Sendiri aku di gelap malam. Berpikir keras pada kekejaman yang datang bertubi-tubi. Merenggut nikmat hidupku, tanpa permisi.
“Selamat tinggal, Anakku. Relakan cara pergi yang Dewa kehendaki. Songsong takdirmu, ayah selalu bersamamu.” Kalimat terakhir, sebelum ayahanda prabu meregang nyawa di pangkuanku.
Aku menangis. Meratap. Meraung.
Lalu menjerit. Memaki takdir.
“Kenapa takdir buruk yang kau tuliskan, sementara takdir indah pun tak membutuhkan tinta berbeda?
Oh Penguasa Alam, bukankah kau mempunyai kekuasaan?” Teriakku disambut barisan debu menderu.
Sosok Pangeran biadab itu datang bersama serombongan debu yang bergulung-gulung menikam jantung. Balatentara iblis menari-nari riang di antara senyum bengis sang pemenang di medan perang.
Prajurit memberi gambaran padaku tentang kedatangan Bandung Bondowoso. Apalagi yang dia inginkan? Apakah nyawa ayahanda belum cukup memuaskan kepongahan? Tak ada yang perlu aku takutkan!
Kematian? Aku menginginkannya saat ini. Menyusul ayahanda prabu di kedamaian abadi. Tanpa peperangan, hawa nafsu, dan angkara murka. Damai dalam sunyi. Sunyi memeluk damai.
Mati adalah akhir yang semu. Kehidupan baru dimulai sesudah kematian kita lewati.
“Rara Jonggrang, maukah kau menjadi permaisuriku?”
Aku tersenyum sinis.
Lihatlah, Ayah. Pangeran itu menawarkan sebuah kematian dalam kehidupan. .
Bandung Bondowoso tertawa. Bumi terbelah oleh suaranya.
“Kau cantik, Jonggrang. Kau lukisan indah Sang Penguasa Alam. Matamu ndamar kanginan, alismu nanggal sepisan, bibirmu bak delima merekah, indah rambutmu, harum tubuhmu, sungguh membuat aku mabuk kepayang. Bersandinglah denganku, Jonggrang,” pintanya tak tahu malu.
Wahai penguasa jagat raya, dari apa hatinya kau ciptakan? Apakah dari lelehan lava pijar yang mengalir keluar dari perut bumi melalui kawah gunung berapi? Yang mengalir melalui patahan ceruk bumi kemudian membeku menjadi batu?
Aku tidak berkedip menatap wajah yang memuakkan itu. Wajah bengis berhati iblis.
“Malam nanti, buatkan sumur jalatunda dan seribu candi untukku. Jika sampai matahari terbit tak sanggup kau penuhi, maka kau tidak bisa menjadikanku permaisurimu.” Teriakku lantang melawan gamang. Gamang yang hanya mampu aku ucapkan dalam hati.
Inilah upaya terakhirku, sebagai tanda cinta untuk rakyat Prambanan.
= = = = =
Lewat tengah malam, seluruh candi hampir selesai. Aku medesah dalam ketakutan.
“Inikah takdir yang kau tuliskan untukku, Dewa? Menjadi isteri pembunuh ayahku?” Suaraku tercekat di kerongkongan. Rasa takut kian kuat mencengkeram.
“Songsong takdirmu, Jonggrang. Jangan menyerah.” Suara ayahanda prabu berbisik di telingaku. Seribu kekuatan datang melepas belenggu ketakutan. Aku bangkit, lalu berteriak memanggil dayang-dayang.
“Bakar jerami! Bunyikan lesung di seluruh negeri! Jangan berhenti, kita songsong datangnya pagi!”
Prasasti terakhir belumlah usai. Bandung Bondowoso mengutuk datangnya pagi. Menyadari telah diperdaya, Sang Pangeran tak mampu menahan murka.
“Kau telah menipuku, Jonggrang. Maka, jadilah kau arca ke seribu!” Murka Bondowoso laksana tinta penguasa jagat raya, menoreh takdirku dengan paripurna
Aku Rara Jonggrang, seorang raksasi berhati batari. Menyambut takdir dengan ketetapan hati. Inilah yang terbaik untukku.
Dari Maospati, saya perkenalkan Lina Boegi yang tanpa lelah berjalan bersama Rara Jonggrang sebagai liris bacaan.
2 comments
Salah satu Liris terbaik menurut saya. Keren?
Liris terbaik adalah liris yang mengenyangkan.