Agung Sedayu menebar pandangan, lalu, ”Para pengikutmu telah berada dalam penjagaan para pengawal Menoreh. Semua hasil kejahatan kalian pun telah kami kumpulkan. Lalu nasib kalian akan segera ditentukan oleh orang Menoreh, bukan Ki Gede Menoreh.”
Agung Sedayu sejenak menatap pada sekumpulan orang yang menjadi tawanan pengawal Menoreh, ia berkata lantang, ”Ki Garu Wesi tidak akan pernah kembali kemari untuk menyelamatkan kalian. Kalian telah memilih tempat dan lawan yang salah. Tetapi aku dapat mengerti alasan kalian dan aku tidak akan membela kalian bila orang-orang Menoreh menyatakan hal yang lain.”
Para pengikut Ki Garu Wesi mendengar ucapan Agung Sedayu segera disergap kecemasan. Mereka dapat membayangkan apabila hukuman itu diserahkan sepenuhnya oleh Ki Gede Menoreh pada rakyatnya. Wajah-wajah pucat dan tubuh gemetar pun tampak jelas pada mereka. Sejenak mereka saling bertukar pandang.
Seorang diantara pengikut Ki Garu Wesi kemudian bangkit dan berteriak, ”Apakah benar yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Ki Tunggul Pitu?”
Ki Tunggul Pitu berpaling padanya, lalu, ”Kau bertanya pada orang yang salah, Ki Sanak.”
Beberapa pengikut Ki Garu Wesi lantas mengumpat kasar dan memaki Ki Tunggul Pitu dengan ucapan yang tidak pantas. Dalam pada itu, Ki Tunggul Pitu lantas berkata, ”Kalian seharusnya lebih sering menggunakan nalar saat menerima tawaran Ki Garu Wesi. Dan tentu saja, aku seorang diri akan sulit membawa kalian keluar dengan selamat dari para pengawal Menoreh.”
“Bukankah kau pernah berjanji bahwa kau akan mempertaruhkan nyawa bersama kami?” tanya seorang diantara pengikut Ki Garu Wesi yang menggunakan ikat kepala berwarna merah.
“Aku memang berjanji dan aku akan menepatinya,” sahut Ki Tunggul Pitu,”Tetapi, itu hanya berlaku apabila kita berada dalam satu pertempuran dengan orang Menoreh.”
Para pengikut Ki Garu Wesi mendengus marah, tetapi mereka tidak dapat melakukan apapun. Angan-angan dan mimpi serta harapan yang telah setia menemani selama ini menjadi pupus. Beberapa diantara mereka bahkan tidak mempunyai keberanian untuk sekedar berharap dapat hidup. Dalam keadaan terikat dan berada dalam pengawasan lekat para pengawal Menoreh yang telah telanjang senjata, pengikut Ki Garu Wesi merasa tidak ada lagi yang dapat diharapkan memberi pertolongan.
Tampak beberapa orang Menoreh berusaha mendesak para pengawal yang berbaris mengelilingi para tawanan. Nampaknya mereka ingin melampiaskan kekesalan dan amarah pada gerombolan yang baru saja menyalakan kerusuhan di Tanah Menoreh. Mata nyalang keluar dari banyak bola mata orang-orang Menoreh dengan berbagai senjata teracung liar ke arah para tawanan. Wajah-wajah yang dirundung duka bercampur marah terpancar jelas dari raut wajah orang-orang yang menjadi korban. Tetapi para pengawal dengan sabar mengingatkan rakyat Menoreh agar tetap menunggu keputusan Ki Gede Menoreh. Di antara pengawal pun ada yang menjadi korban kerusuhan, namun pengawal-pengawal itu sadar bahwa keadaan akan menjadi tak terkendali apabila mereka menuruti kata hati.
Demikianlah kemudian Prastawa berulang-ulang mengirim petugas penghubung untuk membantunya meredakan suasana yang nyaris tidak terkendali. Untuk kesekian kali, rakyat Menoreh kembali menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat mengendalikan diri dan berjiwa besar. Kecintaan mereka pada tanah kelahiran dan Ki Gede Menoreh serba sedikit telah membantu memulihkan hati yang terluka. Kebersamaan mereka telah membuat mereka tidak merasa sendiri dalam derita. Dalam waktu yang tidak lama, ketenangan telah memenuhi setiap penjuru Tanah Perdikan.
Ketenangan dan kebersamaan itu pun akhirnya menyusup dalam relung hati orang-orang yang berada di sekitar lingkar tawanan. Perubahan yang terjadi semakin membuat gentar hati pengikut Ki Garu Wesi. Mereka saling memandang tetapi tidak berkata-kata. Sorot mata cemas tentang nasib mereka juga terpancar jelas.
“Ki Tunggul Pitu! Memang tidak terjadi pertempuran seperti yang direncanakan, tetapi bukankah kau sendiri telah mendapat keuntungan atas kerusuhan yang terjadi?” teriak salah seorang pengikut Ki Garu Wesi. Lalu terdengar seorang lagi menimpali,”Kemudian kau tinggalkan gelanggang layaknya seorang pengecut!”
“Sudah barang tentu aku mendapatkannya, dan aku tidak mengerti maksudmu tentang pengecut,” sahut Ki Tunggul Pitu. Kemudian ia berpaling pada Agung Sedayu,”Namun tidak seorang pun dari orang biasa di Menoreh yang merasa kehilangan atas apa yang aku lakukan.” Tatap mata penuh arti dari Ki Tunggul Pitu membuat Agung Sedayu mengernyitkan dahinya.