Dasar Sampah
Aku dapat dikenali dengan cepat melalui indra penciuman. Anyir lagi busuk.
Aku juga sering mendapat julukan Si Buruk Rupa, tanpa tahta di dunia.
“Dasar sampah! Enyahlah!”
Kata sampah telah memekakkan gendang telingaku.
Aku kusam tak secerah mentari, aku hitam tak sebening embun pagi. Helai benang yang terpasang pada badan penuh dengan lubang. Mereka menghardik dengan kata sampah serapah.
Rambutku tidak beraturan, penuh debu jalanan. Buah perjuanganku menaklukkan ribuan kilo jalanan beraspal. Terkadang sekedar menepi di pinggiran teras rumah adalah sebuah kesalahan. Aku berlalu membawa luka yang kian dalam. Pergi.
Bukankah aku sama dengan mereka? Tercipta dari sisa-sisa tubuh manusia. Saat tak berguna, ia sama layaknya sampah.
“Aku dan kamu sama-sama sampah! Hanya dalam bentuk yang berbeda.” Hatiku berkecamuk. Aku marah padanya yang merasa lebih mulia, padahal sama hinanya.
Bibir bercat merah menyala itu telah mengeluarkan kata berbisa. Mencabik-cabik dengan seluruh indra. Mata yangmenghina, mulutnya mencela! Dari bibir itu, sampah bertebaran layaknya daun kering terdorong angin. Rapuh terkikis ketentraman duniawi.
Aku tertunduk diam.
Mengamati pribadi yang telah koyak dengan hujatan. Sekalipun aku tak berguna. Sekalipun kata sampah menikam seluruh martabat diri. Bukankah menjadi manusia bukan hanya tentang rupa?
“Dasar sampah!”
Serapahmu masih nyata. Saat aku memulung sebungkus nasi sisa orang berpunya. Aku mengais dengan peluh dan air mata. Kamu berpikir jika aku adalah sampah, tetapi lebih baik menutup mulutku agar menjadi lebih mulia.
“Sampah!”
Hujatanmu bercokol dalam di dada. Lalu aku melihat sampah dalam setiap ucap jahanammu pada manusia.
Aku atau kamukah sampah yang sesungguhnya?
Oleh Amri Evianti. Penulis novel berjudul Sunyi.