawirya memanggutkan kepala, lalu ia bertanya,”Angger Prastawa, lalu bagaimana rencana selanjutnya dari angger untuk mendukung gagasan Ki Agung Sedayu?”

“Ki lurah, sudah barang tentu aku harus mendengarkan pendapat dari pemimpin kelompok pasukan pengawal. Selain itu, aku juga harus memperoleh bahan yang lebih banyak dari sekarang,” jawab Prastawa. Kemudian Ki Argajaya mengatakan,” Benar ngger. Kau tidak dapat berlaku berdasarkan gejolak perasaan. Ayah yakin kau sekarang lebih mapan dalam bertindak.” Senyum Ki Lurah Kertawirya seolah menutup ungkapan Ki Argajaya.

Setelah itu, mereka bertiga berbicara tentang keadaan yang mereka ketahui di sekitar tanah perdikan. Ketika senja mulai bangkit memeluk matahari, Ki Kertawirya beranjak bangkit dan meminta diri kembali ke barak pasukan.

“Hasil pertemuan ini akan aku laporkan kepada ki rangga. Semoga ki rangga belum pergi meninggalkan barak sehingga besok pagi atau malam nanti, ki rangga dapat sedikit gambaran tentang apa yang harus disiapkan oleh tanah perdikan,” berkata Ki Kertawirya. Ayah dan anak itu kemudian mempersilahkan Ki Kertawirya untuk meninggalkan rumah. Mereka mengantarkan sampai regol halaman. Lalu Prastawa memberikan sedikit petunjuk jalan untuk menghindari pengamatan petugas sandi Pangeran Ranapati.

Di barak pasukan khusus Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu sedang menunggu Ki Kertawirya.” Ki Sanggabaya, setelah kita bertemu dengan Ki Kertawirya, aku akan pulang sebentar untuk memberitahu orang-orang di rumah tentang kegiatan kita malam ini. Sebaiknya Ki Sanggabaya mempersiapakn diri terlebih dahulu, karena mungkin kita akan melewati malam yang panjang dan sulit,” berkata Agung Sedayu. Ki Sanggabaya meminta diri keluar dari bilik khusus lalu berjalan menuju ke biliknya sendiri. Dalam pada itu, Ki Kertawirya telah tiba di gardu penjagaan barak pasukan khusus.

“Selamat malam,” sapa Ki Kertawirya kepada prajurit yang bertugas.

“Selamat malam ki lurah. Ki Rangga Agung Sedayu sedang menunggu kehadiran ki lurah. Begitu pesan ki rangga,” kata prajurit itu ketika mengenali Ki Kertawirya dalam keremangan senja.

Sebenarnyalah para petugas sandi yang dikirimkan oleh Pangeran Ranapati tidak menyadari jika keberadaan mereka di Tanah Perdikan Menoreh telah berada dalam jangkauan para pemimpin tanah perdikan. Di lingkungan sekitar rumah Ki Rangga Agung Sedayu, para petugas sandi dari pasukan khusus dan pengawal pedukuhan induk telah menyebar ke setiap halaman rumah penduduk. Bahkan beberapa diantara mereka sudah mengawasi setiap jalur yang menghubungkan pedukuhan induk dengan pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna.

 

(bersambung)

Wedaran Terkait

Tentang Kelanjutan Api di Bukit Menoreh

kibanjarasman

Pengumuman : Tidak Melanjutkan ADBM

kibanjarasman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 5

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 4

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 6

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 2

Ki Banjar Asman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.