Arah selatan dari pergumulan Swandaru.
Ki Prayoga menjadi lawan tangguh bagi Agung Sedayu. Dan itu memang dirasakan oleh murid utama Kiai Gringsing. Betapa setiap peningkatan kemampuannya selalu dapat diimbangi dengan sempurna oleh Ki Prayoga. Setelah Ki Lurah Wira Sembada, maka Ki Prayoga adalah orang yang menguasai ilmu sejenis Kakang Kawah dalam tingkatan yang sama dengan Agung Sedayu.Setiap pukulan dan tendangan yang diterima oleh wujud semu akan membawa rasa nyeri pada wujud asli. Ketegangan dialami oleh Agung Sedayu dan Ki Prayoga. Udara panas meningkat tajam di sekeliling lingkar pertarungan keduanya. Pengerahan ilmu kebal oleh Agung Sedayu diimbangi oleh Ki Prayoga dengan menambah lapis tenaga inti. Dan akibat yang terjadi adalah dedaunan layu mengering, bunga-bunga liar tak jadi berkembang dan rumput kering mulai berasap. Alam sekitar mereka turut merasakan hati Agung Sedayu yang gelisah saat bunga api mulai terlihat membumbung di udara.
“Kebakaran dapat datang tanpa diundang,” khawatir Agung Sedayu berbisik dalam hatinya.Kobar gelisah dapat dirasakan oleh Ki Prayoga. Tandang Agung Sedayu tak lagi seketat sebelumnya. Bahkan Agung Sedayu cenderung menurunkan tekanan, ia lebih banyak menghindari benturan.
“Kembalilah ke Jatianom, Ki Rangga! Mungkin kakakmu dapat membesarkan hatimu yang mulai mengerut,” lantang Ki Prayoga seraya menambah kekuatan untuk menekan Agung Sedayu.
Datar Agung Sedayu menanggapi ucapan Ki Prayoga. Namun ia tidak lagi berkelahi dengan ketat. Sebaliknya, Agung Sedayu sedang menimbang keadaan dan kedudukan Swandaru yang berjarak puluhan langkah darinya.
“Ki Prayoga!” Tiba-tiba Agung Sedayu meloncat surut dan wujud semu menghilang. Tegak berdiri dengan kemegahan seorang rangga berkepandaian tinggi, Agung Sedayu tegas menggerakkan bibirnya, “Atas kepercayaan yang diembankan Panembahan Hanyakrawati dan keamanan Mataram, aku perintahkan kau untuk menyerah!”
“Aku bukan lelaki lemah seperti Ki Gede Menoreh!”
“Aku tidak memberi kesempatan kedua, Ki Prayoga!”
“Katakan apa saja yang kau inginkan, Agung Sedayu!” Ki Prayoga menggebrak pemimpin pasukan khusus Mataram dengan terjangan dahsyat.
Dua wujud semu mendadak keluar menyambar Agung Sedayu. Pertimbangan matang telah ada dalam benaknya, maka ia menyongsong serangan dengan sigap. Cambuknya terurai dan berputar-putar membungkus rapat tubuhnya. Satu pergeseran dilakukan olehnya, kini tidak ada lagi ilmu kebal yang melapisi Agung Sedayu.
“Agung Sedayu,” ucap Pangeran Benawa suatu ketika, “tidak selamanya kau dapat bergantung pada ilmu kebal yang melekat pada dirimu. Saat kau mempunyai keyakinan bahwa senjata dan kecepatanmu dapat menjadi pertahanan yang tangguh, kau dapat mengubah segala daya penyebab kebal menjadi sebuah tenaga.”
“Sesuai petunjuk Anda, Pangeran,” kata Agung Sedayu dengan wajah tunduk. Saat itu, ia duduk berhadapan dengan Pangeran Benawa yang baru saja melakukan lawatan dari Mataram sebelum kembali menuju Pajang. Lantas Pangeran Benawa memberi arahan dan petunjuk untuk mengalihkan daya kebal menjadi bagian tenaga inti. Wawasan luas Pangeran Benawa menunjang Agung Sedayu mengenali simpul-simpul ilmu kebal lantas mengurainya sebelum meleburnya dengan tenaga inti. Dengan cara luar biasa dan telaten, Pangeran Benawa menuntun Agung Sedayu untuk perlahan-lahan dapat mengendalikan ilmu kebalnya. Di sela kesibukan usaha keras itu, Agung Sedayu memberanikan diri untuk melepas ganjalan dalam hatinya pada Pangeran Benawa.
“Ampun, Pangeran.”
“Kau tentu akan bertanya. Nah, ungkapkan agar segala sesuatu dapat menjadi terang benderang.”
Meski ia adalah pemimpin pasukan khusus dan telah mencapai lapis tinggi olah kanuragan, Agung Sedayu adalah adik Untara yang pemalu. Ia tidak dapat menyembunyikan rona merah pada wajahnya.
“Saya menunggu penjelasan Pangeran. Saya kira itu akan lebih baik.”
Pangeran Benawa tersenyum, lalu, ” Unsur gerakan Perguruan Orang Bercambuk berawal dari masa yang sama dengan dasar ilmuku. Aku berguru pada Eyang Buyut Ki Kebo Kenanga. Dan Kiai Gringsing berguru pada kakeknya, Pangeran Handayaningrat, pendiri Perguruan Windujati. Kedua orang sepuh yang tidak pernah saling bertemu itu mempunyai akar yang sama, ilmu yang berkembang di masa Kesultanan Demak. Karena itulah, aku dapat menduga susunan gerak yang kau kuasai meski telah banyak melebur dengan ilmu dari ayahmu, Ki Sadewa. Lontaran tenaga inti yang keluar dari ujung cambukmu dapat aku kenali. Aku mempunyai getar tenaga inti yang nyaris sama denganmu. Meski harus melewati banyak kesulitan untuk mengenali, namun aku telah sampai pada titik persamaan itu. Bahkan, kau mempunyai ilmu kebal dengan sumber yang sama denganku. Aku mendalaminya, Agung Sedayu. Dan sekarang, aku memintamu untuk mempelajarinya. Tak lain dan tidak ada tujuan yang berbeda yaitu, agar kau dapat mencapai puncak tertinggi pengerahan tenaga inti. Suatu hari, kau akan membutuhkannya.”