Bab 2 Sabuk Inten
Di pusat kotaraja Demak, pertemuan yang digelar oleh Raden Trenggana telah usai, dan kini ia duduk di sebuah ruang yang terletak di bagian dalam bangunan istana Demak. Ia memandang bergantian dua orang pejabat tinggi yang berada dihadapannya. Sesekali ia menarik napas panjang. Raden Trenggana bangkit berdiri lalu berkata, ”Bukankah sudah sepatutnya aku memberi hukuman pada mereka yang menentangku?”
Kedua orang itu sejenak bertukar pandang, lalu seseorang berpangkat tumenggung menjawab, ”Memang sudah sepantasnya, Kanjeng Sultan.”
Raden Trenggana menatap tajam wajah orang yang memberi jawaban. Kemudian ia bertanya, ”Apa alasanmu hingga dapat berkata pantas, Ki Tumenggung Wilaguna?”
“Kanjeng Sultan, sudah menjadi kewajiban bagi setiap adipati dan para petinggi di kadipaten yang menjadi bawahan Majapahit untuk tunduk pada Demak. Sedangkan Kanjeng Sultan sendiri adalah penerus kekuasaan Majapahit,” jawab Ki Tumenggung Wilaguna.
“Apakah kau tidak mempunyai alasan yang lain?” Sultan Trenggana menatapnya dengan pandang mata menyelidik.
Ki Tumenggung Wilaguna diam sejenak, kemudian ia menjawab, ”Tentu saja karena mereka merasa lebih kuat dari Demak, Kanjeng Sultan.”
“Bagaimana mungkin mereka merasa lebih kuat dari Demak? Sementara pasukan Demak telah berhasil memaksa kadipaten wilayah timur tunduk. Atau kau mempunyai maksud lain dengan arti sebuah kekuatan?” Sultan Trenggana mencoba mengendapkan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. Karena ia tidak menyangka jika Ki Tumenggung Wilaguna dapat melihat sebuah sisi yang sama sekali belum ia pikirkan.
“Kekuatan itu adalah ketajaman nalar yang mereka miliki, Kanjeng Sultan,” berkata Ki Patih Kusumanegara yang berusia sama dengan Raden Fatah dan menjadi penasehatnya saat masih hidup.
“Aku merasa seperti orang yang tidak mampu berpikir dengan pendapat yang kalian utarakan. Seolah tunduknya beberapa kadipaten itu adalah bahan untuk menertawakan diriku,” berkata Sultan Trenggana dengan geram.
“Maafkan kami, Raden. Saya tidak bermaksud seperti itu. Ada landasan saya untuk menaruh kecurigaan pada mereka. Ada beberapa keadaan. Yang pertama adalah perlawanan mereka sama sekali tidak menunjukkan kekuatan mereka yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin Surabaya dapat ditundukkan dalam waktu tidak sampai satu hari? Kemudian setelah Surabaya menyatakan tunduk, mereka juga tidak mengirim utusan kemari atau meminta kita untuk menempatkan orang di sana,” berkata Ki Tumenggung Wilaguna. Lalu ia meneruskan lagi, ”Yang kedua adalah mereka juga tidak meminta pertimbangan-pertimbangan, atau memberi bahan keterangan pada Demak untuk menyusun langkah-langkah ke depan. Apalagi kita semua tahu bahwa orang-orang asing bermata biru telah banyak bertebaran di sepanjang pesisir utara.”
Sultan Trenggana memandangnya tajam. Ia menghela napas. “Aku harus mengakui pendapat kalian ada benarnya. Sehingga aku pun merasa benar dengan keputusan ini. Keputusan untuk kembali memaksa Blambangan dan Panarukan mengakui dan tunduk kepada Demak,” berkata Sultan Trenggana dengan nada tinggi, sejenak ia mengendapkan perasaannya lalu berkata, ” namun begitu, aku harus mempunyai bahan-bahan untuk dapat memaksa mereka sepenuhnya menyerahkan diri pada Demak.”
Ki Patih Kusumanegara saling pandang dengan Ki Tumenggung Wilaguna, kemudian Ki Patih berkata, ”Saya dapat mengirim orang ke Jepara untuk meminta mereka lebih cepat mempersiapkan kapal-kapal yang akan membawa kita menuju Panarukan.”
“Apakah kita perlu untuk meminta bantuan pada Cirebon?” bertanya Ki Tumenggung Wilaguna.
“Tidak. Aku tidak ingin melibatkan Cirebon dalam pertempuran kali ini,” Sultan Trenggana dengan tegas memberi jawaban.
“Lalu apa jawaban yang akan Anda berikan apabila Cirebon bertanya tentang keadaan yang berkembang?” Ki Patih bertanya dengan kening berkerut.
“Paman Patih, aku akan katakan pada mereka bahwa ini semua adalah urusan keluarga yang belum terselesaikan, dan aku yakin mereka akan memahaminya. Karena memang itulah yang menjadi kenyataan jika para adipati di wilayah timur adalah saudara muda Demak,” Sultan Trenggana berhenti sejenak. Dengan sedikit rasa geram ia berdesis, ”Dan sudah sepantasnya seorang saudara tua memberi hukuman pada mereka.”
Untuk beberapa lama kemudian ketiga orang itu menyusun langkah-langkah yang perlu dilakukan setelah laporan dari para petugas sandi dan penghubung di setiap kadipaten telah terkumpul. Pembicaraan itu berlangsung hingga lewat tengah malam, sesekali Sultan Trenggana bertanya untuk menguji siasat yang diajukan kedua bawahannya itu. Sultan Trenggana agaknya benar-benar tidak ingin mengalami kekalahan dalam perjalanan menuju Panarukan ini. Ia tidak ingin peristiwa yang membuatnya malu itu kembali terulang. Pendapat Ki Patih Kusumanegara dan Ki Tumenggung Wilaguna yang diutarakan pada awal pembicaraan benar-benar membuka wawasannya tentang siasat baru yang belum pernah ia temui.
1 comment
[…] Bersambung Bab 2 – Sabun Inten […]