Bila kelak aku nggebros, maka … inilah akhir cerita.
Tersebutlah sebuah kisah di jaman susah lagi paceklik. Di sebuah pondok di tepian Kali Bengawan, gerah yang mengepung membuat tekanan darah lekas naik. Bahkan tiupan angin tak mampu semilirkan hawa.
Dari dapur, aku dapat melihatnya dengan jelas. Jam di dinding kembali berdentang, jarum pendeknya tegas menunjuk angka sembilan.
“Mak, kopi!” teriak pria tambun dari atas dipan.
“Penakmen lek njaluk. Jal, dideleng kae … kompore enek gas e pora!”
Aku yang masih terkantuk-kantuk akibat kebosanan, sontak bergas demi mendengar obrolan Mak Tum dengan suaminya. Wah … sebentar lagi aku akan menyemburkan api dengan bahagia.
Eh … lupa! Tabung bundar warna ijo di bawah kolong kan sudah berpamitan!
Bila kelak aku nggebros, maka … inilah akhir cerita.
Lagi-lagi persahabatan singkat dalam bilangan hari harus berakhir. Gas yang dikandung badan telah tunai tugas, menyisakan jejak putih dengan cetak mengabur bertuliskan hanya untuk masyarakat miskin. Tinggal menunggu waktu, sebelah tangan Mak Tum nyengkiwing menuju pangkalan gas di ujung kelokan kampung.
Ingin aku menggaruk badanku yang telah belang-bonteng di makan umur. Keropos di sana-sini, tumpahan minyak bekas ikan asin, angus soblukan yang setia membaluri, juga tai-tai kecoa yang kerap membuatku bergidik.
Duh! Aku jadi kangen gombal warna merah dengan potongan segitiga. Meski berbau tengik, tapi setidaknya ia pernah membuatku sejenak mengkilap.
Ya, sejenak. Hanya sejenak.
Bila kelak aku nggebros, maka … inilah akhir cerita.. Dengarkan untuk sejenak.
Aku kompor tua, yang belum merasa lelah, walau tubuhku bekeriut lirih ketika wajan Mak Tum mulai bergoyang di atas perapianku. Lelahku selalu berarti.
Aku kompor tua yang kehabisan gas. Telah genap tiga malam, dirundung sepi tanpa suara ‘ceték’ dan bara berwarna biru.
Kelak ketika kau membaca kisah ini, aku berada di akhir cerita..
Tertanda
Kompor tua.
Wulan, 05082021
1 comment
[…] Baca juga : Kompor Tua […]