Tiba-tiba suara Batara Keling terdengar membelah malam. Namun ia kemudian mengalami kesakitan luar biasa tatkala mencoba membangkitkan tenaga inti lalu merambatkan melalui suara untuk menyerang Pangeran Parikesit. Pada saat itu tiba-tiba saja bagian dalam tubuh Batara Keling menderita gatal-gatal. Tubuh Batara Keling berkelojotan dan ia semakin menderita karena tidak dapat leluasa bergerak. Ia terikat erat pada Rambesaji. Keadaan yang dialami oleh Batara Keling pun membawa derita yang luar biasa pada Rambesaji. Leher Rambesaji berulang kali tercekik oleh tali yang dilingkarkan pada kaki Batara Keling. Geliat kaki Batara Keling semakin membuat kencang tali yang melilit leher Rambesaji sehingga Pangeran Parikesit sekali-kali harus mengendalikan geliat Batara Keling agar Rambesaji tidak mati kehabisan napas.
“Kau dapat mengulang rencanamu yang sudah pasti gagal, Batara Keling.” dingin wajah Pangeran Parikesit tatkala menggetarkan bibir, ”lalu kalian berdua akan perlahan-lahan mati mengenaskan di tempat yang sepi ini. Kematian yang memalukan bagi orang yang pernah disegani orang-orang yang hidup di sekitar tiga gunung besar itu. Dunia telah mengenal kalian dan sebelumnya mereka menghormati kalian berdua. Esok pagi semua orang akan menertawakan kematian kalian dan melupakan kalian sebagai orang yang pernah bertempur melawan dua abdi Ramanda Prabu.”
Batara Keling mengenang masa silam ketika menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang dipimpin langsung oleh Rakryan Luru Sumpil sewaktu mengejar Prabu Brawijaya. Usianya yang tidak terpaut jauh dari Pangeran Parikesit tidak menjadi penghalang baginya untuk menggali kembali kedalaman ingatannya.
Pada masa itu, Rakryan Luru Sumpil berusaha mewujudkan keinginan untuk berbagi tahta dengan Raden Fatah. Luru Sumpil berusaha menjadikan Prabu Brawijaya sebagai jaminan untuk memaksa penerus tahta Majapahit agar berkenan membagi wilayah. Namun Rakryan Luru Sumpil sama sekali tidak menduga jika dua abdi dalem sang prabu ternyata mempunyai ilmu yang tiada tara. Ratusan orang yang mengikuti keinginan Luru Sumpil pun berguguran seperti daun kering luruh ke tanah.
Meskipun Luru Sumpil mempunyai ketajaman siasat dan rencana yang hebat dalam pengejaran dan menyusun gelar perang, tetapi lawan yang dihadapi adalah penguasa tertinggi Majapahit beserta dua abdinya. Orang-orang yang tergabung dalam pengejaran yang dipimpin oleh Luru Sumpil sebenarnya bukan sekumpulan orang biasa. Mereka adalah orang-orang yang menguasai sangat baik olah kanuragan dan mendapatkan latihan keprajuritan secara khusus di barak prajurit yang terletak di lereng Wilis. Maka dari itu, kemampuan mereka sangat disegani oleh seluruh satuan prajurit Majapahit.
Di Padang Bubrah.
Dengan cekatan mereka berkelebat mengepung penguasa tertinggi Majapahit yang berjalan dengan diiringkan oleh dua abdi setia. Seolah tidak mendapatkan gangguan yang berarti, sang prabu meneruskan perjalanan menuju puncak. Salah seorang abdi dalem kemudian berkata dengan badan sedikit membungkuk, ”Hyang Prabu, mereka tidak akan lebih jauh dari tempat ini.”
Prabu Brawijaya berhenti sejenak sambil menghadapkan wajahnya ke bawah lalu berkata lirih, ”Kau dalam perkenanku, Jalak Pameling.” Sang Prabu melanjutkan langkah dengan lebar namun ketenangan sangat jelas terpancar dari setiap gerak tubuhnya. Guncangan dahsyat yang terjadi dalam kerajaannya seperti tak lagi membekas dalam gurat wajah dan sorot mata Sang Prabu. Di angkasa Majapahit santer menyebar warta yang mampu meluluhkan orang yang paling keras hatinya. Keterangan yang banyak dikatakan orang telah melampaui batas wajar yang dapat diterima oleh nalar sehat.
Ki Jalak Pameling lantas menghentikan langkah lalu memutar tubuh dalam kedudukan sedikit merendah. Ia berkata pada kawannya, ”Jalak Pati! Ini adalah perpisahan terindah anugerah dewata karena di tempat ini pula kelembutan Hyang Prabu telah mencapai puncaknya.”
Jalak Pati mengangguk kemudian katanya,” Aku akan menantimu di puncak sisi timur, Kakang.”
Jalak Pameling menarik napas panjang. Sekilas ia menatap kepergian Jalak Pati yang melangkah cepat menyusul Prabu Brawijaya. Ia merasa terharu karena Jalak Pati baginya adalah bagian lain dari seluruh jiwanya. Begitu banyak peristiwa yang ia lewatkan bersama Jalak Pati kala melayani Prabu Brawijaya.
Jalak Pameling dengan kaki renggang kini telah memegang selarik selendang dengan kedua tangannya. Lantang ia berkata, ” Luru Sumpil! Tidak ada lagi penghormatan bagimu pada hari ini dan selamanya. Kau akan terkubur dalam dan namamu akan dilupakan seolah kau tidak pernah ada di muka bumi.”