Sementara itu beberapa ratus tombak di sebelah barat alun-alun, kedua petugas sandi yang baru datang dari Mataram telah melakukan pengamatan di lingkungan mereka. Mereka menyewa rumah itu dari seorang penduduk selama beberapa bulan. Keduanya mengaku berasal dari Pegunungan Sewu dan sedang menjajagi kemungkinan untuk berdagang di Panaraga. Sejenak kemudian, Madyasta datang memasuki regol halaman dan mengangguk hormat.
“Malam nanti kita akan bertemu dengan Ki Glagah Putih,” kata Madyasta kepada kedua kawannya.
“Bagus. Semakin cepat kita bertemu dengannya semakin bagus. Karena Ki Patih Mandaraka sendiri sedang menunggu laporan dari kita semua,” kata orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban.
“Aku senang dapat bekerja sama lagi dengannya,” kata orang satunya yang bertubuh sedang dan beralis tebal.
“Apakah ki sanak sudah pernah bekerja sama dengan Ki Glagah Putih?” bertanya Madyasta.
“Belum,” kata orang beralis tebal itu lalu” tetapi aku telah mendengar darinya jika ia senang jika bertemu dengan Ki Glagah Putih,” katanya dengan jempol kanan menunjuk ke orang yang berada di sebelahnya.
“Oh,” tersenyum Ki Madyasta sambil menganggukkan kepala dan menatap wajah orang beruban itu.
Sesaat setelah senja, Ki Madyasta keluar meninggalkan regol halaman rumah dan menuju ke alun-alun. Ia telah menetapkan tempat pertemuan di sebuah pohon beringin sebelah timur alun-alun. Pada waktu yang hampir bersamaan, Glagah Putih melangkahkan kaki menuju ke tempat yang telah ditentukan oleh Ki Madyasta. Sedangkan Rara Wulan tetap berada di rumah menemani Nyi Kantil. Lampu-lampu minyak yang berada di sekeliling alun-alun telah dinyalakan. Dalam pada itu, Ki Madyasta ternyata telah tiba terlebih dahulu di dekat dinding batu yang berjarak beberapa tombak dari gardu jaga rumah Mas Panji Wangsadrana. Ia bergegas menghampiri Glagah Putih yang berjalan melintas di seberang jalan yang berada di depannya.
“Semoga mereka telah siap di tempatnya,” berkata Ki Madyasta.
“Aku harap begitu. Siapakah kedua petugas sandi yang dikirim oleh Ki Patih?” bertanya Glagah Putih.
“Ki Ajar Gurawa dan Ki Sembada. Apakah kau mengenal keduanya?”
“Ki Ajar Gurawa. Aku mengenalnya dengan baik. Siapakah Ki Sembada?”
“Terakhir aku bertemu dengannya ketika ia masih menjadi Lurah Prajurit di Pegunungan Sewu. Ia seorang teman baik Ki Demang Selagilang. Aku mendengar keduanya turut dalam pertempuran di Madiun.”
“Ya. Ki Demang Selagilang berada di kelompok yang sama dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Aku pernah bertemu dengannya ketika di Madiun.”
“Luar biasa! Semuda dirimu telah terjun dalam banyak pertempuran.”
“Ah itu memang sudah menjadi kewajiban.” Ki Madyasta tersenyum kecil karena jawaban Glagah Putih yang merendah. KI Madyasta menduga Glagah Putih yang rendah hati itu merupakan pengaruh dari Agung Sedayu yang juga seorang guru bagi Glagah Putih.
Ki Madyasta menunjuk ke seorang penjual wedang ronde dan jahe di sebelah pohon beringin. Sedikit ke kanan tampak seseorang sedang duduk di atas rumput sambil menikmati minuman hangat.
“Tolong buatkan kami dua mangkok wedang ronde, ki sanak,” berkata KI Madyasta ketika berhadapan dengan penjual minuman itu.
“Baik ki sanak,” kata penjual wedang ronde sambil mengangguk hormat ke arah Glagah Putih.
“Ki Ajar Gurawa,” desis Glagah Putih dengan kepala tergeleng-geleng melihat penyamaran Ki Ajar Gurawa.
Seraya menyodorkan mangkuk ke Madyasta dan Glagah Putih, berkata Ki Ajar Gurawa setengah berbisik,”aku mendengar Pangeran Jayaraga sedang mempersiapkan sebuah kesatuan prajurit seperti pasukan Ki Rangga Agung Sedayu.” Madyasta dan Glagah Putih saling berpandangan namun keduanya tidak berkata apapun meski sudah mengetahui gerakan Pangeran Jayaraga.
Kemudian Ki Ajar Gurawa melanjutkan,“ ketika aku mendengar itu, maka aku dan Ki Sembada berusaha untuk mencari tahu barak pasukan khusus yang baru saja dibentuk.” Ia berhenti sejenak ketika melihat bayangan orang mendekat ke tempat mereka. Tiba-tiba,” jadi kalian tidak percaya jika aku katakan aku telah melihat seekor kerbau dewasa digendong oleh petani?” Ki Ajar Gurawa terbahak-bahak dengan memegang perutnya. Ketiga kawannya mengerutkan kening melihat sikap Ki Ajar Gurawa, sejenak kemudian ketiganya pun tertawa cukup keras.
“Lalu apakah petani tadi meminta tolong pada ki sanak?” bertanya Glagah Putih.
“Tidak. Dia justru berkata padaku bahwa lenguhan kerbaunya terdengar seperti mengatakan jika ia lupa jalan pulang ke kandang,” berkata Ki Ajar Gurawa dan orang-orang tertawa terbahak-bahak.
“Agakanya mereka bukan orang-orang yang mencurigakan” bisik orang yang mendekati empat orang dari Mataram.
“Sepertinya aku pernah melihat orang yang memakai gelang kayu di lengan kanannya,” kata temannya.
“Dekatilah mereka,” orang pertama berkata.
“Jangan. Jika ia juga mengenalimu tentu akan dapat mengundang keramaian di sini. Sedangkan tugas kita adalah mengamati apapun yang mencurigakan. Tentu pengenalannya terhadapmu akan membuka penyamaran kita sekarang,” kata orang yang berpakaian seorang prajurit mencegah rencana orang pertama.
“Benar katamu itu.”
“Sekarang kita berkisar sedikit agak jauh supaya mereka tidak mencurigai kita,” kata orang yang mengaku mengenali Ki Madyasta.
Sebenarnyalah Pangeran Ranapati telah memerintahkan petugas sandi Panaraga untuk mengamati keadaan yang mulai terlihat memburuk bagi kepentingannya. Beberapa pengikutnya yang ditempatkan di luar kadipaten telah memberi laporan jika orang-orang yang agaknya bukan orang Panaraga mulai memasuki kadipaten. Untuk itulah ia merasa perlu meningkatkan kesiagaan untuk melindungi kepentingannya.
Setelah beberapa lama, para petugas sandi itu meninggalkan Glagah Putih dan kawan-kawannya. Mereka berpendapat jika sekumpulan orang di sekitar penjual ronde bukanlah orang yang dapat dicurigai.
Demikian orang-orang Panaraga menjauh, Ki Sembada berkata,”kita bertemu besok pagi wayah pasar temawon.” Ki Sembada pun memberi petunjuk rumah yang ditempatinya berdua dengan Ki Ajar Gurawa.
Ketiga kawannya segera menyetujui rencana Ki Sembada kemudian mereka saling meminta diri dan berpisah.
Jalanan di Panaraga mulai dipenuhi banyak orang berlalu lalang. Pasar-pasar juga ramai didatangi pedagang dengan macam-macam barang dagangan. Tampak dua anak muda dengan dua ikat kayu bakar dihadapannya sedang menebar pandangan. Sesekali mereka berbicara satu sama lain. Kemudian mereka bergeser beberapa langkah di dekat sebuah kedai nasi megana. Agaknya mereka tertarik dengan beberapa orang yang membawa senjata memasuki kedai tersebut.
“Paripih, kau lihat sekelompok orang itu?” bertanya Lenggana sambil menggerakkan kepala ke arah yang dimaksudkan.
“Iya kakang. Aku melihatnya. Apakah kita akan memasuki kedai itu?”
“Tidak. Kita berpindah tempat. Kita lihat keadaan dulu,” kata Lenggana kemudian bangkit berdiri dan memikul kayu bakar mendekati kedai diikuti oleh adiknya.
Sejenak kemudian mereka berada tiga empat langkah dari dinding kedai. Lenggana melihat sekilas ke dalam kedai. Agar tidak menarik perhatian pemilik kedai, Lenggana pun segera duduk lebih dekat ke dinding. Pendengarannya dengan jelas mendengar percakapan beberapa orang. Agaknya orang-orang bersenjata itu memilih tempat duduk dekat jendela, dengan demikian kedua murid Ki Ajar Gurawa merasa tidak perlu memasuki kedai.
“Pangeran Jayaraga agaknya setuju dengan kakang Mas Panji. Aku dengar Eyang Kalayudha akan tiba di barak dalam sepekan ini,” kata seseorang bertubuh agak gemuk.
“Benarkah begitu?” tanya kawannya yang memakai baju lurik hitam.
“Aku mendengarnya dari kawanku yang bekerja sebagai Pelayan Dalam,” kata orang bertubuh gemuk. Lalu ia melanjutkan,”Kemudian kata kawanku itu, Eyang Kalayudha akan mengajarkan satu dua ilmu kanuragan dan gelar perang yang secara khusus telah ia kembangkan.”
“Sudahlah. Lebih baik kita tidak berbicara itu disini. Siapa tahu diantara pengunjung ini ada petugas sandi Mataram,” kata seseorang diantara mereka. Mereka terdiam sesaat, lalu pandangan mereka segera memperhatikan suasana di dalam kedai. Lalu mereka saling berpandangan dan menyetujui usulan seorang kawannya.
Lenggana yang mendengarnya dari luar tidak berani bergeser tempat duduknya. Ia menjaga diri dari kemungkinan pendengaran orang-orang bersenjata itu akan mengtahui keberadaanya. Lalu katanya dengan nada sedikit keras,” orang-orang yang melewati jalan ini agaknya tidak butuh kayu bakar. Marilah kita pergi di bagian timur pasar.”
Suara Lenggana menarik perhatian orang-orang bersenjata di balik dinding.
“Hei, pergilah kalian. Bau kalian tercium disini. Enyahlah dari sini!” kata orang bertubuh gemuk dengan kepala menjenguk keluar jendela.
“Baik ki sanak. Kami pergi sekarang,” berkata Lenggana. Kemudian Paripih bangkit dan melangkahkan kaki bersama kakaknya ke pintu timur pasar.
“Kakang, kita laporkan ini pada guru.”
“Betul. Guru harus mengetahui perkembangan ini. Kita tinggalkan pasar ini setelah lewat tengah hari.”
“Baik kakang.”
Sementara Rara Wulan masih belum meninggalkan rumah karena menunggu kedatangan utusan Ki Darma Tanda mengenai Nyi Kantil, Glagah Putih menemuinya di gandok kiri untuk meminta diri. Sejenak kemudian, Glagah Putih bersama Ki Madyasta telah melangkah keluar regol halaman menuju rumah Ki Ajar Gurawa.
Ki Ajar Gurawa dan Ki Sembada segera bangkit dari lincak bambu menyambut kedatangan Glagah Putih dan Madyasta.
“Marilah. Kita bicara di ruang dalam,” berkata Ki Ajar Gurawa sambil mempersilahkan kedua tamunya untuk masuk ke dalam rumah. Ki Sembada segera ke dapur untuk mempersiapkan hidangan kecil sebagai jamuan. Tak berapa lama, Ki Sembada telah menyajikan wedang jahe dan ketela rebus. Ia berkata,” marilah mencicipi makanan yang kebetulan pelayan rumah juga menjadi tuan rumah.” Mereka yang berada di dekatnya tertawa kecil kemudian menikmati hidangan yang baru tersaji.
“Sebenarnyalah aku melihat ada peningkatan pengawasan dari Panaraga bagi mereka yang keluar masuk kadipaten. Dengan Ki Sembada, aku melihat beberapa pedati yang keluar dinding perbatasan telah diberi tanda tertentu. Dan ada juga yang diperintahkan untuk kembali ke kadipaten,” berkata Ki Ajar Gurawa mengawali percakapan.
“Apakah mungkin itu terjadi dengan sepengetahuan Pangeran Jayaraga?” bertanya Glagah Putih sambil menoleh ke Madyasta.
“Kita tidak bisa gegabah menyangka Pangeran Jayaraga telah membatasi kegiatan perdagangan. Akan tetapi, kita dapat memperkirakan kejadian itu,” berkata Ki Madyasta.
“Apakah Ki Madyasta sudah mendapat keadaan di dalam istana kadipaten?” bertanya Ki Ajar Gurawa.
“Belum. Aku masih belum dapat membuka hubungan dengan orang bagian dalam.”
“Ki Ajar Gurawa. Aku telah menyelidiki istana Pangeran Jayaraga dari sebelah luar,” berkata Glagah Putih.
“Lalu?” Ki Ajar terdiam sejenak, lalu ia bertanya balik pada Glagah Putih,” apakah kau ingin menyusup ke dalam?”
Ki Sembada dan Ki Madyasta berpaling ke arah Glagah Putih. Dengan menarik nafas dalam-dalam, Glagah Putih berkata,” aku kira itu adalah jalan terakhir. Kita mulai melihat dan mendengar keluh kesah beberapa pedagang yang dimintai pajak lebih tinggi. Di pedukuhan-pedukuhan kita juga mendengarnya melalui orang-orang yang berjalan di sekitar kita. Agaknya daerah perbatasan sendiri telah mendapatkan perhatian dari Panaraga. Keadaan ini akan menyulitkan kita untuk menyusup keluar.”
“Lalu, apakah dengan menyusup ke dalam istana dapat menjadi jaminan bertemu dengan Pangeran Jayaraga? Kemudian apa yang akan kita laporkan? Ingat Glagah Putih, kita bukan siapa-siapa di kadipaten ini,” berkata Ki Ajar Gurawa dengan menatap lurus Glagah Putih.
Glagah Putih terdiam dan bibirnya terkatup rapat. Kedua telunjuknya menyentuh kening dan kepalanya tertunduk. Ia menjadi khawatir tugasnya mengamati Pangeran Ranapati menjadi gagal. Beberapa waktu lamanya orang-orang di rumah itu berdiam diri. Tidak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan Ki Ajar Gurawa. Ki Madyasta merenungi kegagalannya untuk memperoleh alasan keengganan orang yang menjadi penghubung istana kadipaten. Terasalah bagi empat petugas Mataram ini mendung menggelayut tebal diatas mereka. Selain orang-orang Panaraga yang mulai menutup diri, juga karena Pangeran Ranapati telah menggalang kekuatan secara diam-diam. Glagah Putih dan Ki Madyasta merasakan keadaan menjadi sulit tatkala Pangeran Ranapati diwisuda sebagai senapati.
Sejenak kemudian terdengar derap kaki mendekati pintu depan. Empat orang itu saling berpandangan. Lalu terdengar suara ketukan pada pintu dengan irama tertentu.
“Lenggana dan Paripih,” desis Ki Ajar Gurawa.
“Siapakah mereka kiai?” bertanya Ki Madyasta.
“Mereka adalah murid-muridku.”
Glagah Putih yang berada lebih dekat dengan pintu segera bangkit dan membukanya.
Terkejut Lenggana dan Paripih melihat sosok yang berdiri di hadapannya.
“Glagah Putih,” desis mereka bersamaan.
Glagah Putih tersenyum sambil menganggukkan kepala. Lalu ia mempersilahkan kedua murid Ki Ajar untuk segera masuk.
Setelah berbicara ringan tentang keadaan hari itu, Lenggana berkata,” satu kabar mengejutkan, guru.”
“Katakanlah. Selain Glagah Putih, mereka semua adalah petugas Mataram,” kata Ki Ajar.
Lenggana lantas bercerita segala yang ia lihat dan ia dengar selama berada di pasar. Empat orang yang mendengarnya terlihat seksama dan sesekali mengerutkan kening. Keadaan yang dijelaskan oleh Lenggana telah melampaui batas perkiraan empat orang dari Mataram.
“Beberapa pande besi, yang aku jumpai di sebelah timur pasar, berterus terang mengatakan telah mendapat pesanan puluhan pedang dan mata tombak,” kata Paripih.
“Apakah kau juga bertanya tentang pemesannya?” bertanya Ki Ajar.
“Ya, guru. Mereka hanya mengatakan senapati yang baru akan mengganti semua senjata yang telah ada,” jawab Paripih.
“Apakah mereka menyebut nama senapati itu?” tanya Ki Ajar sambil menatap lurus kepada muridnya.
“Tidak, guru,” jawab Lenggana.
Mereka bertukar pandangan satu sama lain. Sebenarnyalah kegiatan menyusun kekuatan di Panaraga semakin meningkat, akan tetapi empat petugas Mataram belum dapat menarik kesimpulan apapun. Karena para prajurit yang menggelar latihan terbuka di pategalan, alun-alun dan setiap lorong jalan adalah suatu kewajaran untuk mempertahankan semangat kesatuan. Dengan Pangeran Ranapati sebagai senapati utama, Panaraga kini seakan-akan berubah menjadi pemangsa yang siap menerkam Mataram setiap saat.
Glagah Putih menyadari kekurangan kelompoknya meski empat petugas sandi Mataram telah dibantu dua murid Ki Ajar.
Wilayah Kadipaten Panaraga yang luas dan meningkatnya kegiatan para prajurit serta pengikut Pangeran Ranapati, telah menempatkan mereka dalam situasi sulit.
“Kita sepenuhnya menyadari jumlah orang kita tidak bisa mengamati keadaan secara keseluruhan. Agaknya kita harus segera berbagi tugas, Ki Ajar” berkata Glagah Putih.
“Apa rencanamu?” Ki Madyasta menatap wajah Glagah Putih.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia berkata,” aku dan Ki Ajar akan memasuki istana kadipaten.”
Terhenyak mereka yang mendengarnya. Betapa Glagah Putih tidak merubah rencana untuk menyusup ke dalam istana kadipaten.
Lalu ia melanjutkan,” kami akan memasukinya dan hanya mempelajari situasi di dalam istana. Kemudian Lenggana dan Paripih tetap bergerak di sekitar pasar namun lebih dekat ke para pande besi. Sedangkan Ki Madyasta dan Ki Sembada dapat mengamati jalur utama keluar masuk kadipaten.”
“Bagaimana dengan Nyi Rara Wulan?” Ki Madyasta bertanya.
“Sambil menunggu kejelasan dari Ki Darma Tanda, biarlah ia berdiam dulu untuk sementara di dalam rumah,” berkata Glagah Putih.
“Baiklah. Nyi Rara Wulan akan segera menggantikan tugas Ki Ajar Gurawa. Selanjutnya Ki Ajar dapat menyertai kedua muridnya, dan itu mungkin akan dapat membawa kita lebih jauh ke dalam,” Ki Sembada mengusulkan.
Serentak orang-orang menyatakan setuju. Lalu mereka membahas rencana lebih mendalam hingga waktu telah mendekati senja. Setelah mereka mencukupkan diri dengan rincian rencana yang disusun, Glagah Putih dan Ki Madyasta segera bangkit dan meminta diri. Agaknya mereka sedang menunggu keadaan menjadi lebih gelap sehingga tidak banyak berjumpa dengan orang berlalu lalang. Dan sejenak kemudian mereka menyusuri jalanan yang mulai lengang.
Dalam pada itu, di rumah Ki Madyasta, Nyi Kantil hampir tidak dapat menahan diri karena terkungkung dalam kegelisahan.
“Nyi, berapa lama lagi aku dapat keluar dari rumah ini? Aku hampir tidak tahan lagi jika terus menerus berada di dalam rumah,” bertanya Nyi Kantil.
“Nyi Kantil, tetapi akan berbahaya jika Nyi Kantil keluar dari rumah. Meskipun hanya di halaman. Satu saja pengikut Pangeran Ranapati melihat Nyi Kantil ada disini, kita semua akan berada dalam bahaya,” jawab Rara Wulan.
“Aku sadari itu, nyi. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana selain duduk, berbaring dan memasak. Seakan-akan aku merasa terkungkung hingga ajalku tiba.”
“Sudahlah, jangan seperti itu. Utusan Ki Darma Tanda mungkin segera memberikan kabar dalam sepekan ini. Marilah, kita bersabar untuk sesaat lagi. Nyi Kantil masih memiliki harapan panjang. Nyi Kantil juga harus mempunyai rencana untuk sebuah keluarga,” berkata lembut Rara Wulan dengan memegang tangan Nyi Kantil.
Mata Nyi Kantil menjadi basah, ia mengusapnya dengan punggung tangannya lalu katanya,” jantungku selalu bergetar jika mengingat itu. Aku merasakan saat ini aku bukanlah wanita yang pantas bersanding. Lelaki itu telah merusak anyamanku. Dan aku terlalu bodoh ketika menyertainya pergi kemari.”
“Sudahlah Nyi. Kita serahkan segala sesuatunya kepada Yang Maha Agung. Ki Jayaraga pernah mengatakan jika begitu welasnya Yang Maha Agung, bahkan orang bodoh yang mengulang kesalahan pun tetap akan memperoleh limpahan kasihNya,” berkata Rara Wulan.
“Ki Jayaraga? Siapakah orang itu?” tanya Nyi Kantil.
“Seseorang yang kami anggap sebagai orang tua kami sendiri di Tanah Perdikan Menoreh. Seorang sahabat baik bagi Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
“Akankah kau akan ajak aku ke Tanah Menoreh? Agaknya banyak orang bijaksana berkumpul di tanah itu.”
Dengan tersenyum, berkata Rara Wulan,” saat itu akan tiba. Yang Maha Agung tidak pernah meninggalkan makhlukNya sekalipun ia orang paling jahat.”
“Benarkah yang kau ucapkan?”
Sambil mengangguk, Rara Wulan menjawab,” ya. Benar.”
Nyi Kantil memeluk Rara Wulan. Dengan terisak pada bahu Rara Wulan, ia berkata,” aku telah merasa sebagai orang terhina. Bahkan aku kira telah menjadi putus asa selama ini. Semoga Yang Maha Agung benar-benar akan memberiku jalan keluar.”
Rara Wulan tidak berkata apa-apa lagi. Hanya tangan dan jemarinya yang bergerak membelai rambut Nyi Kantil yang tergerai lepas. Beberapa lamanya Rara Wulan membiarkan Nyi Kantil melepaskan pepat yang memenuhi dadanya. Nyi Kantil perlahan menyadari jika ia harus kembali menjadi dirinya sendiri. Ia berbisik dalam hatinya,” aku tidak boleh berada dalam bayangan lelaki itu. Aku harus dapat mengeluarkan semua angan yang lahir dari janji-janjinya. Ada benarnya seperti kata orang-orang tua, lebih baik makan ketela rebus di dalam gubuk daripada makan lodeh ayam di dalam mimpi.”
Demikianlah kedua perempuan itu berada di ruang dalam. Mereka segera berbenah diri ketika mendengar suara orang bercakap dan Rara Wulan sangat mengenal salah satu pemilik suara itu.
Rara Wulan segera merasakan ketegangan ketika Glagah Putih memasuki rumah. Setelah saling tegur sapa dan bertanya keadaan masing-masing, Rara Wulan mempersilahkan suaminya dan Ki Madyasta untuk sekedar berbenah diri di pakiwan. Sementara itu ia dan Nyi Kantil bergegas menyiapkan makan malam bagi penghuni rumah.
Perasaan tegang yang membekap Glagah Putih dan Madyasta dapat dirasakan juga oleh Nyi Kantil. Empat orang itu segera menyelesaikan makan malam tanpa bercakap-cakap seperti biasanya.
Rara Wulan dan Nyi Kantil segera membereskan peralatan makan begitu mereka selesai makan malam.
“Segeralah bergabung dengan kami di depan, Wulan. Agaknya kau harus mengetahui keadaan terakhir Panaraga. Nyi Kantil juga kami persilahkan bergabung,” berkata Glagah Putih dengan dalam. Kedua perempuan itu menganggukkan kepala dan segera menuju ke belakang membersihkan segala peralatan makan. Dalam pada itu, Ki Madyasta merasakan sesuatu yang berbeda dalam dentang jantungnya. Akan tetapi ia cepat-cepat memusatkan nalarnya pada pokok persoalan. “Mata itu memancarkan sorot yang berbeda. Aku tidak tahu perasaan apakah ini. Sangat tidak pantas jika aku mulai mementingkan keadaanku sendiri ketika bahaya sedang mengancam Mataram,” gumam Madyasta dalam hatinya ketika matanya bertemu pandang dengan Nyi Kantil. Meskipun begitu, ia sempat merasakan kesulitan untuk menatap pokok persoalan. Namun pada akhirnya ia dapat mengamati keadaan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, kedua perempuan itu segera mengambil tempat di ruang depan.
“Nyi Kantil, apakah kau masih dapat mengingat apa-apa yang pernah dikatakan Pangeran Ranapati tentang suatu rencana? Mungkin kau serba sedikit pernah mendengarnya,” berkata Glagah Putih menatap lurus Nyi Kantil. Nyi Kantil merasakan tatap mata Glagah Putih seakan-akan menghunjam jantungnya.
“Aku tidak dapat mengatakannya secara pasti. Kami tidak pernah duduk bersama selain membicarakan janji. Dan selama aku bersamanya, aku juga tidak mengetahui apa yang ia lakukan di luar rumah,” jawab Nyi Kantil hampir kehilangan pengamatan diri.
“Lalu, apakah orang-orang didalam rumah juga tidak berkata apapun tentang rencana Pangeran Ranapati?” tanya Ki Madyasta kemudian.
Mata Nyi Kantil menjadi sembab karena air mata yang mulai menggenangi kelopaknya. Setelah ia mengusap, lalu ” beberapa orang serba sedikit berbicara tentang hal itu. Kata mereka, Pangeran Ranapati akan melakukan perbuatan besar untuk kemakmuran mereka.”
“Perbuatan besar? Seperti apakah rencana besar itu telah dilakukan didalam rumah?” Ki Madyasta masih bertanya.
“Aku pernah mendengar tentang senjata dan nama sebuah pedukuhan,” jawab Nyi Kantil sambil menyebut nama pedukuhan yang dimaksud.
Sejenak Ki Madyasta menatap Glagah Putih dan Rara Wulan bergantian. Beberapa lama mereka berdiam diri. Membiarkan segala angan melintasi kepala mereka. Letak pedukuhan itu cukup dekat dengan Mataram. Mereka bertiga mulai merangkai segala kegiatan di Panaraga dengan nama pedukuhan yang disebutkan Nyi Kantil. Malam beranjak semakin dalam, Ki Madyasta segera mempersilahkan para tamunya untuk beristirahat. Ia kemudian bangkit menuju biliknya. Glagah Putih, rara Wulan dan Nyi Kantil segera mengikuti tuan rumah mereka menuju bilik masing-masing.
Tak lama kemudian setelah mereka memasuki bilik,Glagah Putih berbisik perlahan,” Wulan, malam ini aku akan pergi bersama Ki Ajar Gurawa. Kami akan mencoba memasuki lingkungan istana kadipaten dan Pangeran Ranapati.”
“Itu sangat berbahaya, kakang. Kita tidak mengetahui siapa saja yang berada di dalam lingkungan mereka. Bahkan kita tidak mengetahui seberapa tinggi kemampuan Pangeran Jayaraga. Lalu, bagaimana jika mereka mengetahui kehadiranmu?” bertanya Rara Wulan khawatir sekalipun ia percaya suaminya akan dapat mengatasi masalah yang akan terjadi.
“Percayalah, kami tidak akan menyelinap terlalu dekat. Mungkin hanya kakang Tumenggung Untara yang dapat menyelinap memasuki bilik Kanjeng Sultan Hadiwijaya,” Glagah Putih bersikap serius.
“Baiklah. Bagaimana dengan Ki Madyasta?”
“Ia akan tetap berada di dalam rumah hingga menjelang fajar.”
Glagah Putih kemudian mencoba memejamkan mata meskipun tidak ingin tidur. Ia membutuhkan sejenak waktu untuk memulihkan daya tahan tubuhnya. Pernafasannya mulai teratur. Ketika tubuhnya mulai merasa segar kembali, ia meminta diri kepada Rara Wulan dan pergi meninggalkan rumah melalui pintu butulan. Glagah Putih sengaja menghindari jalan-jalan utama supaya tidak berpapasan dengan prajurit Panaraga yang sedang meronda. Ia menyusup diantara kebun dan halaman rumah penduduk. Ia segera menjumpai Ki Ajar Gurawa yang telah berada di belakang sebongkah besar batu hitam. Dari balik batu besar itu, keduanya mengamati gardu prajurit yang diterangi lampu minyak.
(bersambung)
Baca kisah sebelumnya :
https://tansaheling.com/category/lanjutan-api-di-bukit-menoreh/