Kedua peristiwa yang terjadi dalam waktu hampir bersamaan, meski tidak mempunyai kaitan, akhirnya justru memberi kesulitan pada Ubandhana yang sudah cukup jauh meninggalkan Wringin Anom.
Lolosnya seorang perwira prajurit yang bernama Gajah Mada telah mengubah keadaan yang sebelumnya telah diperhitungkan dengan masak oleh Ki Cendhala Geni dan Laksa Jaya. Ki Srengganan memerintahkan pencarian dan menjatuhkan hukuman mati pada Gajah Mada. Setiap perwira, prajurit dan para penjahat yang bergabung dalam kelompok Ki Srengganan bergegas memenuhi panggilan berhadiah besar itu. Kepala Gajah Mada akan ditukar dengan sebidang tanah dengan luas seribu tombak!
Tak pelak lagi dan tidak mungkin dapat dihindari jika yang terjadi kemudian adalah, para pengikut Ki Srengganan, baik yang berseragam prajurit maupun perampok, akhirnya memenuhi jalanan. Sedangkan Ubandhana tidak dapat mengenali satu demi satu prajurit Kahuripan yang mempunyai kemiripan dengan seragam Majapahit. Ini menjadi kesulitan tersendiri baginya dan Ibhakara.
Ubandhana sempat melihat iring-iringan prajurit menuju arah Kahuripan dan ia dicekam kecemasan. “Apakah Jayanegara telah mengetahui keadaan di Kahuripan? Aku harus memberitahukan ini pada Ki Cendhala Geni dan Ki Srengganan.” Ubandhana berpikir keras mencari jalan tengah untuk keluar dari pandangan mata para prajurit yang seolah menempel di setiap batang pohon.
“Ibhakara, pergilah ke Kahuripan. Katakan pada Ki Cendhala Geni untuk segera keluar dari Kahuripan dan menunggu di pantai timur. Katakan juga kau telah melihat beberapa kelompok prajurit dari kotaraja dalam perjalanan menuju Kahuripan.” Ibhakara menganggukkan kepala dan bergegas memacu kuda berbalik arah.
Dua hari perjalanan maka tibalah Ubandhana dan Arum Sari di rawa sebelah utara hutan bambu. Beberapa nelayan terlihat sibuk menebar jala di bibir pantai. Sebagian lainnya juga tampak sibuk membetulkan jala.
Sejauh mata memandang, Ubandhana tidak melihat satu perahu pun yang tertambat di pantai.
“Permisi, Ki Sanak. Gerangan apa hingga tak ada perahu di tepi sungai?” Ubandhana bertanya pada satu nelayan dengan tenang dan tak menunjukkan bahwa ia adalah orang yang diburu prajurit Majapahit.
“Ini perintah dari prajurit, Ki Sanak. Kemarin malam beberapa prajurit datang kemari dan memerintahkan itu pada kami,” jawab nelayan itu dengan tatap mata biasa saja. Kemudian ia melanjutkan , ”Apakah Ki Sanak membutuhkan sesuatu? Saya mungkin dapat melakukan satu dua pekerjaan untuk Ki Sanak karena akan ada kapal milik saudagar untuk mengangkut ikan-ikan ini.” Nelayan itu berjalan menghampiri tumpukan keranjang yang berisi ikan tangkapan.
Ubandhana menggelengkan kepala, dengan sedikit senyum mengembang, ia berkata, ”Saya akan pergi ke Kediri, Ki Sanak. Tetapi biarlah sementara waktu saya menunggu seorang kawan yang akan datang ke pantai ini.” Ia meminta diri kemudian memutar tubuhnya meninggalkan nelayan itu, ia bergumam dalam hatinya, ”Aneh! Tempat ini begitu sepi. Tidak seperti biasanya yang begitu ramai hilir mudik perahu-perahu.”
Mata tajam dan pendengaran Ubandhana segera menangkap pergerakan dari balik rerimbunan semak belukar yang ada di sekitar rawa-rawa. Ia sudah merasa diawasi sejak tiba namun Ubanhana tidak mengacuhkan. Naluri sebagai seorang berilmu tinggi tidak mengisyaratkan sebuah bahaya, oleh karena itu ia segera menghampiri dan memeriksa keadaan Arum Sari.
“Biadab! Untuk apa engkau menculikku? Katakan!” Arum Sari berteriak ketika melihat Ubandhana berjalan ke arahnya. Namun sayang suaranya tak terdengar oleh nelayan-nelayan di tepi pantai selain jarak yang lumayan jauh juga karena debur ombak yang tiada henti bercakap-cakap dengan para nelayan.
“Sadarlah putri cantik,” berderai tawa Ubandhana lalu berkata, ”Akulah pria yang selama ini engkau tunggu dan harapkan.” Tawanya semakin keras ketika menjulurkan jari menyentuh dagu Arum Sari.
Arum Sari mengumpat kasar sambil meludah ke arah Ubandhana namun tak mampu mencapai tubuh Ubandhana. Anak perempuan Ki Demang Wringin Anom ini tidak dapat berpikir untuk mencari alasan penyebab dirinya diculik. Selain tidak mengenal orang yang berada di depannya saat itu, ia juga tidak merasa mempunyai musuh atau seseorang yang membencinya.
Rasa takut yang mendera dirinya semenjak diculik dari Wringin Anom kini makin menguasai hatinya. Setiap anggota keluarganya di Wringin Anom terbayang di pelupuk matanya. Kecemasan membayang dalam hati Arum Sari karena kehormatannya sebagai seorang wanita berada dalam bahaya. Masa depannya akan musnah tertiup angin.