Pesan terakhir ayahnya agar ia selalu turut serta dalam menjaga kedamaian di wilayah Demak telah menjadi sumber tenaga yang tiada habisnya. Tanpa diketahui oleh musuhnya, Pangeran Parikesit telah mengetahui bahwa Rambesaji telah berhasil menguasai Kapuk Rangsang. Sebuah ilmu yang dikabarkan telah lenyap di masa Raden Wijaya, namun beberapa orang yang berada dalam lingkaran terdekat Prabu Brawijaya mengetahui bahwa Kapuk Rangsang masih beredar pada kalangan tertentu.
“Dari siapakah Batara Keling berhasil menyadap ilmu yang menakutkan itu?” bertanya Pangeran Parikesit dalam hatinya. Sebuah nama yang terlintas dalam pikirannya adalah Linduk Sengkelat. Tetapi Linduk Sengkelat telah meninggalkan dunia fana ini jauh sebelum Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang. Selagi ia berusaha membuat perkiraan, perkelahiannya dengan Batara Keling semakin menggetarkan semesta.
Tubuh mereka seperti hilang dari pandangan, gelapnya hutan saat menjelang malam ditambah kecepatan mereka yang luar biasa menjadikan pertarungan itu tak ubahnya perkelahian dua siluman. Betapa udara sekitar mereka berhembus sedemikian kencang oleh karena gerakan-gerakan mereka yang sangat cepat dan bertenaga. Sekali-kali keadaan menjadi terang benderang seperti sambaran kilat mengenai tempat itu. Berkas-berkas cahaya berlompatan menerjang segala arah ketika dua tenaga berbenturan dengan dahsyat.
“Tentu saja kau mencuri ilmu itu dari Linduk Sengkelat, Batara Keling!” tiba-tiba Pangeran Parikesit berkata di tengah gemuruh suara angin yang timbul dari pergerakan mereka.
Tenggorokan Batara Keling tercekat. Dadanya berdentang keras. Sedikit ia menurunkan tekanan karena rasa terkejut dengan pertanyaan Pangeran Parikesit yang terasa seperti anak panah yang menancap pada keningnya.
Ia mendengus lalu membuang diri menjauhi lingkar pertempuran. Sekejap ia mengerling untuk melihat keadaan para pengikutnya yang saat itu masih gigih menyerang Ki Getas Pendawa. Kata Batara Keling kemudian, ”Linduk Sengkelat adalah nama yang sepatutnya mendapat penghormatan darimu, Pangeran.”
Perkelahian mereka tiba-tiba mereda.
Pangeran Parikesit bergeser setapak ke samping lalu ia berkata, ”Aku selalu menaruh hormat padanya meskipun aku tidak pernah bertemu dengannya. Dan nama Linduk Sengkelat telah menjulang tinggi melampaui bintang di langit maka sepatutnya aku menaruh hormat padanya.”
“Maka dengan begitu, kau seharusnya menyerah padaku,” sahut Batara Keling.
Pangeran Parikesit mampu menahan gemuruh dalam hatinya meski ia berulang kali menerima kata-kata kasar bernada penghinaan dari Batara Keling. Ia membuka lebar telapak tangannya yang tergantung pada kedua sisi tubuhnya, lalu katanya, ”Menghormati Linduk Sengkelat bukan berarti harus menghormatimu, Batara Keling. Mengakhiri perjalananmu adalah upaya terhormat untuk memberi penghargaan tertinggi padanya. Kau telah mengotori nama Linduk Sengkelat dengan menerapkan ilmu itu menurut kehendakmu sendiri.”
“Masih saja kau bermulut tajam, Orang Buangan,” bentak Batara Keling.
“Linduk Sengkelat tidak mempunyai murid untuk mewarisi ilmunya,” tenang berkata Pangeran Parikesit.
“Kau menuduhku sebagai pencuri?” Mata Batara Keling melotot saat menatap orang kepercayaan Adipati Pajang itu.
Pangeran Parikesit menghela napas. ”Sebenarnya aku ingin kau mau mendengar pengakuan dariku pada saat terakhir seperti ini, Batara Keling.”
Batara Keling mengerutkan keningnya, kemudian, ”Katakan padaku, Pangeran.”
“Baiklah,” berkata Pangeran Parikesit, ”aku harus mengakui bahwa aku sangat bahagia malam ini karena hutan ini akan menjadi tempat tinggalmu yang terakhir kali.” Satu loncatan panjang sangat cepat dilakukan oleh Pangeran Parikesit sebelum tuntas berkata-kata.
Untuk menghindari terjangan dahsyat Pangeran Parikesit, Batara Keling bergeser ke samping dengan kecepatan yang sama. Ia menggeram marah. ”Pengecut!”
Terdengar Pangeran Parikesit tertawa pendek, kemudian, ”Aku tahu kau mempelajari Kapuk Rangsang dari kitab yang ditulis oleh Linduk Sengkelat. Aku tahu telah terjadi keributan yang melibatkan banyak perguruan ketika santer kabar Linduk Sengkelat meninggalkan ilmu di dalam sebuah kitab.”
“Dari mana kau mengetahuinya?”
“Aku adalah Parikesit!”
Perkelahian kembali menjadi semakin ganas.
Benturan-benturan dua kekuatan raksasa tidak dapat lagi terhindarkan. Sesekali mereka berdua terdorong mundur, namun tiba-tiba keduanya kembali menghilang dalam gelap, saling membelit, bergantian untuk melepaskan serangan yang menyengat. Maka pergumulan mereka pun terdengar seperti suara ribuan tawon yang mendengung mengerikan. Suara yang ditimbulkan oleh kekuatan sangat besar itu mampu menusuk dan menyakiti gendang telinga, bahkan beberapa pohon pun terlihat bergoyang keras seperti tertiup angin yang sangat kencang. Daun-daun menjadi layu dan jatuh berguguran sementara kedua orang berilmu tinggi itu sama sekali tidak menyentuh sedikit pun bagian pohon-pohon.
Berulang kali dari telapak tangan mereka melesat sinar yang terlontar saat salah satu dari mereka saling menahan tekanan dari yang lain. Walaupun begitu, berkas-berkas sinar itu belum dapat menyentuh bagian tubuh mereka masing-masing.