Ki Anjangsana merenung sejenak, lalu berkata, “Memang tidak mustahil bahwa ada sekelompok orang yang sedang mengintai dari tempat yang belum terjangkau kita, baik dari belakang atau atas tebing. Pengosongan yang mungkin akan meninggalkan kesan bahwa kita sedang bersembunyi.”
“Kurang lebih seperti itulah, Ki Lurah,” ucap Pangeran Selarong. “Ada yang perlu saya tambahkan, Ki Rangga Agung Sedayu telah mengamati lingkungan di depan kita. Ki Rangga telah berada di garis depan, untuk itu, saya minta dua pengamat untuk membantunya.”
Dua lurah Mataram itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa tugas Agung Sedayu bukan sekedar melakukan pengintaian atau pengamatan, tapi juga menghancurkan lawan bila memang diperlukan untuk mengamankan perjalanan Panembahan Hanykrawati. Ini adalah pencegahan yang sangat baik, pikir mereka berdua. Di depan mereka, bisa saja ada satu atau beberapa regu penyergap atau bisa juga segelintir orang tapi mempunyai kemampuan yang hebat.
Pangeran Selarong lantas memerintahkan Ki Baya Aji untuk memilih orang yang dinilai mumpuni dalam mendukung segala upaya Agung Sedayu. Dua orang pun terpilih. Tugas mereka akan menjadi cukup ringan apabila Agung Sedayu tidak kerepotan bila ada kekacauan di bagian depan. Namun, dalam sekejap, tugas mereka pun berubah sangat berat karena akan menjadi pelapis pertama bila ada serangan yang ditujukan ada Panembahan Hanykrawati. “Aku minta kalian berdua tidak semata-mata bertumpu pada kemampuan Ki Rangga walau ilmunya sangat tinggi serta jauh melampuai kita semua. Di tempat ini dan di semua tempat prajurit Mataram berada, kalian adalah satu tubuh, satu pertahanan dan juga satu kelompok penyerang. Kalian mempunyai kebebasan membuat keputusan tanpa perlu diketahui terlebih dulu oleh Ki Rangga. Jika kalian merasa perlu, lakukan sesuatu. Jika kalian terdesak, cepatlah mundur lalu mengambil kedudukan sebagai pelapis pertama. Kami akan menyanggah kalian dari belakang,” ucap Pangeran Selarong.
“Kami mengerti, Pangeran,” sahut dua prajurit yang sama-sama berpangkat lurah secara serempak.
Tak lama setelah mengurai kemungkinan-kemungkinan yang mungkin dapat berkembang, Pangeran Selarong membeber siasatnya di depan Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana.
Pesan Nasi Kotak di Surabaya? Klik untuk tempatnya.
Dalam waktu itu, para pendukung Raden Atmandaru yang sebelumnya siap untuk menyayat dalam lipatan dengan pisau beracun hanya dapat bermuka masam. Ilmu sirep mereka mendadak ambyar! Penguasaan atas ilmu olah kanuragan pun seolah-olah lenyap tanpa bekas. Mereka benar-benar seperti binatang yang tidak bertulang belakang sejak Panembahan Hanykrawati berkeliling mendatangi kelompok demi kelompok. Kabar bahwa Panembahan Hanykrawati pergi berburu dalam keadaan sakit seperti terbantah ketika mereka melihat penguasa Mataram itu berjalan seperti tanpa ada ganjalan. Mereka juga tidak mendapati tanda-tanda bahwa Panembahan Hanykrawati sedang berada di bawah pengobatan akibat racun yang ditebar oleh salah satu pembantu Raden Atmandaru. Tidak, semuanya seperti tidak ada kebenaran sama sekali, demikian yang mereka pikirkan.
“Memang benar jika demikian, “kata salah seorang pengikut Raden Atmandaru, Ki Sawala.
“Maksudmu?” sahut Guntara.
“Maksudku, tidak ada yang dapat dikatakan benar hingga kita memeriksa kesehatannya sendiri,” jawab Ki Sawala. “Kita mendapat laporan mengenai keadaan Mas Jolang sebelum ini, tapi lihatlah, orang itu sama sekali tidak menunjukkan keruntuhan daya tahan. Apakah mungkin petugas sandi kita terperangkap oleh berita-berita sesat yang sengaja dilontarkan orang Mataram? Ya, mereka mungkin bertujuan agar kita bersiap untuk sesuatu yang salah.”
“Ataukah kita yang tidak berkemampuan cukup? Ah, maksudku adalah kita pun tertipu oleh penampilan Mas Jolang saat ini,” kali ini Mardi yang berkata. “Apa arti ini semua bila kita ternyata begitu mudah dikelabui oleh Mataram? Ataukah kita yang terlalu kecil ketika mengambil tempat saat Raen Atmandaru memaparkan cita-cita dan rencananya?”
“Sudah terlambat bila kita akan mengambil jalan memutar. Usaha ini harus tetap dapat bergulir walau kita pada akhirnya menemui kegagalan,” ucap Ki Sawala. “Aku bukan pengecut yang ingin menyelamatkan diri meski akhirnya tidak berhasil meraih kedudukan sebagai adipati atau tumenggung. Aku sudah putuskan dengan segala akibatnya. Maka, jika kalian ingin melepaskan diri lalu mengakui semua kesalahan di depan Mas Jolang, lakukanlah. Lakukan dan jangan pernah ragu!”
Keheningan datang menyergap lalu memenuhi isi pikiran mereka ketika Pangeran Selarong mengumandangkan perintah melalui pemimpin regu. Mereka harus segera mengosongkan jalan lalu menyisir lereng dengan senyap. Maka perintah itu pun membuat anak buah Raden Atmandaru tidak bersuara lagi.
Sementara para pengikut Raden Atmandaru dicekam cemas, dua utusan Pangeran Selarong telah sampai pada mulut lembah. Mereka sengaja menampakkan diri sehingga mudah dilihat dari seluruh arah.
“Hari belum terlalu gelap, dan aku tidak banyak mengetahui tentang lingkungan ini,” kata seorang lurah yang bernama Ki Grobogan Sewu.
“Tapi kita saat menjadi prajurit pun tak harus menguasai sebuah lingkungan,” sahut temannya dengan senyum lebar. Orang ini bernama Ki Banyudana. “Kita tidak dapat membuat perkiraan bila ada serangan, dari mana ia muncul pertama kali?”
“Ki Lurah,“ kata Ki Grobogan Sewu, “kita berada di sini hanya untuk berdiri atau menjadi pancingan agar lawan yang sedang bersembunyi segera keluar menampakkan diri. Sepintas memang ini adalah siasat sederhana dan lawan pun tak mungkin mudah percaya bahwa kita menyediakan diri sebagai sasaran sukarela.”
“Benar, tapi untuk orang-orang yang ingin merengkuh kedudukan, pusaka atau harta, maka ini adalah kesempatan emas bagi mereka,” ucap Ki Banyudana.
Ki Grobogan Sewu menahan tawa. Ia merasa geli dengan kata-kata Ki Banyudana. “Benar, benar, Ki Lurah. Kita dapat dianggap sebagai pijakan mudah untuk merebut pusaka seperti Kyai Plered atau Sabukinten.” Hampir saja Ki Grobogan Sewu tergelak bila Ki Banyudana tidak cepat memberi tanda agar tetap tenang.
Benar yang diucapkan oleh Ki Grobogan Sewu bahwa mereka adalah sebaik-baik mangsa karena berdiri di tengah jalan dan tidak ada pelindung sama sekali. Puluhan anak panah dan belasan orang berkemampuan rendah sudah pasti dapat mengakhiri hidup dua lurah Mataram tersebut. Tapi, bagi seorang senapati yang bernalar sedikit tajam maka tidak ada arti sama sekali dengan kemenangan kecil seperti membunuh dua lurah prajurit itu. Mereka berpikir keadaan akan menjadi jauh lebih baik bila mampu menahan diri dengan tetap membiarkan mereka.
Demikianlah yang dipikirkan oleh Ki Sanden Merti yang berada pada jarak puluhan langkah dari Agung Sedayu. “Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana.. sudah barang tentu bukan mereka sendiri yang memerintahkan dua orang itu untuk berdiri saja tanpa rencana di balik itu,” kata Ki Sanden Merti pada dirinya sendiri. Seketika ia berpaling ke arah utara saat sudut matanya menangkap kelebat bayangan yang bergerak sangat cepat di balik semak-semak. Keningnya berkerut menduga-duga, apakah orang itu adalah lawan atau kawan?
Namun sebelum Ki Sanden Merti mendapatkan jawaban dari pikirannya sendiri, Ki Hariman tiba-tiba telah berada di dekatnya. “Ki Tumenggung, mengapa kau tidak mengulurkan tangan pada kelompok yang bertempur di dekatmu?”
Meski terperanjat karena kehadiran dan pertanyaan yang menusuk jantungnya, Ki Sanden Merti berkata, “Mereka tidak akan berhasil menang pada perkelahian itu. Aku mengenal Ki Anjangsana yang mempunyai kecakapan perang di atas rata-rata.” Ki Sanden Merti memandang Ki Hariman dari atas ke bawah, kemudian bertanya, “Jika dapat bertanya seperti itu padaku, apakah Kiai sudah mendapatkan jawaban dalam hati Kiai sendiri?”
Ki Hariman menahan tawa. Katanya, “Pertanyaanmu itu terdengar seperti ancaman anak-anak padaku. Aku bukan seorang prajurit dan bukan pula salah satu dari pasukan penggembira Raden Atmandaru. Aku mempunyai tujuan seperti pejantan yang berjuang meraih cita-cita. Itu adalah keadaan yang sudah tentu berbeda denganmu. Lihatlah dirimu, seorang tumenggung. Lalu, apa artinya? Tidak ada, tidak ada jabatan tumenggung bagiku.”
Ki Sanden Merti dapat mengekang diri walau mukanya berubah warna. Kaku dengan ketus ia berkata, “Siapa pun dirimu sekarang atau di masa mendatang, tunjukkan saja segala yang dapat kau lakukan untuk membuktikan dirimu seorang lelaki jantan. Aku akan dapat melihatnya, kelak.”
Ki Hariman pun menilai bahwa Ki Sanden Merti bukanlah seseorang yang mudah terpancing perasaannya meski mengucap kata-kata yang tidak sedap didengar. Ia berpikir kemudian, jika Ki Sanden Merti tetap berada di dalam keadaan seperti sekarang ini, maka dua orang yang berdiri agak jauh dari mereka dapat dibereskan. Meskipun demikian, keputusan Ki Sanden Merti untuk meninggalkan gelanggang itu dapat dipahami oleh Ki Hariman. Tentu ia juga mengincar sesuatu yang lebih besar daripada sekedar kemenangan yang bernilai kecil di atas tebing. Sependek anggapan yang dibuatnya, Ki Sanden Merti mungkin menginginkan sebuah pusaka atau tambahan wilayah. “Ah, biarlah. Orang itu bebas menentukan yang disukai dan diincarnya. Aku tidak boleh terpesona oleh cita-citanya,” bisik Ki Hariman dalam hatinya. Maka selanjutnya, Ki Hariman membiarkan dengan sikap dan tujuannya. Baginya yang terpenting adalah mengurangi kekuatan Panembahan Hanykrawati sebelum mencapai Alas Krapyak, lalu menghancurkan Perguruan Orang Bercambuk agar tidak lagi terusik oleh perburuan yang pasti akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Oleh karena itu, ia mengambil tempat di samping Ki Sanden Merti lalu bersama-sama melakukan pengintaian.
“Mereka berdua adalah orang yang tidak mengenal lingkungan ini,” ucap lirih Ki Sanden Merti.
“Itu bukan masalah besar buat kelompok mereka,” kata Ki Hariman. “Kekuatan Mataram terletak pada siasat dan kemampuan para prajurit melaksanakannya di pertempuran.”
Ki Sanden Merti mendengus. Ia sepertinya setuju dengan pendapat Ki Hariman tapi enggan mengungkapkannya. “Selama ini mereka belum juga keluar dari lembah, tapi aku kira mereka tidak akan gegabah berkemah di tempat yang tidak ada jalan keluar,” ucap Ki Sanden Merti sambil mengalihkan perhatian.
“Untuk itulah mereka berdua berjalan mendahului rombongan,” Ki Hariman berujar. Sejujurnya, ia ingin membuktikan kebenaran berita mengenai Agung Sedayu. Apakah senapati itu masih dalam perawatan atau tidak terjadi sesuatu padanya ketika terjadi benturan di Slumpring? Meski belum pernah melihat wajah atau bertemu dengan Agung Sedayu, tapi hidup Ki Hariman seperti tidak akan menemui ketenangan bila belum ada kepastian tentang kabar itu. Bahkan ia tidak ingin Ki Sanden Merti mengetahui bahwa ia masih asing dengan sosok yang bernama Agung Sedayu itu. Jadi, bila ada orang ketiga yang berada di tengah jalan maka ia tidak berkata-kata. Untuk menutupi ketidaktahuannya itu, Ki Hariman menyebut nama Agung Sedayu, katanya, “Apakah mereka berdua sedang menunggu Agung Sedayu? Atau menjadi penjaga bagi prajurit Mataram yang mungkin sedang merayakan kemenangan. Ini sungguh membosankan!”
“Agung Sedayu belum tampak kedatangannya. Apakah ia masih berada di barisan atau sudah berada di tempat ini? Aku tidak dapat menjawabnya dengan mudah,” kata Ki Sanden Merti lalu bersikap seakan tidak pernah mendengar ucapan terakhir Ki Hariman. Ki Sanden Merti tampak sungguh-sungguh dalam pengamatannya. Barangkali ada banyak lintasan-lintasan yang muncul dalam pikirannya. Hari menjelang gelap meski bayangan belum sepanjang ukuran asli benda. Namun segala sesuatu dapat menjadi sebab kegagalan bila ia ceroboh membuat gerakan.
Di tengah jalan, Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana sama-sama tidak dapat mengetahui keberadaan atau kehadiran orang dalam jumlah besar di sekitar tempat itu.
“Sepertinya tempat ini lebih aman walau sebenarnya penilaian ini tidak sepenuhnya benar,” kata Ki Banyudana.
Ki Grobogan Sewu mengangguk, lalu katanya, “Bisa jadi demikian. Maksud saya, Raden Atmandaru tidak menempatkan satu aatau sekelompok orang di sekitar mulut lembah.”
“Perlukah kita menjelajah barang sejenak sebelum membuat laporan kepada Pangeran Selarong?”
Ki Grobogan Sewu menggeleng. “Ki Rangga belum memberi tanda bahwa beliau berada di dekat kita. Marilah kita bersangka baik bahwa Ki Rangga sudah melihat yang tidak terjangkau oleh kita.”
“Ya, ya, ya.. Saya kira itu lebih baik karena kita tidak diperintahkan untuk memeriksa tapi menunggu Ki Rangga,” kata Ki Banyudana kemudian.
Tak jauh dari mereka namun berada di luar jangkauan mereka berempat, Agung Sedayu cermat mengamati keadaan dari waktu ke waktu. Agung Sedayu tidak merasa perlu melihat ke belakang karena Pangeran Selarong pasti sudah memerintahkan barisan agar bergerak menuju Alas Krapyak. Tapi hatinya diliputi keraguan karena masih ada beberapa orang yang ditengarai tidak mempunyai kesetiaan pada Panembahan Hanykrawati. “Apakah kekuatan mereka dapat menggerogoti barisan dari dalam?” Agung Sedayu bertanya dalam hati. Namun sejenak kemudian ia mendapatkan ketenangan karena ada dua orang yang dikenalnya sebagai lurah prajurit telah berada di dalam rencana. Ia bernapas lega karena itu berarti dua sayap penyergap Mataram berhasil memukul lawan-lawan mereka. Senapati agul-agul Mataram itu sudah mengetahui pula keberadaan orang keempat yang datang belakangan. Agaknya tidak ada jejak gemrisik yang dapat lepas dari tajam pendengaran Agung Sedayu. Di dalam pikirannya, suami Sekar Mirah itu menempatkan Panembahan Hanykrawati di bawah pengawalan ketat Pangeran Selarong. Bila demikian, itu sesuai dengan rencana sebelumnya bahwa Pangeran Selarong tidak boleh meninggalkan ayahnya walau selangkah pun. Maka Agung Sedayu pun menyiapkan diri menuju rencana selanjutnya.
Dari dua penyusup yang sudah pasti berseberangan dengannya, Agung Sedayu harus memberanikan diri untuk membuat keputusan. Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana sudah pasti akan saling melindungi bila kemampuan satu lawan berada di atas mereka. Mereka pun terkenal sebagai lurah yang mampu membuat pelatihan mandiri di barak masing-masing. Maka kemampuan tempur berkelompok pun sudah semestinya mereka kuasai.
Sambil menguatkan keyakinan, Agung Sedayu berkata pada dirinya sendiri sebelum beranjak, “Baiklah. Aku harus keluar permukaan.” Ia kemudian berjalan dengan tenang dan tanpa ragu menginjak ranting dan dedaunan kering hingga bersuara.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui :
- donasi melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto
- pembelian karya yang sudah berformat pdf.
- turut serta dalam kegiatan amal. Klik di sini.
Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan.
Terima kasih.