Ki Jayaraga hampir tidak dapat menguasai diri. Ia menggeram marah melihat bagian dalam rumah Agung Sedayu yang porak poranda seperti terhempas angin puting beliung.
“Hentikan Ki Garu Wesi!” Ki Jayaraga menyerang Ki Garu Wesi dengan segenap kemampuan.
“Marilah!” Ki Garu Wesi menyambut Ki Jayaraga dengan melemparkan sebuah bangku kecil.
“Nasibmu akan berubah pada hari ini. Kau akan menyesali apa yang kau lakukan di rumah ini, Ki Garu Wesi!”
Serangan Ki Jayaraga menjadi semakin dahsyat. Ia ingin secepatnya mengalahkan Ki Garu Wesi sebelum terjadi hal buruk yang mungkin saja dapat terjadi. Tetapi tidak mudah bagi Ki Jayaraga untuk melumpuhkan Ki Garu Wesi. Ki Garu Wesi menghadapinya dengan cara yang berbeda. Ia tanpa segan membalas setiap serangan Ki Jayaraga.
“Kau seharunsya memberiku jalan, Ki Sanak,” berkata Ki Garu Wesi. “Dengan bertarung melawanku di dalam rumah ini, aku pastikan usiamu tidak akan lama lagi. Sementara kau sendiri tidak mengalami kerugian apapun bila kau biarkan aku membawa kitab milik Agung Sedayu.”
“Yang aku lakukan adalah kewajiban seorang keluarga. Agung Sedayu sudah aku anggap sebagai anakku. Begitu pula Kiai Gringsing yang telah mempercayaiku untuk mengamati Agung Sedayu. Aku tidak akan membiarkanmu berbuat semamumu!” sahut Ki Jayaraga sambil menghantam lambung Ki Garu Wesi.
Maka tubuh Ki Garu Wesi berputar semakin cepat. Sesaat kemudian ia membelit Ki Jayaraga dalam pusaran serangan yang datang beruntun. Benturan ilmu pun kemudian kerap terjadi pada keduanya. Kekuatan Ki Garu Wesi benar-benar dirasakan oleh Ki Jayaraga seperti hantaman batu-batu yang longsor dari tebing. Sementara tubuh Ki Garu Wesi sangat gesit bergerak secepat belalang berloncatan.
Dalam benturan selanjutnya, keduanya semakin meningkatkan daya serang. Kedua orang yang telah berusia lanjut ini saling membelit, saling berputar dan saling menyerang seperti badai lautan. Bagian dalam rumah Agung Sedayu kini berubah menjadi medan pertempuran. Perabotan rumah berserakan dan hancur ketika angin dari tenaga cadangan datang menerjang. Benturan-benturan tenaga cadangan yang berbeda jalur perguruan telah menggetarkan dinding rumah.
Ki Jayaraga berusaha keras memancing lawannya agar bertarung di luar rumah, namun sepertinya Ki Garu Wesi tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya.
“Apakah orang ini telah kerasukan setan?” bertanya Ki Jayaraga dalam hatinya. Ki Garu Wesi sungguh seperti orang tak berperasaan. Sorot matanya menyala mengumbar keinginan yang belum padam.
Sambaran angin tenaga cadangan yang keluar dari setiap gerak tangannya tiada henti menerpa Ki Jayaraga. Dalam pada itu, Ki Jayaraga meningkatkan daya tahan tubuhnya namun ia masih bertarung dengan perhitungan matang.
Sejenak ia meloncat surut, kemudian Ki Jayaraga berkata, ”Ki Garu Wesi, inikah yang kau lakukan untuk menjadi yang terbaik? Kau anggap bahwa merusak harta pribadi seseorang itu suatu kebenaran, kau anggap setiap tujuan harus dapat dicapai tanpa pengekangan diri. Lalu siapakah sebenarnya dirimu, Ki Garu Wesi?”
“Berhentilah berbicara, orang tua!” tukas Ki Garu Wesi. Ia berdiri di sudut ruang dan benda-benda rumah tangga Agung Sedayu telah berserakan di lantai rumah. Ia berkata kemudian, ”Apakah kau menganggap dirimu adalah orang suci? Bukankah kau juga mempunyai keinginan, Ki Jayaraga? Kemudian kau musnahkan segala keinginan yang tumbuh dalam hatimu dan tanpa sadar kau telah membohongi dirimu sendiri.”