Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 3 Membidik

Membidik 40

Pada waktu itu, Pandan Wangi tidak mempunyai pemikiran lain kecuali Agung Sedayu telah berada di Sangkal Putung. Meski demikian, ia tidak menampik adanya desir aneh yang merambat pada setiap pembuluh darahnya. Suasana hening di dalam rumah pun menimbulkan penasaran dalam benak Pandan Wangi. “Tidak seperti biasanya,” gumamnya dalam hati. Walau tidak akan ada orang yang menaruh kecurigaan terhadap mereka berdua di dalam rumah, tetapi Pandan Wangi adalah seorang perempuan bersuami, begitu pun Agung Sedayu yang telah beristri Sekar Mirah.

Detak yang sama, perasaan yang sama perlahan-lahan mulai dirasakan oleh dua orang yang pernah mempunyai hubungan yang tidak terungkap oleh kata-kata. Sebenarnya tidak ada yang berubah dalam skap Agung Sedayu, begitu pikir Pandan Wangi. Lelaki tangguh itu hanya berdiri diam sambil menebar pandang merayap dinding rumah. Tidak ada kata yang terucap dan tidak pula ada sesuatu yang janggal dari Agung Sedayu. Tetapi, bagi mereka berdua, keadaan pada awal hari itu benar-benar janggal!

“Apakah rumah ini memang selalu begini keadaannya setiap hari?” tiba-tiba Agung Sedayu bertanya.

Pandan Wangi menarik napas panjang. Ia menyadari bahwa suaranya akan terdengar bergetar bila memaksa untuk segera menjawab pertanyaan. “Entahlah, sesuatu yang tidak aku mengerti sepertinya sedang mencoba menguasai diriku,” berkata Pandan Wangi dalam hatinya. Namun sejenak kemudian, dalam beberapa kejap mata, ia membuka suara, “Tidak, Kakang. Saya memang belum melihat Sekar Mirah keluar dari biliknya, tetapi ayah dan ibu telah berkeliling seperti biasa beliau berdua lakukan setiap hari. Menikmati pagi yang menyejukkan mata,”

loading...

“Apakah benar aku mendengar suara kakang Agung Sedayu?” terlontar pertanyaan dari dalam bilik yang berada di samping kanan Agung Sedayu.

“Mirah?” Agung Sedayu menghamburkan diri memasuki bilik istrinya.

Tatap mata keduanya bertumbuk. Membuncah rasa yang segera memenuhi udara di dalam bilik. “Ini adalah anugerah ketika melihatnya telah berada di depanku,” Sekar Mirah berucap dalam hatinya. Ia bersyukur saat melihat suaminya dalam keadaan cukup baik. Tiba-tiba dahinya berkerut.

“Kakang Swandaru?” Sekejap Sekar Mirah termenung. Bagaimana Agung Sedayu datang tanpa kakaknya, Swandaru? Pikir Sekar Mirah tanpa prasangka.

Agung Sedayu mengambil tempat di tepi pembaringan. Saat itu Sekar Mirah berbaring walau tidak memperlihatkan tanda-tanda ia tengah menderita sakit.

“Bagaimana keadaan  karunia yang ada di dalam perutmu?” tanya Agung Sedayu kemudian, “apakah ia baik-baik saja selama kepergian ayahnya?”

Sambil meraih tangan Agung Sedayu lalu meletakkannya di atas perutnya, Sekar Mirah berkata, “Ia tidak bertingkah aneh, Kakang. Seperti telah mengerti bahwa ia harus menjaga ibunya selama ayahnya meninggalkan rumah.” Sungging senyum mengembang dengan tatap mata yang sangat dalam.

Agung Sedayu lembut membelai perut istrinya yang semakin terlihat besar. Sekar Mirah cukup baik menjaga keadaannya, pikir Agung Sedayu. Lalu ia teringat Pandan Wangi. Namun ketika ia berpaling kearah pintu, ternyata Pandan Wangi mematung di sana dengan mata basah.

“Masuklah, Wangi,” ajak Agung Sedayu.

“Terima kasih, Kakang.” Pandan Wangi bergeser empat langkah lebih dekat ke pembaringan Sekar Mirah. Katanya kemudian, “Kita mengalami keadaan yang sama, Mirah. Bedanya, aku menerimanya terlebih dahulu. Namun selalu saja ada sesuatu yang menjadikan anugerah itu terasa luar biasa. Setiap ibu akan mengalami perasaan yang luar biasa. Antara takjub, bahagia, gelisah bahkan tak jarang sebagian dari kita mengalami kesedhan. Hanya saja, aku yakin bahwa engkau akan melewati semuanya karena engkau memang mampu.”

Seraya mengulurkan tangan, Sekar Mirah menggerakkan bibirnya dengan senyum, “Terima kasih.”

Sejenak kemudian mereka bertiga terlibat dalam percakapan ringan. Seorang perempuan yang berusia lebih terlihat hilir mudik untuk menyiapkan makan pagi bagi mereka. Dalam waktu itu, Agung Sedayu semakin keras berusaha menguatkan hatinya. Berat baginya apabila harus mengungkap kenyataan karena janin yang dikandung Sekar Mirah beranjak sempurna. Mungkin telah berjalan tujuh atau delapan bulan, Agung Sedayu tidak dapat memastikan dengan tepat. Namun ia paham berita hilangnya Swandaru akan menganggu rasa nyaman Sekar Mirah dan anaknya.

Wedaran Terkait

Membidik 9

kibanjarasman

Membidik 8

kibanjarasman

Membidik 7

kibanjarasman

Membidik 61

kibanjarasman

Membidik 60

kibanjarasman

Membidik 6

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.