Sebelum melanjutkan yang aku ketahui mengenai apa dan bagaimana bapak pada zaman perang, aku sisipkan kisah dari kakak perempuanku yang pertama, Mbak Suci.
Mbak Suci yang lahir pada 6 Desember 1928 sempat bekerja pada sebuah stasiun radio di Magelang yang dipimpin Pak Bajuri. Mbak Suci banyak membantu di bagian keuangan atau administrasi di bawah pimpinan Pak Jiwanto. Kakakku ini kadang-kadang juga sebagai operator lagu dengan memutar musik melalui piringan hitam. Setelah ada perintah dari pemerintah pusat agar mengungsi ke Yogyakarta, maka Siaran Radio Magelang menggabungkan diri dengan RRI Yogyakarta. Yang turut dalam penggabungan itu adalah Pak Bajuri dan Pak Jiwanto serta beberapa orang dari bagian pemancar seperti Pak Pranowo dan Sumingan. Dan Mbak Suci pun turut bergerilya. Mengagumkan, aku bangga dengan sepak terjang kakakku ini!
Mbak Suci, di kemudian hari, menikah dengan Mas Priyowijoyo yang merupakan teman pak Hetami. Pak Hetami inilah yang kelak mendirikan Suara Merdeka dengan embrio koran de Locomotive.
Dari penuturan Mbak Suci, aku mendapatkan kisah bahwa dahulu tugas bapak di bidang intelijen pada zaman Belanda. Mbak Suci menerangkan padaku bahwa salah satu tugas bapak adalah mengamati kegiatan spionase Jepang hingga kemudian setelah ada berita invasi Jepang, kami diperintahkan mengungsi dari Magelang ke Kroya dengan menggunakan dua buah mobil Chevrolet baru yang diberikan oleh pemerintahan Belanda. Ternyata tentara Jepang bergerak memasuki Jawa Tengah dari Cilacap. Maka, keadaan memaksa bapak dan keluarga untuk berpindah-pindah agar tidak ditangkap. Namun demikian, sepertinya Tuhan tidak berkenan kami tertangkap karena bapak tetap diberi jabatan untuk mengawasi kamp interniran wanita-wanita Belanda di Muntilan. Itu terjadi pada waktu Jepang berkuasa.
Pada penuturannya di kemudian hari, bapak pun mengakui adanya dilema dan pilihan-pilihan sulit yang mendadak muncul dalam kehidupan beliau. Aku dapat mengerti bahwa medan perjuangan bapak berbeda dengan salah seorang pamanku, Jusuf Ronodipoero.
Bila bapakku dianggap sebagai perpanjangan tangan Jepang, itu adalah pendapat yang dapat diterima padahal beliau adalah penanggung jawab atas berlangsungnya hukum sipil yang sudah semestinya berlaku pada penduduk sipil. Sedangkan pamanku adalah orang yang dicari pihak Jepang karena menyiarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia melalui radio militer Jepang. Tentu saja dua keadaan yang bertolak belakang itu dapat membingungkan sebagian orang. Namun, sejak Indonesia berdiri pada dua kaki sebagai bangsa yang merdeka, kebanyakan orang mulai dapat memahami tekanan batin yang kami alami dari percakapan yang buruk menilai kami.
Sekitar lima atau enam tahun setelah kelahiranku, terjadi sebuah peristiwa sejarah yang membawaku masuk ke dalam masa-masa kelam. Orang-orang menyebutnya Agresi Militer Belanda II. Ini adalah usaha percobaan setelah gagal dengan operasi militer yang pertama pada 21 Juli – 5 Agustus 1947, Belanda kembali menyerang Indonesia setahun kemudian. Serangan kedua juga dikenal dengan nama Operatie Kraai yang artinya Operasi Gagak. Operasi ini berawal dari serangan di Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota serta pusat pemerintahan Indonesia. Setelah itu, serangan Belanda pun meluas ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera.
Tujuan Agresi Militer Belanda II adalah untuk melumpuhkan pusat pemerintahan Indonesia sehingga Belanda bisa menguasai Indonesia kembali. Belanda ingin merebut kekayaan alam yang ada di Indonesia untuk menumbuhkan perekonomian negaranya yang hancur setelah kalah dalam Perang Dunia II. Pada akhir tahun 1948 itu, sebagian dari tentara pendudukan Jepang masih berada di Magelang. Demikian juga sebagian tentara KNIL yang bertugas. Keberadaan pasukan yang berbeda kubu dan tujuan membuat Magelang berada dalam ketegangan yang mencekam. Sebagian penduduk Magelang mulai meninggalkan kota. Setiap hari, berangsur-angsur, baik dalam jumlah kecil ataupun kelompok besar, gelombang pengungsian mulai terjadi. Ada yang berjalan ke arah timur menyeberangi Sungai Elo, ada pula yang ke arah barat setelah melewati jembatan Kali Progo.
Aku tidak lagi melihat keramaian orang berlalu lalang di jalanan depan rumah pada hari-hari berikutnya.