Ki Garu Wesi telah mengukur waktu yang ia miliki. Demikianlah kemudian ia bersiap lalu bentakan nyaring terdengar dari mulutnya. Gelegar suara yang sanggup mengguncang isi dada. Dorongan angin yang begitu kuat menyambar keluar dari mulutnya, menyerang Ki Jayaraga yang berdiri tegak dengan lengan bersilang di depan dada.
Ketika dorongan tenaga itu nyaris menerpa dada Ki Jayaraga, tiba-tiba telapak tangan Ki Jayaraga mengembang menyambutnya. Keduanya menjadi terkejut karena benturan dua tenaga yang tidak terlihat mata itu mampu menggetarkan seonggok batu yang berada di dekat mereka. Tubuh Ki Jayaraga tetap tegak berdiri. Sedangkan Ki Garu Wesi sendiri juga tidak bergoyang sedikit pun.
Ki Garu Wesi yang tidak pernah mendengar nama Ki Jayaraga menjadi penasaran terhadap ketinggian ilmu lawannya. Ia menerjang maju dengan serangan yang ganas dan mematikan. Terkadang ia melambari serangannya dengan bentakan-bentakan keras yang menggetarkan seisi halaman rumah. Namun Ki Jayaraga masih belum sepenuhnya mengerahkan kemampuannya. Ia masih berupaya untuk mengulur waktu sekaligus berusaha memancing lawannya agar menyerangnya semakin ganas dan tajam.
Meskipun serangan Ki Garu Wesi ganas dan tajam, tetapi sebenarnya ia tidak terlalu banyak bergeser tempat. Hanya tangan dan kakinya yang menyambar setiap bagian tubuh yang berbahaya. Maka yang terlihat adalah gerakan-gerakan sederhana yang mematikan sehingga tak jarang terjadi benturan-benturan yang sangat keras.
Ki Garu Wesi lambat laun menyadari apabila lawannya hanya mengulur waktu karena Ki Jayaraga tidak sekalipun membuat serangan yang berbahaya. Sambil menyerang lawannya, Ki Garu Wesi membuat perhitungan kekuatan sebenarnya dari Ki Jayaraga. Setelah ia mempunyai kesimpulan mengenai Ki Jayaraga, maka Ki Garu Wesi dengan penuh keyakinan, merasa tidak akan dapat meladeni perlawanannya dalam waktu lama. Ia harus segera lepas dari Ki Jayaraga yang terus menerus mampu membendung serangannya.
”Lawan yang tangguh!” ucap Ki Garu Wesi dalam hatinya. “Aku tidak dapat berlama-lama di tempat ini.” Karena itu, Ki Garu Wesi kemudian meningkatkan selapis demi selapis lebih tinggi dalam setiap serangannya.
Namun Ki Jayaraga yang menjadi lawannya tentu saja tidak dapat menyerah begitu saja. Ia semakin rapat membentengi dirinya dari serangan lawan yang tiada henti mengalir deras. Maka dengan begitu kemudian Ki Garu Wesi masih merasa membentur dinding kokoh. Semakin kuat ia menekan, semakin kuat perlawanan Ki Jayaraga. Setiap serangan Ki Garu Wesi berbalik memantul, kadang-kadang seperti meluap melebih tanggul sungai.
Tiba-tiba tubuh Ki Garu Wesi seolah lenyap dari pandangan mata. Begitu cepat ia bergerak dengan mendadak agaknya mampu mengelabui KI Jayaraga. Ki Jayaraga yang terkejut dengan perubahan sangat cepat itu tiba-tiba terdorong mundur ke belakang ketika sentuhan tangan lawannya yang membentur lengannya. Meskipun begitu, Ki Jayaraga dengan cepat mengembalikan keseimbangan lalu ia mencoba membalas dengan kaki yang terjulur menghantam pangkal paha Ki Garu Wesi.
Namun kemudian Ki Garu Wesi memutar tubuh dengan cepat. Sebuah tipuan gerakan berhasil mengecoh Ki Jayaraga saat tendangannya tidak mencapai sasaran. Kelengahan Ki Jayaraga akhirnya dapat digunakan oleh Ki Garu Wesi untuk melompat masuk ke dalam rumah Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengikuti pergerakan lawannya dengan kecepatan tinggi. Namun dadanya berdetak kencang, ia mulai khawatir terhadap perkembangan yang mungkin terjadi. Rumah Agung Sedayu dapat saja menjadi terbakar atau bahkan hancur lebur apabila ia tidak dapat mengekang Ki Garu Wesi secepatnya. Namun ia terlambat untuk menghadang Ki Garu Wesi yang berkelebat kesana kemari sambil menghantam perabot rumah Agung Sedayu. Bahkan dinding bilik Agung Sedayu telah hancur terhantam gelombang tenaga cadangan yang ia lepaskan.