“Kakang, pasukan khusus tentu mempunyai orang-orang yang cukup mapan dalam tugas sandi. Sementara para pengawal Tanah Perdikan telah berada dalam lapis yang sama dengan prajurit Mataram, lalu bagaimana kerusuhan ini dapat terjadi di dalam lingkungan orang-orang yang sangat disegani di Mataram?”
Swandaru menatap Agung Sedayu dengan sorot mata yang membuat orang-orang di sekitarnya menjadi tidak nyaman. Namun Agung Sedayu bersikap seolah tidak mendengarkan kata-kata Swandaru. Ia masih berdiam diri dan sekali-kali menatap tajam raut wajah adik seperguruannya itu.
Ki Jayaraga menggeleng-geleng melihat sikap Swandaru terhadap kakak seperguruannya. Namun Ki Jayaraga memilih untuk menahan diri dan membiarkan Ki Gede serta Agung Sedayu untuk mengarahkan keadaan.
Agung Sedayu masih menimbang ucapan yang akan disampaikan karena Sekar Mirah adalah orang yang sangat penting dalam kehidupan Swandaru.
Melihat suasana yang sedikit bergeser, Ki Gede kemudian bertanya pada Pandan Wangi, ”Bagaimana keadaan anakmu?”
Pandan Wangi berpaling pada ayahnya kemudian jawabnya, ”Ia bersama kakek dan neneknya. Semakin hari ia semakin terampil dan kuat. Aku sendiri yang mengajarinya tentang banyak hal.” Pandan Wangi mengerlingkan mata pada Swandaru yang kemudian diam dengan wajah sedikit merengut.
Ki Gede memandang jauh menerawang, sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, ”Aku merindukan cucuku. Apakah kau akan mengajaknya kemari setelah ini semua?”
Pandan Wangi meraih tangannya ayahnya, jawabnya, ”Tentu, Ayah. Ia akan senang dapat bertemu dengan bibinya juga serta bermain di blumbang yang dibuat oleh Ki Jayaraga.” Pandan Wangi tiba-tiba tersentak ketika sudut matanya melihat arah rumah Agung Sedayu. Ia berpaling cepat pada pemimpin pasukan khusus itu sambil berseru dan telunjuknya mengarah ke sisi luar rumah Ki Gede, ”Rumahmu, Kakang! Apa yang telah terjadi sebenarnya disini?”
Swandaru terperanjat mendengar jerit Pandan Wangi. Ia mengguncang bahu Agung Sedayu, kemudian, ”Bagaimana dengan Sekar Mirah, Kakang?”
Rahang Swandaru tampak mengeras dan ia menggeretakkan giginya. Suaranya terdengar terbata-bata ketika berkata, ”Siapapun yang melukainya akan aku lumat dengan kedua tanganku ini!” Kedua tangannya terkepal dan tergetar.
Agung Sedayu memandang wajah Swandaru tanpa kata-kata. Ia berpaling pada Ki Jayaraga dan Ki Gede Menoreh, setelah kedua sesepuh itu saling berpandangan maka kemudian mereka mengangguk. Setelah menarik nafas dalam-dalam, Agung Sedayu berkata, ”Sekar Mirah saat ini bersama dengan Ki Bagaswara di sebelah pasar pedukuhan induk. Dan ia selamat dari kerusuhan yang terjadi.”
Tetapi Swandaru seperti belum merasa lega ketika ia mendengar adiknya masih berada di tempat terjadinya kerusuhan. Lalu, ”Bagaimana Kakang meninggalkan Sekar Mirah di tengah kerusuhan?”
Ki Gede hanya menarik nafas untuk mengendalikan dadanya yang bergemuruh. Sikap Swandaru yang belum berubah telah menempatkan Ki Gede dalam keadaan yang sulit. Ia merasa bahwa sebenarnya keselamatan Sekar Mirah di Tanah Perdikan telah menjadi tanggung jawabnya, namun ia sendiri memahami bahwa Agung Sedayu juga mengemban tanggung jawab yang besar.
Ki Jayaraga masih menahan diri untuk memberi kesempatan pada Swandaru menumpahkan isi hatinya. Meskipun ia tahu benar betapa Agung Sedayu mengalami guncangan hebat. Diam-diam Ki Jayaraga bersyukur bahwa Agung Sedayu ternyata mampu mengendalikan kemarahannya dan tidak menampakkan duka yang menghunjam dalam-dalam di hatinya.
“Swandaru,” berkata kemudian Agung Sedayu dengan suara yang menggetarkan udara sekitarnya, ”aku tidak menolak semua yang kau katakan padamu, tetapi engkau harus tahu bahwa yang kau katakan itu tidak seluruhnya benar.“
Swandaru berpaling padanya dengan kening berkerut. “Jika tidak semua yang aku katakan itu benar, mengapa Kakang tidak sedikitpun menunjukkan keberatan?”
Agung Sedayu memalingkan wajahnya dan melihat seseorang berada di atas punggung kuda dengan dua orang berjalan kaki mengiringinya. Ia mengangkat tangannya lalu berkata lantang, ”Sekar Mirah!” Semua orang segera menoleh pada arah yang ditunjuk oleh Agung Sedayu dan tampak oleh mereka tiga orang sedang mendekati kediaman Ki Gede Menoreh.
Pandan Wangi segera berlari menuruni tangga pendapa menyongsong kedatangan Sekar Mirah. Ia lantas memeluk adik iparnya yang terlihat seperti kehilangan gairah. Lirih Pandan Wangi berkata, ”Sekar Mirah! Yang paling penting dari semua ini adalah kau dalam keadaan yang baik dan tidak mengalami luka-luka.” Pandan Wangi memeriksa lengan dan kaki Sekar Mirah lantas ia menganggukkan kepalanya.
Ki Bagaswara pun kemudian mengangguk hormat pada Ki Gede dan orang-orang lainnya. Ki Gede merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk membantu Agung Sedayu menjernihkan keadaan dengan Swandaru.
”Marilah, kita semua masuk ke dalam. Agaknya Sekar Mirah dan Sukra membutuhkan sedikit perawatan,” ajakan lembut Ki Gede agaknya dipahami oleh setiap orang. Maka yang tertinggal di pendapa adalah Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
Sebenarnya Swandaru ingin mengatakan sesuatu pada adiknya namun Agung Sedayu memberinya tanda untuk menahan langkah. Meskipun Swandaru merasakan sesak dalam dadanya, namun ia tidak kuasa menolak perintah kakak seperguruannya.
Dengan wajah tegang, Agung Sedayu kemudian berkata, ”Aku telah melakukan segalanya dengan persiapan dan perencanaan yang masak. Tetapi lebih baik aku mengatakan padamu tentang tujuan orang-orang yang tidak mempunyai jantung ini.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, ”Mereka adalah sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang bernama Ki Garu Wesi. Dan mereka sama sekali tidak mempunyai tujuan untuk merebut Tanah Perdikan atau menyerang Mataram.”
Dahi Swandaru berkerut, ia bertanya, ”Lalu apa tujuan mereka?”
“Kitab guru yang sedang kau pelajari,” jawab Agung Sedayu. Ia memandang tajam kedua mata Swandaru.
“Dan mengapa mereka membumihanguskan Tanah Perdikan?” gumamnya dalam hati meski kemudian ia telah menjawabnya sendiri. “Mereka tentu mengira bahwa kitab itu ada padamu, Kakang.” Swandaru mematung dengan tatap mata membeku. Ia berdesis, ”Tetapi mereka tidak akan mendapatkan apapun.”
“Kau pasti melakukan kesalahan dengan pendapat seperti yang baru kau katakan,” kata Agung Sedayu. Swandaru mengalihkan pandangannya. Kemudian Agung Sedayu melanjutkan kata-katanya, ”Justru apa yang mereka perbuat hari ini tidak lebih dari usaha yang memperdaya kita semua. Mungkin mereka hari ini berada di Sangkal Putung dan membawa kerusakan hebat di sana.”
Jantung Swandaru seperti lepas dari pangkalnya. Dada Swandaru berdentang kencang. Katanya, ”Tidak mungkin mereka dapat mengguncang Sangkal Putung. Aku telah memberi pesan pada seluruh pengawal kademangan.”
“Tetapi dengan keberadaanmu dan Pandan Wangi di Menoreh, apakah ada orang lain yang mempunyai ilmu sejajar dengan kalian?” tajam Agung Sedayu menyahut.
Tubuh Swandaru seperti membeku. Ia membenarkan pendapat kakak seperguruannya bahwa Sangkal Putung mempunyai lubang kelemahan besar apabila ia dan Pandan Wangi tidak berada di kademangan. Maka dengan begitu, Kademangan Sangkal Putung akan menjadi tempat yang mudah untuk disusupi ataupun dilumat hingga tak bersisa.