Pada malam terjadinya bentrokan antara Patraman dan pengikutnya dengan laskar Majapahit. Pada waktu yang sama di Kahuripan, Ki Srengganan sangat murka mendengar laporan yang mengungkapkan bahwa Ki Cendhala Geni telah meninggalkan kepatihan. Tangan kanannya terkepal dan tampak membara hingga pangkal siku.
Bibirnya terkatup erat dan terdengar gemeretak gigi beradu. Lalu ia bangkit dari tempatnya duduk dan berkata, ”Aku akan membunuhnya!”
“Tetapi, Ki Srengganan,” kata seorang prajuritnya. “Di luar, di sekeliling halaman istana tidak ada jalan keluar.”
“Apa yang terjadi?”
“Orang-orang Majapahit berhasil merebut Kahuripan.”
Teriak marah Ki Srengganan menggetarkan dinding istana kadipaten. “Lalu ke mana kalian semua? Hah! Jawab atau kaku bunuh kalian semua?”
Ki Srengganan bergegas keluar ruangan diikuti oleh orang-oran gyang dipilihnya sebagai pengawal istana. Senjata telah terhunus. Raut wajah prajurit Ki Srengganan menyala buas.
Ra Pawagal didampingi Gajah Mada berjalan memasuki halaman keraton Kahuripan. Agaknya kedatangan mereka telah diketahui oleh Ki Srengganan yang berdiri tegak dengan sebuah tombak panjang tergenggam.
“Seluruh pasukan yang bersamamu telah terkurung dan menyerah, Ki Srengganan!” seru Ra Pawagal lantang. Ia meneruskan, ”Jika kau menyerah, aku akan meminta Sri Jayanegara untuk memberi ampunan padamu.”
Tiba-tiba Ki Srengganan tertawa hingga dadanya berguncang, kemudian menatap tajam ke arah Ra Pawagal. ”Ampunan? Ra Pawagal, mungkin kau bermimpi jika orang lemah itu mau memberi ampunan. Sedangkan kita telah mendengar apa yang terjadi pada Ki Nagapati. Justru pada saat ini ,aku inginmengampuni Jayanegara.”
Ia kembali tertawa keras lalu melompat turun ke halaman.
Ra Pawagal melihat sekelilingnya telah dipenuhi para prajurit Majapahit yang setia pada Sri Jayanegara. Untuk sesaat ia sempat berpikir, ‘Ki Srengganan adalah orang yang membantu Dyah Wijaya memulai semua ini selain pengikut dan kawan-kawan yang lain. Tetapi kekecewaannya pada penguasa sekarang justru menjadikannya sebagai orang yang hanya mengejar kesenangan. Maka dengan begitu ia mudah menerima ajakan untuk bergerak melawan arah.
“Mendung hitam bergelayut di atas langit Majapahit.”
Baca juga : Bab 5 Merebut Mataram
Ia menghela napas panjang, kemudian berkata, ”Lalu apa artinya semua ini, Ki Srengganan? Bukankah kau tidak memperoleh perkembangan yang berarti? Setidaknya kau sendiri tidak tahu apa yang akan kau perbuat esok untuk Kahuripan.”
“Tidak perlu kau berbicara sepanjang itu, Pawagal. Dahulu kita adalah kawan dekat yang sama-sama berjuang untuk membentuk kerajaan ini. Tetapi, malam ini kita harus melupakan itu semua.” Ki Srengganan merendahkan lututnya dan diam-diam menghimpun tenaga.
Melihat itu, Gajah Mada mendekati Ra Pawagal. ”Tuan, harap bergeser sejenak. Biarkan saya yang muda ini menghadapi Ki Srengganan.”
Ra Pawagal menggelengkan kepala. ”Tidak. Ki Srenggana bukan lawan yang setara denganmu. Bagaimanapun, ia adalah orang lapis pertama yang turut membangun keprajuritan. Kau dapat meringkus pembantunya.” Selepas itu, Ra Pawagal menarik keris dari pinggangnya.
Gajah Mada pun akhirnya mengikuti kemauan Ki Pawagal yang memang berwatak keras. Ia menyadari bahwa semakin memaksa orang tua pengikut Dyah Wijaya, maka justru akan terjadi benturan antara dirinya dengan Ra Pawagal. Kini Gajah Mada berdiri lurus menghadapi pembantu Ki Srengganan yang melangkah setapak demi setapak memutar ke arahnya.
Mata yang tajam memandang lurus dua lawannya tidak mengurangi rasa jerih yang tertulis dalam hati Ki Srengganan, meskipun begitu, untuk terakhir kali ia berkata lantang, “Kalian berdua tidak datang sebagai orang yang akan mengadiliku.Kedatangan kalian tak lebih dari pejabat Kahuripan lainnya yang hanya hidup dari belas kasihan penjudi sepertiku.
“Terutama kau, Ra Pawagal!
“Kau masih saja berusaha membela orang lemah sedangkan ia tidak mau mengerti sedikitpun kebaikan yang pernah kau berikan untuk ayahnya!” Ia maju setapak. Tenaga yang telah terhimpun di kedua lengannya semakin kuat, kini lengannya tergetar halus. Ra Pawagal tidak mau kehilangan kewaspadaan, ia maju setapak.
2 comments
[…] Baca : Langit Hitam Majapahit Bab 10 […]
[…] Baca : Langit Hitam Majapahit Bab 10 […]