“Apakah Ki Jayaraga akan rela jika melewatkan malam tanpamu, Kakang Agung Sedayu?” Prastawa bertanya sambil menutup mulutnya. Ki Gede pun tertawa kecil bersama Sekar Mirah.
Dalam waktu sedikit lebih lama, mereka kemudian membicarakan rencana dan kemungkinan yang akan berkembang. Ketika malam telah menyebar di setiap bagian Tanah Perdikan, maka ketiga tamu Ki Gede segera meminta diri.
“Sukra, aku minta kau segera bersiap,” kata Agung Sedayu ketika mereka telah makan malam bersama.
Sukra mengerutkan kening namun segera menuntaskan pekerjaannya, kemudian bersiap diri seperti yang diminta Agung Sedayu.
“Aku mendukung rencanamu, Ngger,” kata Ki Jayaraga. Kemudian,” karena dengan mengajak Sukra melakukan tugas berbahaya ini, Sukra telah dilatih oleh orang yang mempunyai pengalaman tinggi dalam mengintai dan menyamar. Suatu saat, Prastawa akan memintanya untuk menjadi petugas sandi dan kau tidak selamanya bersama mereka.”
Demikianlah untuk satu malam yang panjang, Agung Sedayu dan Sukra mengamati perkemahan di tempat yang ditunjuk oleh Prastawa. Tanah yang menjadi tempat pengikut Ki Garu Wesi berkumpul ternyata bukan tempat yang tepat untuk persiapan perang. Dengan mudah Agung Sedayu mendekati sebuah kemah yang cukup besar. Agung Sedayu dengan ilmu meringankan tubuh menjadikannya dapat mendengar pembicaraan pemimpin pengikut Ki Garu Wesi. Ditambah ilmu Sapta Pangrungu maka Agung Sedayu mengambil tempat yang sulit dijangkau oleh pendengaran tajam Ki Garu Wesi.
“Aku ulangi agar menjadi jelas bagi kita semua. Agung Sedayu memang harus dilenyapkan. Dengan kematian Agung Sedayu, maka kita akan dapat dengan mudah merebut Tanah Menoreh dan mencari kitab peninggalan gurunya,” kata orang bertubuh gemuk dengan dada telanjang. Ia duduk bersandar pada sebuah pohon kamboja yang berada di dekat kemahnya.
“Setelah kita mendapatkan kitab itu, apa rencanamu selanjutnya Ki Hariman?” tanya orang yang berwajah kancip sambil bertopang dagu.
“Tentu saja kita akan menentukan siapakah diantara kita yang terbaik. Yang terbaik berhak untuk menguasai isi kitab Kiai Gringsing,” jawab Ki Hariman.
“Itu berarti kita akan berebut untuk sebuah kitab, dan itu akan berakibat kehancuran di setiap kelompok yang bergabung,” kata Ki Garu Wesi yang belum mengetahui kehadiran Agung Sedayu. Ia melempar sepotong kayu untuk menambah api didepannya. Ia berkata lagi,”Adalah aku yang berhak menentukan nasib kalian karena aku yang mengajak dan mengumpulkan kalian untuk berada di sini.” Ki Garu Wesi yang marah karena merasa dilangkahi oleh Ki Hariman lantas berdiri dan berkata sangat keras,” Setiap pemimpin kelompok telah sepakat dengan bagian masing-masing dan tidak ada satu orang diantara kalian yang bicara tentang Kitab Kiai Gringsing. Tidak ada yang berbicara tentang kitab itu kecuali aku.”
Lalu terjadilah perdebatan dan saling berbantahan diantara pengikut Ki Garu Wesi. Setelah menunggu beberapa lama, Agung Sedayu memutuskan untuk kembali ke pedukuhan induk.
“Sukra, marilah kita kembali ke pedukuhan induk,” ajak Agung Sedayu. Sukra pun melompat turun dari sebatang pohon yang ditempatinya selama masa pengintaian. Dan agaknya Sukra belum dapat meninggalkan kebiasaan lamanya untuk menengok pliridan yang telah ia titipkan pada seorang temannya.
“Apakah kita akan mengambil ikan-ikan di dalam pliridan itu, Ki Rangga,” bertanya Sukra dengan jari menunjuk ke arah pliridan yang masih tampak kuat dan kokoh.
Agung Sedayu menggelengkan kepala, jawabnya,”Kasihan temanmu yang semalam ini tidur dengan harapan dan mimpi indah bersama udang dan ikan lele.” Sukra mengacungkan ibu jarinya setelah melihat ikan-ikan yang terjebak dalam pliridan. Namun ia setuju dengan pendapat Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak mengambil sebagian meskipun ia telah mendapat ijin dari temannya saat menitipkan pliridan.