Di pedukuhan induk.
Setelah Dharmana memberi tahu tentang dua anak muda dari Menoreh pada penjaga regol, maka Sayoga dan Sukra mendapat izin menemui Agung Sedayu. Beriring ayun langkah keduanya menuju beranda depan, seorang penjaga yang menyertai mereka menerangkan keadaan di dalam rumah Sekar Mirah. Tiba-tiba Sayoga menghentikan langkah setapak sebelum menaiki tangga. Sejenak ia bertukar pandang dengan Sukra lalu katanya, “Apakah kedatangan kita tidak menambah beban Ki Rangga?”
Tiba-tiba teriakan kencang menambah bising udara pedukuhan induk sebelum Sukra menjawab pertanyaan Sayoga. Bertiga lantas berpaling ke arah suara. Sukra berderap menuju regol mendahului dua kawannya.
Suara keras itu datang dari arah Pedukuhan Janti. Seorang pengawal bertubuh ramping berlari cepat, menerobos sela orang-orang yang hilur mudik di jalan utama pedukuhan. Ia berkata kencang menyebut Pedukuhan Janti berulang-ulang dengan tangan menunjuk sedikit ke atas mengarah pada tempat yang dimaksud. Seketika orang-orang mengangkat wajah dan tampaklah kaki langit Pedukuhan Janti memantulkan semburat kemerahan.
“Biadab!” seru seorang penjaga regol.
Ketika pengawal itu tiba di regol rumah Sekar Mirah, napasnya terdengar seperti gelembung udara yang melewati rongga terputus-putus. kata-kata. Dua matanya membelalak dan ia mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti orang yang mengerumuninya.
“Janti, Janti…. Tutup… Buka… Janti… Mereka…,” katanya dengan tangan menekan dada.
“Tenanglah, tenang,” kata Dharmana yang tiba-tiba kembali berada di tengah-tengah penjaga regol. Sebelumnya ia berpapasan dengan pengawal itu ketika menuju banjar pedukuhan. Namun pengawal itu tidak menghiraukan Dharmana yang berteriak memanggilnya.
Sejenak kemudian, pengawal perbatasan Pedukuhan Gondang Wates dapat menguasai diri. Dharmana duduk lebih rendah daripada pengawal itu, kemudian ia bertanya, “Sabin, ada apakah dengan Pedukuhan Janti?”
“Mereka, maksud saya, musuh kita sepertinya membakar daerah di sebelah barat pedukuhan,” jawab Sabin.
“Kami tidak meragukanmu, tetapi…apakah engkau yakin bahwa kebakaran itu berada di Pedukuhan Janti?”
Sabin mengangguk.
Dharmana lantas bangkit kemudian memandang para pengawal di sekelilingnya seperti mencari seseorang. Sorot matanya seolah mengandung harapan bahwa ada jawaban di tengah kegentingan pada malam itu, sementara ia sadar Agung Sedayu telah terbeban berbagai persoalan, terutama tentang kelahiran anaknya. Lalu napasnya menjadi lega ketika melihat Sayoga dan Sukra berada di belakang garis kerumunan.
Benar, dari semua orang yang berada di dekatnya pada waktu itu, hanya kemampuan Sayoga dan Sukra dapat mengemban harapan tinggi. Dua pemuda itu akan dapat melewati kesukaran dan bahaya dengan cara yang lebih baik dari teman-temannya di Sangkal Putung.
Dharmana meminta mereka semua untuk bersikap tenang, setelah meninggalkan pesan pada para pengawal, ia meminta izin untuk menepi. “Kita akan cari jalan keluar, untuk sementara ini, aku akan bicarakan itu dengan dua orang Menoreh terlebih dulu. Aku harap kalian dapat mengerti.”
Para pengawal yang berada di tempat itu kemudian mengangguk setuju. Maka Dharmana pun mengajak Sayoga dan Sukra untuk duduk bersama di beranda.
Lalu mereka bertanya-jawab tentang segala yang mereka ketahui tentang perkembangan yang terjadi di Sangkal Putung. Tidak banyak waktu yang mereka perlukan, oleh karenanya, pikiran-pikiran padat segera bermunculan sebagai jawaban.
Walau pun ketiganya bicara perlahan tetapi Agung Sedayu dapat mendengar pembicaraan mereka. Dengan ketajaman ilmu Sapta Pangrungu, senapati Mataram ini dapat mengetahui keadaan di luar rumah Sekar Mirah. Ia memutuskan untuk keluar barang sebentar dari bilik istrinya. Dari balik pintu, penglihatan Agung Sedayu dapat mengenali Sukra dan Sayoga.
“Aku akan pergi ke sana,” kata Sukra tegas.
“Tidak. Engkau tidak perlu ke sana. Aku yang akan pergi,” bantah Sayoga.
“Aku yang akan pergi.”
“Tidak,” sergah Sayoga. Kemudian dengan nada rendah katanya, “Sukra, kakang Agung Sedayu lebih membutuhkanmu di sini. Bukankah engkau juga menanti jabang bayi?”
“Kita lihat nanti setelah kesimpulan akhir telah kita sepakati.” Sukra berkeras hati untuk pergi ke perbatasan Pedukuhan Gondang Wates dan Janti.
Sayoga menghela napas. Meski belum lama mengenal Sukra, tetapi ia dapat menerima Sukra yang memang sulit dihentikan. Terlebih lagi apabila bersinggungan dengan kewilayahan. Namun Sayoga telah mendengar dari orang-orang di Tanah Perdikan betapa Sukra sering membicarakan keadaan Sekar Mirah, maka dari itu, Sayoga dapat menduga isi hati Sukra sebenarnya.
“Paman,” ucap Sayoga pada Dharmana, “Sukra bertujuan mengunjungi pedukuhan ini untuk menengok keadaan Nyi Sekar Mirah. Jadi, mohon bantu kami dengan pengertian itu.” Sambil tersenyum Sayoga mengatakan itu di depan Sukra.
Sukra mendengus, membuang muka dan bersungut, tetapi ia tidak beruntung karena pandangannya bertumbuk dengan wajah Agung Sedayu yang berjalan ke arah mereka.
“Ki Lurah,” kata Sukra cepat sambil memberi hormat.