“Lalu dengan tiba-tiba, ia telah meloncat surut dan melesat lebih cepat dibandingkan ketika mundur. Ternyata ia menyerang dengan cara yang berbeda. Sekelebat pedangnya menyambar dengan cepat mengarah ke tubuh saya.
“Pada saat saya menghindar, bayangan Ki Blarak Mukti datang menubruknya. Agung Sedayu sempat bergeser surut. Kemudian dalam waktu tak kurang dari sekejap mata, tubuhnya telah terbelah menjadi tiga. Salah satu darinya, dengan sekuat tenaga mencoba memukul lengan saya yang memegang tombak pendek. Saya masih dapat membebaskan diri dari serangan, tetapi belasan orang telah datang mengurungku dan Raden Andum dengan senjata yang datang seperti hujan.”
Perempuan itu menatap lurus wajah ayahnya yang mendengar penuh perhatian, ”Ayah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Sementara Ki Blarak Mukti telah terikat pada pertempuran melawan Ki Rangga Agung Sedayu, maka saya dan Raden Andum Pamuji terkepung rapat oleh prajurit Mataram.
“Dan seperti yang telah terjadi dan ayah saksikan, saya akhirnya harus menyerah ketika Ki Blarak roboh di tangan Agung Sedayu dan Raden Pamuji kehabisan darah oleh terjangan senjata prajurit Mataram.”
Orang tua itu bangkit dari tempat duduknya, Tubuhnya masih terlihat gagah, rambutnya yang putih dan kerut di pelipisnya seperti memberi gambaran tentang pahit getir kehidupan yang dialaminya. Kemudian lelaki itu berkata, ”Apakah Raden Andum dan Ki Blarak Mukti sempat mengatakan sesuatu kepadamu sebelum Ki Agung Sedayu dan prajuritnya menyerbu kalian?”
Anaknya mengangguk pelan. “Seuntai pesan sempat dikatakan Ki Blarak Mukti pada saya,” jawab perempuan muda yang kembali duduk di belakang ayahnya. Kemudian ia berkata , ”Raden Andum Pamuji terlalu percaya pada berita yang ia dengar dari pelayan istana. Bahkan ia menerima undangan untuk hadir dalam wisuda pelantikan para pegawai yang akan bertugas di Kepatihan. Tentu saja Raden Andum sudah memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi, tetapi ia tidak dapat menahan diri ketika mendapat kesempatan masuk menyelinap bagian dalam Kepatihan.”
Lelaki tua itu mengalihkan pembicaraan. Ia berdesis dalam hati, ”Aku tidak dapat mengikuti keinginan hati yang masih saja merasakan luka karena ulah Danang Sutawijaya. Mungkin ini saatnya untuk berdamai dengan masa lalu. Tetapi aku harus meyakinkan anak ini yang semenjak kecil telah aku ajarkan kebencian terhadap Mataram.”
Orang tua itu memegang pundak anaknya. Ia berkata lirih dan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, ”Semakin sering kita berpindah, kenangan ibumu semakin menjeratku.” Terdengar nafas panjang keluar dari dadanya. Ia melanjutkan kata-katanya lagi, ”Sejak aku menjadi prajurit di usia muda hingga diwisuda sebagai seorang lurah oleh Sultan Hadiwijaya, sekalipun aku belum merasakan ketenangan hidup di satu tempat yang tetap. Bahkan aku dan ibumu masih sering berpindah tempat ketika kau lahir.”
“Sudahlah, Ayah! Kita jangan bicara mengenai itu lagi,” sahut anaknya dengan lembut sambil memegang tangan ayahnya.
“Baiklah, aku tidak akan berbicara tentang ibumu. Tetapi aku meminta padamu melakukan satu hal,” kata ayahnya. Ia bergeser maju dan berdiri tegap di depan anaknya kemudian berkata, ”Aku ingin pekerjaan ini menjadi yang terakhir kalinya bagi kita.”
Sejenak keadaan menjadi hening sebelum lelaki itu bersuara, “Kita akan bergeser tempat setelah besok pagi kita telah mengetahui kepastian sikap Ki Bekel dan Ki Jagayabaya. Sementara itu aku ingin kau kembali menyisir jalan untuk membuka simpul yang belum sepenuhnya terbuka.
“Aku maksudkan itu agar kau dapat menjadi lebih baik jika harus kembali berhadapan dengan Agung Sedayu. Karena tiga bentuknya yang tampak olehmu itu memang wujud sebenarnya. Wujud itu bukan berupa bayangan yang tidak dapat disentuh. Jadi, apabila satu wujud telah kau sentuh maka wujud yang menjadi pengendali akan mempunyai celah yang dapat kau masuki.”
Mata anak perempuannya segera berbinar-binar dan wajahnya berubah cerah. Ia tidak menyangka jika ayahnya akan segera menuntaskan ilmu yang sedang ia pelajari. Ayahnya memberi nama Sekar Lembayung bagi ilmu yang telah ia kembangkan dari dasarnya.
Perempuan muda itu sendiri tidak tahu alasan ayahnya memberi nama Sekar Lembayung untuk ilmu yang luar biasa itu. Ilmu ini mempunyai sifat yang khusus karena jika ia mengarahkan tenaga ke satu arah, maka dari arah yang berlawanan akan keluar pula tenaga yang sama.