Dalam waktu itu, Ki Malawi bergerak seolah lebih cepat dari putaran bumi maka dengan begitu setiap kelebatnya menjadi sangat berbahaya. Namun pengalaman Empu Wisanata masih memadai untuk menjaga keseimbangan, dengan demikian perkelahian semakin mencekam dan sulit diduga perkembangannya.
Timpa cahaya yang tersisa pada ambang senja pada ikat pinggang Ki Malawi menjadikan Empu Wisanata semakin berhati-hati. Seleret sinar tampak memantul dari bagian depan sepanjang ikat pinggang orang suruhan Panembahan Tanpa Bayangan ini.
“Apa yang sebenarnya menjangkiti orang ini?” nada tanya muncul dalam benak Empu Wisanata. Ia memandang bahwa sebenarnya tidak perlu seseorang membekali diri dengan sederet senjata yang sengaja disembunyikan. Tetapi ia segera menghalau pertanyaan itu sejauh-jauhnya dari jalur pikirannya. Maka Empu Wisanata pun mengubah tata geraknya namun masih dalam tataran kecepatan yang sama.
Empu Wisanata mengambil kesempatan untuk menyerang lebih dahulu, ia melihat Ki Malawi seperti terpaku dalam kebimbangan maka satu loncatan panjangnya datang membawa bahaya bagi Ki Malawi. Empu Wisanata mendesaknya dengan melontarkan pukulan-pukulan yang mengarah ke bagian tubuh yang penting, meski telah gerakan lelaki tua ini tidak begitu cepat namun ia mampu menempatkan diri sangat baik. Kedua kaki Empu WIsanata pun tak kalah gesit dalam melancarkan serangan-serangan yang dapat mematahkan pinggang Ki Malawi.
Ki Malawi terkesiap, ia bergeser surut sambil menata berusaha menata ulang keseimbangan perkelahian yang kini berada dlaam kendali musuhnya. Tanpa berpikir lebih lama, Ki Malawi meraih senjata yang tergantung pada ikat pinggang lalu melontarkannya ke arah Empu Wisanata.
Ketangkasan Empu Wisanata memang patut mendapat pujian. Ia tidak bergerak secepat musuhnya. Namun setiap kali kakinya bergeser, maka itu seolah menjadi tameng bagi upaya Ki Malawi yang tengah berusaha keras membalikkan keadaaan. Seluruh senjata yang ia lemparkan hanya mampu mencapai tanah kosong, bahkan dua kali Empu Wisanata mampu menjepitnya lalu melontar balik ke dada lawannya.
Menyadari tidak ada celah untuk mencari tempat sebagai pijakan untuk mengubah keadaan, Ki Malawi meningkatkan tenaga inti yang kemudian memancarkan udara dingin di sekitarnya. Setiap gerakan Ki Malawi mulai meninggalkan desir angin yang cukup dingin, lambat laun lingkar perkelahian mereka telah berubah menjadi gelanggang yang tepat untuk meremukkan tulang.
Para pengawal Menoreh yang berada di sekitar lingkar perkelahian Empu Wisanata dan Ki Malawi bergeser menjauh. Udara dingin terasa menyakitkan bagi mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi. Kulit mereka begitu perih dan tulang-tulang mereka terjalari rasa linu yang luar biasa.
“Kita menjauh,” ajak salah seorang pengawal yang dijawab dengan pergeseran tapak kaki teman-temannya.
Empu Wisanata tampak begitu tenang. Ia menghentak tenaga inti untuk melapisi daya tahan tubuhnya dari serangan udara dingin yang memancar keluar dari Ki Malawi. Dalam waktu bersamaan, Emu Wisanata pun menambah kecepatan serangannya. Kini ia berusaha mendesak musuhnya lebih dahsyat. Tekanan demi tekanan dilakukan olehnya. Gerakan Empu Wisanata semakin cepat, tangan dan kedua kakinya masih leluasa bergerak seolah tidak terhalang oleh udara yang semakin dingin.
Asap putih kemudian tampak mengikuti aliran tubuh Ki Malawi yang tak kalah dahsyat bergerak dengan kecepatan yang sulit ditangkap mata biasa. Tanah di bawah kaki mereka berdua pun beralih warna. Butiran debu berwarna putih terlihat saat terbentur sisa cahaya senja.
“Sangat hebat!” decak gumam Empu Wisanata. Ia mengagumi kemampuan Ki Malawi yang masih terus menerus bergerak cepat untuk mengimbanginya, namun sama sekali tidak mengurangi tekanan yang ia keluarkan melalui udara dingin. Angin dingin yang tanpa henti melindas Empu Wisanata akhirnya mampu menggapai kulit bekas pengikut Ki Saba Lintang ini. Permukaan kulit Empu Wisanata pun didera rasa nyeri luar biasa meskipun ia telah menambah ketahanan dengan penguatan tenaga cadangan.
1 comment
Membosankan…. capek bacanya