Jalan hidup seorang Mande Rubayah tak seindah Pantai Air Manis dengan hamparan pasir putihnya. Satu-satunya harta berharga perempuan penjual kue itu hanyalah seorang anak lelaki semata wayangnya, Malin Kundang.
“Ibu, aku telah berhasil menjual semua kuemu!” seru Malin Kundang berteriak dari kejauhan. Bocah itu berlarian menghambur ke arah ibunya dengan riang.
Betapa bahagianya memiliki anak lelaki yang rajin dan penurut. Serasa tak ada lagi yang lebih membahagiakan selain memilikinya.
Lembar demi lembar uang hasil penjualan kue dikumpulkan Mande Rubayah dengan penuh syukur. ‘Ah, seandainya saja ayahmu masih ada …,’ ucap hati kecil Mande Rubayah. ‘Kehidupan kita tak kan sesulit ini, Nak.’
Setiap subuh menjelang, jari jemari Mande Rubayah bergelut dengan dinginnya udara pagi, mengadon tepung untuk menjadi kue-kue nan lezat.
Wajah polos Malin Kundang memperhatikannya dari bingkai pintu dapur, “Bolehkah aku mencicipi satu saja, Bu?”
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Malin Kundang yang lincah tiba-tiba menderita sakit keras. Berbagai usaha dilakukan Mande Rubayah demi kesembuhan anak satu-satunya.
“Kumohon … sembuhkanlah dia, ya, Tuhan!” rintih Mande Rubayah. Satu persatu barang peninggalan suaminya tandas tak bersisa, semua demi pengobatan sang buah hati.
***
Usia kian menggerogoti tubuh rentaku. Lelaki kecilku kini telah beranjak dewasa. Ia kuat, gagah, dan tampan. Rasanya tak sanggup lagi kutahan keinginannya untuk merantau.
“Izinkanlah aku ke tanah seberang, Ibu,” ujarnya bersimpuh memohon restu. Berjanji bahwa ia akan kembali padaku.
Tetes demi tetes bening tak kuasa kutahan membasahi baju lusuhku. Apa begini akhir nasib seorang perempuan tua? Mesti ditinggal bocah lelakinya saat menjelang dewasa. Keluh kesahku seakan tiada guna.
Sungguh besar keinginan lelakiku ini untuk melihat dunia di seberang sana. Apakah benar ia akan kembali dari perantauannya? Aku harus kuat menahan rindu, demi kebahagiaannya.
Wajah murung itu merisaukanku. Harapannya pupus seiring kapal-kapal yang kian menjauh, menghilang di batas cakrawala.
“Maukah kau berjanji akan kembali, Malin?” tanyaku lagi, menatapnya lekat.
Binar bahagia terpancar dari wajah lelakiku tatkala kapal besar itu semakin dekat dan berlabuh. Inikah kebahagiaanmu, Nak? Aku memeluk erat tubuhnya. Begitu rapat hingga aku rasakan detak jantungnya.
“Jangan bersedih duhai, Ibu. Aku akan kembali. Jaga diri baik-baik, Bu!” serunya seraya melambaikan tangan dari sudut kapal yang kian menjauh meninggalkan kampung halaman.
***
Satu tahun, dua tahun, tiga tahun … hingga bertahun-tahun lamanya aku tersiksa menahan rindu.
Kapal demi kapal yang berlabuh, tak jua menunjukkan tanda-tanda kehadiran lelakiku.
Wahai, Malin! Kemanakah engkau, Nak? Lupakah kau pada Ibu?
Kubunuh waktu dengan berlari ke pantai. Tertatih-tatih melangkahkan kaki, menanti kapal yang terlihat di kejauhan. Berharap dan terus berharap.
Tak peduli mereka mengatakan, “Mande Rubayah sudah gila, putus asa kehilangan anaknya.”
Persetan apa kata mereka. Aku tak mau ambil pusing. Pakaian compang camping dengan rambut putih yang entah kapan terakhir aku menggelungnya.
“Mandeee! Anakmu Malin akan segera pulang!” sebuah suara dari balik pintu membangunkan lelapku.
“Malin pasti datang. Aku tak gila.” Aku membuktikan pada mereka yang selalu menghinaku. Kulihat kapal itu begitu megah, berwarna kuning keemasan.
Wajah itu, bagaimana mungkin aku lupa. Bayi lelaki dari rahimku yang kulahirkan dengan susah payah.
“Maliiin! Ini Ibu! Senangnya kau telah kembali, Nak!” Betapa bangga kupeluk tubuh berhias pakaian mewah itu. Penantianku tak sia-sia.
“Bau sekali kau, Perempuan Tua! Cuih ….” Dengan jijik gadis cantik di sebelah puteraku meludah, menghinaku. Aku tak peduli.
Malinku masih bergeming. Ia tak membalas pelukan eratku. Malah, ia mendorongku bahkan menendang tubuh tuaku hingga tersungkur.
“Enyah kau! Ibuku wanita kaya, bukan sepertimu, Gembel!”
Perih! Remuk redam hatiku. Duniaku tiba-tiba gelap.
Aku siuman. Kapal itu terlihat di kejauhan.
“Ya Tuhaaan! Jika memang dia bukan anakku, kumaafkan dia! Tapi jika dia anakku, tunjukkan keadilan-Mu!” Aku meratap dengan penuh sesak di dada.
Langit menghitam, petir sambar menyambar, hujan badai menghempas kapal itu hingga hancur berkeping-keping.
“Ibuuu! Ampuni akuuu!” Semua sesal tiada guna. Tubuhmu kini membatu.