Rasa takut mencengkeram kuat bersama iringan golok sang petani.
Kepasrahan timbul seiring ingatan pada takdir yang telah tertulis.
Perjalanan hidup yang pendek dan sederhana. Tumbuh, berbuah, kemudian mati. Pantang mati sebelum bermanfaat.
Manusia meniru tanpa keikhlasan. Hanya berhenti pada kalimat manis penghias bibir. “Khoirunnaasi ‘anfa’uhum linnaas,” kata mereka. Istimewalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya, katanya.
Serakah, Rakus,
Tamak, Angkara, Kemaruk, Loba, Golojo, kenyataannya.
Cengkeraman rasa takut yang tidak mungkin terlampiaskan dalam jeritan, sirna dalam keikhlasan. Ya, aku ikhlas kepada takdir yang telah tergariskan bahkan sebelum menjadi ontong. Hapus sudah semua cemas dan ngeri. Pasrah. Aku pasrah.
Di dapur, aku melihat perempuan cantik itu memegang pisau sembari tersenyum manis. Dibelainya tubuh montokku dengan puas.
“Aku terima takdirku, Tuhan” bisikku.
Aku tahu bahwa perjalanan hidupku akan berakhir di meja makan. Direbus atau digoreng bahkan dikolak pun bukan masalah lagi. Aku pasrah. Jika ada yang bertanya apa yang aku rasakan, jawabannya adalah “aku pasrah.”
Laksmi, KSA Juni 2022