“Berteman,” gumam Agung Sedayu. Sebagai seorang teman, renungnya. Tentu saja ada kepentingan yang menempel padanya. Ia tidak mungkin menghendaki Swandaru. Apa yang ia harapkan dari Swandaru? Tata pemerintahan? Ki Tunggul Pitu bukan orang yang dapat berlama-lama di kademangan lalu melihat sehamparan pategalan. Tidak, dia bukan orang yang dapat duduk sambil melihat sinar matahari merambat naik. Kitab Kiai Gringsing. Pemimpin pasukan khusus ini memantapkan keyakinan bahwa Ki Tunggul Pitu menginginkan peninggalan gurunya.
“Sudah pasti ada sikap yang berubah dalam diri Anda,” kata Agung Sedayu kemudian. “Sebagai teman, pada akhirnya, saya akan menjadi orang yang dilindungi. Mungkin Anda akan melindungi saya dari sentuhan Raden Atmandaru atau hukuman Panembahan Hanykrawati bila kedua kaki saya berada di Lemah Cengkar.”
“Ho, ho, sudah tentu. Sudah pasti Anda mendapat jaminan dari saya, Tuan.”
Hujan mulai mereda. Langit sepertinya sedang membersihkan diri dari awan yang melekat. Sesaat lagi ia akan menjadi bersih, lalu bintang akan muncul mempercantik angkasa. Udara berubah sedikit lebih sejuk, berbeda dengan beberapa waktu sebelumnya.
Agung Sedayu mencoba bertanya pada hatinya, berapa lama ia akan menjadi sekutu Ki Tunggul Pitu? Sejauh apa ia dapat menyerang pasukan Mataram?
Sehebat apa ia beradu siasat melawan Untara?
Mungkinkah ia akan berkelahi mati-matian dengan Ki Jayaraga atau Ki Gede Menoreh?
Sanggupkah ia menatap mata Sekar Mirah dan Pandan Wangi?
Ia belum dapat menyiapkan jawaban karena Ki Tunggul Pitu tidak akan memberi kesempatan yang kedua. Manakala ia terlambat membuat keputusan, kitab Kiai Gringsing dan Swandaru tidak akan dapat ditemukan! Tidak akan ada lagi wajah Swandaru dari pandang matanya. Selamanya!
Wawasan yang diperolehnya dari masa lalu memaksa Agung Sedayu melihat ke dalam dirinya. Ia bukan seorang pemuda tanpa ikatan pada tanah kelahiran. Ia bukan pengembara dengan kepandaian sangat tinggi yang berkelana bebas tanpa paugeran. Ia adalah seorang pemimpin pasukan khusus, pasukan yang mempunyai kelebihan dibanding prajurit lain di Mataram, pasukan yang mampu bertempur di segala medan. Bahkan sepak terjangnya pun mewarnai pembukaan Alas Mentaok. Ia terikat dengan sumpah dan janji kepada Panembahan Senapati, kepada Panembahan Hanykrawati dan kepada Mataram.
Di masa silam, Agung Sedayu banyak mendengarkan kisah dari Kiai Gringsing tentang orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di tanah Jawa. Lambat laun bersamaan dengan penyusurannya pada jalan-jalan kehidupan, Agung Sedayu telah mencanangkan tujuannya. Sekarang ia harus berkawan dengan Ki Tunggul Pitu, orang kepercayaan Raden Atmandaru, untuk tujuan yang dianggapnya lebih berharga dari nyawanya sendiri. Kesetiaannya pada Panembahan Hanykrawati dan Mataram akan dibawanya memasuki belantara yang sanggup membuatnya binasa. Agung Sedayu akan melewati jalan panjang dengan pertaruhan harga diri dan martabat.
“Berkawan dengan Ki Tunggul Pitu sama dengan menjalani hidup di tengah kematian. Malam ini, aku telah membunuh kesetiaan dengan kesadaran sebagai orang yang akan dianggap sebagai pengkhianat,” begitu jalan pikiran Agung Sedayu. “Semua hal yang telah aku bangun, untuk saat ini, telah berada di bibir kehancuran. Apakah aku dapat dibenarkan oleh Sekar Mirah? Apakah aku mendapat persetujuan Ki Gede Menoreh? Oh, andaikan guru masih dapat ditemui, apakah aku akan direstuinya?”
Agung Sedayu yang kini berada di persimpangan sedang menengadah dengan mata terpejam. Ki Tunggul Pitu tanpa kata-kata hanya memperhatikan sikap adik Untara. Ia mengerti bahwa senapati Mataram itu sebenarnya berpikir keras tentang segala akibat. “Ini bukan permainan atau perjudian. Ini tentang pengakuan. Pengakuan yang akan diberikan dunia padaku, bukan padamu. Engkau hanya kendaraan dan jalan bagiku menuju ke puncak,” batin Ki Tunggul Pitu.
“Kita berteman!” Agung Sedayu tiba-tiba mengulurkan tangan, menjabat tangan orang yang membakar pasar Tanah Perdikan.
“Kita berteman,” ulang Ki Tunggul Pitu dengan senyum penuh kemenangan.
Mereka pun mulai bicara dengan suara perlahan. Ki Tunggul Pitu menyatakan siasatnya dengan semangat yang tidak terlihat. Ia begitu tenang. Sikapnya seperti sejalan dengan tanah lapang yang seolah tidak peduli dengan keputusan Agung Sedayu.
“Anda dapat segera melanjutkan perintah Ki Tumenggung Untara,” desah Ki Tunggul Pitu. “Aku akan kembali ke perkemahan pengikut Raden Atmandaru, meskipun itu bukan sepantasnya aku lakukan. Terus terang, aku muak dengan sikap mereka.”