Lurah prajurit bergegas menyusur jalanan menurun di sisi sungai. Satu kelompok lain turut di belakangnya. Di dekat pohon sawo, ia memberi perintah untuk menyebar. Namun sebelum mereka bergerak, lurah berpesan, “Kalian jangan terpancing untuk menyerang terlebih dahulu. Kita belum mengetahui ketinggian ilmu mereka. Bertahan dan mengulur waktu harus dapat kalian lakukan. Mengerti?”Bawahannya mengangguk.
Mereka segera berpisah.
Lurah prajurit telah memberi petunjuk tempat pencarian dan lokasi yang dipilih untuk bertempur. Dan selanjutnya mereka hanya menunggu pergerakan dari orang-orang yang dicurigai.
Sementara itu, Ki Tunggul Pitu menggeram marah. Ia tak menduga bahwa satu kelompok prajurit Mataram benar-benar akan memperlambatnya. Ia berpikir bahwa para peronda hanya memeriksa lalu meninggalkan tempat itu.”Berkelahi dengan para prajurit belum tentu akan memberiku keuntungan, apalagi jika orang sial itu berpihak pada mereka. Baiklah, aku lihat apa yang akan terjadi,” Ki Tunggul Pitu berbicara pada dirinya sendiri.
” <em>Gandrik</em>!” umpat Ki Hariman. “Kitab ini akan lepas dari tanganku bila Ki Tunggul Pitu mengalihkan dukungan ke Mataram. Ini tidak dapat dibiarkan. Aku harus memikirkan cara agar lepas dari kemelut ini.” Ia telah mengenal daerah dekat sungai meski tak begitu baik. Ki Hariman menimbang kemungkinan untuk meloloskan diri dari pengamatan peronda Mataram, ketika itu, peronda Mataram semakin merasuk ke bagian yang dapat dianggap sebagai pertengahan dari tiga persembunyian yang berbeda.
Lurah prajurit yang digelari anak buahnya sebagai Ki Panuju benar-benar cermat menyusun perhitungan. Ia dapat menduga kedudukan orang-orang yang dicurigainya, maka ia memutuskan untuk menunggu tepat di bekas lingkar pertarungan yang tidak seimbang.
“Aku menyerahkan diri padamu, Ki Lurah!” seru Ki Garu Wesi yang tiba-tiba keluar dari persembunyiannya. Ia berjalan mendekati Ki Panuju dengan kedua tangan di belakang kepala. Sebenarnya, bila ia mau maka beberapa gelintir peronda itu dapat ia hempaskan tanpa banyak kesulitan. Tetapi Ki Garu Wesi telah mengukur jarak mereka dari barak prajurit Mataram. Ia tidak ingin gegabah dengan membangunkan Ki Tumenggung Untara. Satu kecerobohan pada akhirnya akan membuat keadaan sulit bagi kehadiran Raden Atmandaru dan pengikutnya. Kehadiran Ki Garu Wesi seolah diabaikan oleh dua orang sekutunya. Sebagai orang yang memang jarang tampil di depan khalayak, Ki Garu Wesi mempunyai rencana yang tidak terduga dan petang itu menjadi satu pembuktian darinya. Dengan menyerahkan diri pada Ki Tumenggung Untara, Ki Garu Wesi berharap dapat mengamati keadaan di dalam barak. Ia sadar bahwa ia sedang bertaruh nyawa. Namun, Ki Garu Wesi mempunyai kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuannya menyesuaikan diri.
Peronda Mataram merundukkan senjata saat Ki Garu Wesi keluar dari persembunyian. Ki Panuju, dengan wawasan dan pengalamannya, berbisik pada prajuritnya, “Tahan senjata! Jangan percaya dengan apa yang tampak oleh mata!”
Ki Garu Wesi menurunkan satu tangannya dan mengulurkan senjatanya namun Ki Panuju tegas berkata, “Berhenti! Tetaplah senjata itu bersamamu, Ki Sanak!”
Tanpa membantah, Ki Garu Wesi menuruti perintah Ki Panuju.
“Berbaliklah dan berlutut!” perintah Ki Panuju.
Ki Garu Wesi kali ini tidak segera tunduk pada ucapan pemimpin kelompok peronda. Bahkan ia menahan geram. “Ki Lurah! Kau dapat mengambil kantung yang tergantung pada ikat pinggangku tapi jangan pernah menyuruhku untuk berlutut!” tukas Ki Garu Wesi.
“Kau berhadapan dengan prajurit Mataram, Ki Sanak!” tegas Ki Panuju.
“Aku mengerti. Sekalipun ia adalah Panembahan Hanykrawati, ia juga mempunyai kebutuhan,” sahut Ki Garu Wesi, “Nah, sekarang kantung ini dapat menjadi milikmu. Kau dapat membeli sawah tiga kali lebih luas dari seorang demang.”
Ki Panuju dengan tatap mata yang menyayat lalu bergeser setapak ke samping. Ia berkata pada dua prajurit di sebelahnya, “Hantam kedua lututnya dengan keras!”
“Apakah aku sedang bicara dengan sekumpulan orang Mataram yang gila?” tanya Ki Garu Wesi dalam hatinya. “Lurah sial!” tukas Ki Garu Wesi sambil melangkah mundur. “Aku tidak takut pada kalian. Bahkan aku dapat menghabisi kalian tanpa senjata.”
“Siapa yang meragukanmu, Ki Sanak? Kau memasuki wilayah kami dan kau berkelahi meski aku tidak melihat lawanmu, tetapi aku tahu!” Ki Panuju masih terlihat tenang meski nada suaranya menjadi tinggi.