Sedikit gugup tetapi dengan kecakapan hebat dan kelenturan tubuh yang luar biasa, Sayoga mengelak serangan dengan gerakan yang sulit dinalar.
Sayoga dan Ki Sarjuma yang berada dalam kebekuan, sejauh itu masih sama-sama mengintai dan menunggu pergerakan lawan.
Ki Panuju yang membayangi perkelahian Sayoga terkesan dengan kemampuan hebat anak muda dari menorah itu. “Sekian lama aku melihat pertarungan dan perang tanding yang cukup hebat, tetapi Sayoga membuat perbedaan pada malam ini. Sungguh sulit untuk percaya bahwa di masa usia belum mencapi dua atau tiga puluh tahun, Sayoga telah melampaui perkiraan banyak orang. Salah satunya adalah aku. Dan, jika lawannya benar-benar dapat dikalahkan, maka nama besar dan kepercayaan kalangan pengikut Raden Atmandaru pada orang itu akan runtuh. Kemegahan akan musnah dalam satu sapuan angin malam.”
Tiba-tiba sepasang lengan Ki Sarjuma seakan lenyap dari pandangan ketika tubuhnya bergerak menyilang ke kanan dan kiri. Ketajaman penglihatan orang berpangkat lurah tidak akan sanggup mengikuti kelebat tubuh Ki Sarjuma. Apalagi dua lengan itu sama sekali tidak memantulkan sinar bulan atau seolah-olah menyerap semua unsur cahaya di sekitar Watu Sumping. Tidak ada yang terlihat, dan juga tidak ada yang terdengar. Itu sangat jauh berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya yang banyak mengeluarkan suara bercuitan.
Bahu Sayoga sedikit bergerak. Pedangnya bergeser sedikit lebih ke bawah dengan pangkal berada di bawah pinggang, ujungnya menggetar dan mengacu lurus pada bagian depan Ki Sarjuma. Teman perjalanan Sukra itu dapat melihat serangan lawannya yang sangat bertenaga dan cepat datang padanya.
Ketika jarak mereka semakin dekat.
Sayoga menempatkan pedang persis di samping dalam lengan kiri Ki Sarjuma. Begitu rapat, mungkin hanya berselisih setengah lebar jari telunjuk dan langsung mengarah letak jantung Ki Sarjuma! Ujung pedang Sayoga meluncur tanpa rintangan, sepertinya begitu! Luka di pahanya seolah tidak lagi membawa kesulitan bagi Sayoga, sepertinya juga begitu.
Pergerakan yang sangat cepat. Di luar dugaan Ki Sarjuma. Lelaki setengah baya itu tidak mengira Sayoga mempunyai ketelitian dan ketepatan yang sangat tinggi hingga senjatanya mampu merobek ujung baju yang menutup urat nadinya!
Bila tidak mengubah kedudukan, walau berujung tumpul, pedang kayu Sayoga akan mampu merusak bagian dalam tubuhnya. Setidknya ada tulang dada yang patah. Maka, Ki Sarjuma bergerak lebih cepat, menggeser tubuh lebih rendah lantas bidikan Sayoga pun hanya mengenai tulang pundaknya.
Sayoga segera menyesuaikan arah serangan. Ia mengubah sasaran. Ujung pedangnya berubah haluan, memukul pangkal leher Ki Sarjuma!
Mati. Ki Sarjuma memiringkan tubuh, lalu membalas serangan Sayoga dengan menggerakkan lengan setengah lingkaran, menebas silang lambung Sayoga.
Mati. Sedikit terlambat keduanya akan sama-sama menemui ajal!
Dan, sudah pasti tidak ada seorang pun dari mereka yang rela melepas nyawa pada lawan. Sayoga yang telah mengetrapkan Serat Waja dan mengalirkan ilmu itu pada pedangnya tidak membiarkan lawannya merobek lambung dengan mudah. Ia melemparkan tubuh ke samping sambil melayang, pedangnya berputar, menangkis serangan Ki Sarjuma.
Sangat telak!
Tangan Ki Sarjuma yang begitu tajam terhadang oleh pedang kayu Sayoga. Pada waktu itu Ki Sarjuma merasakan bahwa tenaganya serasa amblas atau mengenai ruang kosong, padahal nyata terlihat bahwa gerakan mereka saling berbenturan.
Tidak ada bunga api yang berhamburan. Tidak ledakan atau suara mengejutkan. Ini seperti pertarungan dua siluman Watu Sumping yang berebut makanan. Sangat ganas, mengerikan dan berlangsung secara rahasia!
“Gila! Ini benar-benar edan! Anjing biadab!” umpat Ki Sarjuma dalam hatinya sewaktu mendapati tangannya ternyata menabrak benda lunak. Sangat lunak, terasa olehnya semacam itu. Angin tenaga yang sangat tajam serta kulit dan tulang yang mengeras serasa amblas lalu tenggelam ke dalam genangan air yang sangat luas.
Kenyataan yang pahit, Terbayang kehancuran nama baiknya dan kemasyhuran yang telah bersanding puluhan tahun lamanya. Pada wajah Ki Sarjuma tiba-tiba memancar rona penyesalan.
Ia takluk pada Sayoga yang kemudian melontarkan pukulan berlambar ilmu Serat Waja pada bagian perutnya. Ia menerimanya tanpa perlawanan. Tanpa daya untuk mengelak atau menangkis serangan yang sepertinya tidak bertenaga itu.
Sambutan Ki Panuju pun tidak dapat tercoret oleh kata-kata. Mendadak tenggorokannya kering. Lurah sepuh Mataram itu berulang-ulang membasahi bibirnya. “Pada malam ini, aku yang telah berlatih dengan banyak orang dan mengamati perkelahian-perkelahian hebat, sudah tidak dapat mengatakan mengenai kehebatan anak itu. Rasanya aku belum pernah melihat atau mendengar tentang pertarungan yang lebih menegangkan daripada pertarungan ini.”
Tetapi naluri senapati Ki Panuju segera mengambil alih. Kemenangan telah mereka dekati setengah jalan bila Ki Sarjuma akhirnya benar-benar terbunuh. Ia ingin memastikan keadaan itu namun sejumlah pengikut Raden Atmandaru segera melingkari Ki Sarjuma yang tergolek lemas. Mereka menutup jalan dengan senjata dan sikap tubuh merunduk. Melihat itu, Ki Panuju memalingkan wajah. Pikirnya, lebih baik mengamankan Sayoga dari terkaman prajurit lawan yang dapat muncul secara mengejutkan.
Semua pengawal Gondang Wates nyaris tidak menyambut dengan gempita kemenangan Sayoga. Sebaliknya, mereka menahan napas selagi menatap Sayoga yang terhuyung, lalu jatuh terlangkup!
Ki Panuju meloncat panjang, meluncur deras, mendahului prajurit lawan yang telah mengacungkan senjata pada tubuh lunglai Sayoga.
Sambil menangkis belasan senjata yang berayun serempak, Ki Panuju menarik lengan Sayoga, lalu memberi aba-aba pada pengawal pedukuhan agar segera menghadang serangan liar.
Ki Panuju sekuat daya menempatkan Sayoga pada salah satu pundaknya, kemudian mengerahkan seluruh tenaga bertarung membuka jalan keselamatan menuju banjar pedukuhan.
Dharmana yang mengetahui kedudukan terakhir perkelahian Sayoga segera mengirim satuan pengawal dengan perintah khusus : membuka gelar untuk menguak kerumunan orang-orang.
“Sayoga harus dapat diselamatkan. Secepatnya Sayoga harus berlindung di Watu Sumping.” Demikian kalimat yang terus-menerus berulang di dalam setiap benak pengawal pedukuhan. Mereka akan berjibaku bila menempuh jalan paling sulit. Mereka telah bersumpah atas hal itu!