Satu-satunya harapan baginya adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang Jaka Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo sendiri, menurut berita yang tersiar, tak pernah menculik atau menghendaki seorang gadis. Tetapi alangkah kecewanya gadis itu, bahkan hampir saja ia jatuh pingsan ketika didengarnya Lawa Ijo berkata sambil tertawa pendek, “Jaka Soka, sebenarnya aku sama sekali tak mengubah pendirianku. Tetapi sebagai seorang sahabat, baiklah aku hadiahkan gadis itu kepadamu. Aku sama sekali tak berkepentingan dengannya, sebab aku mempunyai kepentingan lain.”
Mendengar jawaban Lawa Ijo, Jaka Soka menjadi gembira sekali. “Lawa Ijo, memang hanya itulah yang sebenarnya aku kehendaki dari rombongan ini. Hanya barangkali kau anggap aku bersalah, bahwa aku tidak minta izinmu dahulu. Nah, sekarang kau telah mengizinkan,” katanya.
Sekali lagi Lawa Ijo tertawa. “Terserahlah kepadamu, Soka,” katanya.
Mendengar keputusan Lawa Ijo, gadis itu semakin putus asa. Tak ada lagi harapan baginya untuk melepaskan diri dari tangan penjahat itu.
MAHESA JENAR selalu memperhatikan perkembangan keadaan dengan cermat. Ia dihadapkan pada satu persoalan yang juga cukup rumit. Di sini, tanpa diduga-duga ia telah bertemu dengan Lawa Ijo yang sengaja akan dicarinya. Tetapi di sini juga, ada seorang yang dapat mengganggu pertemuan itu. Yaitu Jaka Soka yang ternyata mempunyai kekuatan seimbang dengan Lawa Ijo.
Kalau pada saat itu Mahesa Jenar membuat perhitungan dengan Lawa Ijo, ia sendiri belum tahu pasti siapakah yang akan menang. Apalagi kalau kemudian Jaka Soka ikut campur, maka masalahnya akan merugikan. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, melawan dua orang adalah pekerjaan yang berat sekali, bahkan mungkin di luar kuasanya. Tetapi di luar itu ia menghadapi soal baru. Jaka Soka menghendaki untuk membawa gadis itu pulang ke Nusa Kambangan. Apakah hal yang demikian dan berlangsung di bawah hidungnya akan dibiarkan saja? Andaikan ia bertindak, dalam hal ini pun ada kemungkinan ia terlibat dalam pertempuran melawan kedua orang itu. Sebagai seorang prajurit pilihan, Mahesa Jenar sama sekali tidak mengenal takut. Kalau ia sampai berpikir demikian, masalahnya adalah atas dasar perhitungan cara dan bagaimana untuk mencapai maksudnya.
Selagi Mahesa Jenar sibuk berpikir, Jaka Soka dengan matanya yang redup dan senyum aneh yang menghiasi bibirnya yang tipis, telah mulai bergerak dan berjalan perlahanlahan ke arah gadis cantik itu. Sementara itu Lawa Ijo berteriak bergurau, “Jaka Soka, sebenarnya aku iri hati melihat ketampanan wajahmu. Tetapi kau rupanya adalah seorang tampan yang sial. Sebab gadis-gadis yang kau kehendaki menjadi pingsan kegirangan, karena akan mendapat pasangan yang setampan kau ini.”
Jaka Soka sama sekali tak mendengar perkataan Lawa Ijo itu. Ia sedang kegirangan akan mendapat gadis yang demikian cantiknya, melebihi semua gadis yang pernah dilihatnya.
Tetapi terjadilah suatu hal di luar perhitungannya. Dalam keputusasaan, gadis itu memutuskan untuk lebih baik membunuh dirinya. Ia sama sekali tidak mau dinodai kehormatannya oleh iblis-iblis yang demikian itu. Maka secepat kilat ia mengambil keris dari dalam bungkusan yang dibawanya, dan segera ia menarik keris itu dari warangkanya.
Jaka Soka sama sekali tidak mengira bahwa hal yang demikian akan terjadi. Karena itu ia terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ia masih belum tahu, maksud yang sebenarnya gadis itu menarik keris. Karena itu ia harus berhati-hati. Tetapi tiba-tiba saja ia melihat keris itu melayang menuju ke arah dada gadis itu sendiri.
Jaka Soka tersadar. Karena itu harus dicegahnya. Tetapi sayang jaraknya masih terlalu jauh. Sehingga terloncatlah teriakan dari mulutnya yang berbibir tipis itu dengan noda yang cemas. Cemas akan kehilangan gadis itu. “Jangan …. Jangan lakukan itu.”
Tetapi teriakannya itu menggetar tanpa sesuatu pengaruh apapun atas gadis yang sudah bertekad untuk mati daripada jatuh di tangan bajak laut yang berwajah tampan itu. Tiba-tiba tampaklah sebuah bayangan melontar dengan cepatnya menyambar pergelangan tangan gadis itu, sehingga keris yang digenggamnya tidak sampai menembus dadanya. Gadis itu terkejut bukan kepalang. Demikian juga semua yang menyaksikan. Bahkan Jaka Soka dan Lawa Ijo pun menjadi terkejut dan heran melihat orang dapat bergerak demikian cepatnya. Itulah Mahesa Jenar yang telah mencoba untuk menyelamatkan jiwa gadis cantik itu. Dan sekaligus keris itupun telah berpindah ketangannya pula. Tetapi belum lagi debar jantung mereka berhenti, kembali mereka terkejut, terutama Mahesa Jenar sendiri, Jaka Soka dan Lawa Ijo, ketika mereka melihat keris yang sekarang sudah berada di tangannya.
“Kiai Sigar Penjalin,” desis mereka hampir bersamaan.
Itulah nama keris yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Keris yang berbentuk lurus. Satu sisinya melengkung hampir setengah lingkaran, sedangkan sisi yang lain datar seperti kebiasaan keris. Mirip seperti batang penjalin yang dibelah dua dan diruncingkan ujungnya. Yang mengejutkan mereka adalah, keris itu terkenal sebagai pusaka seorang sakti yang mempunyai nama sejajar dengan Pasingsingan. Yaitu Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak Wanasaba. Demikian terkejutnya Mahesa Jenar sampai tangannya yang memegang keris itu gemetar.
Maka setelah agak reda sedikit dan nafasnya mulai teratur, Mahesa Jenar berdiri dengan teguhnya memandang tajam kepada Jaka Soka.
“Apakah yang kau kehendaki dari gadis ini?” tanya Mahesa Jenar.
Getar hati Jaka Soka sementara itu telah turun. Tetapi sekarang otaknya dihinggapi oleh suatu pertanyaan. Perantau tolol itu, kenapa tiba-tiba saja dapat berbuat sedemikian cepatnya, sehingga jiwa gadis cantik itu tertolong. Selain itu, gadis itu ternyata memiliki keris Kiai Sigar Penjalin. Apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pandan Alas?
Jaka Soka berpaling kepada Lawa Ijo untuk mendapat pertimbangan. Ternyata Lawa Ijo pun pada saat itu sedang berpikir keras. Ia memandang keris Sigar Penjalin yang berada di tangan Mahesa Jenar itu tanpa berkedip. Baru setelah beberapa saat kemudian ia berkata, “Jaka Soka, menurut pendapatku sebaiknya kita tidak membuka suatu persoalan dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sebab dengan membawa keris Sigar Penjalin, gadis itu mempunyai hubungan dengan Ki Ageng Pandan Alas.”
Jaka Soka dalam hati kecilnya membenarkan juga keterangan Lawa Ijo itu. Sebab ia pun tahu bahwa Ki Ageng Pandan Alas termasuk orang yang aneh. Ia selalu berada di mana saja merantau dari satu tempat ke tempat lain.
Namun demikian, ia sayang juga melepaskan gadis cantik yang sudah sekian lama diikutinya. Sebab dalam pengamatannya, belum pernah ia menemukan gadis secantik itu. Kalau kali ini ia tak berhasil membawanya pulang, maka seumur hidupnya belum tentu ia akan menjumpainya lagi.
Sebaliknya, gadis cantik itu sama sekali tidak menduga bahwa keris yang dibawanya mempunyai pengaruh yang sedemikian hebatnya. Ia sendiri belum pernah mendengar nama Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak. Keris yang dibawanya adalah keris peninggalan ibunya pada saat ibunya menghembuskan nafas terakhir.
Menurut ibunya, keris itu adalah keris kakeknya, seorang petani miskin yang pada saat itu sedang merantau mencari daerah baru yang lebih subur, yang barangkali dapat dipakai sebagai tempat tinggal yang baru. Dan menurut ibunya, kakeknya sekarang berada di desa Pliridan. Daerah antara hutan Tambak Baya dan Beringan, bagian dari hutan Mentaok. Suatu daerah yang baru dibuka oleh beberapa orang, yang nampaknya subur untuk daerah pertanian.
“Lawa Ijo,” kata Jaka Soka kemudian setelah berpikir sejenak. “Memang aku sebenarnya segan terhadap orang tua itu. Tetapi menurut pikiranmu apakah ia mengetahui bahwa gadis itu aku bawa pulang ke Nusa Kambangan?”
“Soka,” jawab Lawa Ijo, “Pandan Alas itu tidak ubahnya seperti hantu yang berada di mana saja, pada saat apa saja. Ia seolah-olah memiliki seribu mata dan seribu telinga yang bertebaran di seluruh tanah ini.”
“Tetapi ternyata sekarang ia tak ada di tempat ini,” potong Jaka Soka
“Kau jangan berkeras membawa gadis itu, Soka. Meskipun seandainya Pandan Alas pada saat ini tidak melihat dan mengetahui, tetapi perbuatan itu kau lakukan di hadapan saksi-saksi yang pada suatu ketika pasti akan terdengar pula oleh hantu yang bertelinga seribu itu. Kalau sudah demikian halnya, kau tidak akan dapat lagi hidup tenteram dan berlindung di mana pun di dunia ini.”
Jaka Soka terdiam. Tampak alisnya berkerut-kerut. Tiba-tiba terdengarlah ia menjawab dengan jawaban yang sama sekali tidak terduga-duga. Semua yang mendengar menjadi terkejut, seperti tanah tempat mereka berpijak itu runtuh.
“Lawa Ijo, kau benar. Memang aku seharusnya tidak berbuat itu di hadapan saksi-saksi. Karena itu maka akan aku bunuh semua orang yang menyaksikan peristiwa ini, kecuali kau,” kata Jaka Soka dengan suara mantap.
Baru mendengar kata-kata itu, dan belum lagi Jaka Soka berbuat sesuatu, orang-orang yang mendengarnya seolah-olah telah terbang nyawanya. Lawa Ijo yang matanya memancarkan sinar kebuasan dan kebengisan itu pun terkejut mendengar keputusan Jaka Soka untuk membunuh sekian banyak orang itu.
“Jaka Soka, sebaiknya kau pikir masak-masak apa yang akan kau lakukan itu. Apalagi hal itu terjadi di daerah kuasaku,” kata Lawa Ijo memperingatkan.
“Lawa Ijo, kau tidak akan tersangkut dalam perkara ini. Dan percayalah, bahwa apabila tak seorang pun yang hidup diantara orang-orang ini, maka bagaimanapun tajamnya telinga Pandan Alas, ia tak mungkin dapat mendengarnya,” jawab Jaka Soka.
Dahi Lawa Ijo tampak berkerut. Rupanya ia berpikir keras. Tetapi bagaimanapun, ia tetap tidak dapat mengerti jalan pikiran Jaka Soka. Mengorbankan sekian banyak orang hanya untuk mendapatkan seorang gadis. Seandainya taruhan itu untuk memperebutkan sebuah pusaka atau harta benda yang tak ternilai, agaknya Lawa Ijo masih dapat mengerti.
Mereka yang mendengarkan percakapan itu, hatinya diliputi oleh suasana ketegangan yang hebat. Mereka mengharap Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, tak mengizinkan Jaka Soka berbuat demikian kejamnya hanya untuk memanjakan nafsunya. Mereka rela andaikata kemudian Lawa Ijo merampas segala harta benda mereka, asal nyawa mereka diselamatkan. Bahkan ada diantaranya yang mulai menyesali gadis cantik itu. Karena gadis itulah maka nyawa mereka terancam.
Sampai beberapa saat Lawa Ijo tidak berkata-kata. Ia menjadi bimbang. Sebenarnya lebih baik baginya untuk tidak menambah lawan. Apalagi seorang sakti seperti Ki Ageng Pandan Alas.
Tetapi untuk menolak permintaan Jaka Soka pun akan mempunyai akibat yang tak menyenangkan. Sebab ia tahu betul tabiat kawannya ini. Semua kehendaknya harus dapat terlaksana. Apalagi kalau ia sedang tergila-gila kepada seorang gadis. Bagaimanapun kejamnya Lawa Ijo, namun tak akan terlintas dalam pikirannya untuk berbuat demikian, hanya untuk seorang gadis. Sebab ia sama sekali memang tidak pernah tertarik kepada gadis seperti itu. Baginya, gadis-gadis demikian hanyalah akan mempersulit diri saja.
“Lawa Ijo, seharusnya kau tak usah takut kepada Pandan Alas. Sebab Paman Pasingsingan tentu tidak akan tinggal diam andaikata Pandan Alas salah duga terhadapmu mengenai masalah ini,” sambung Jaka Soka ketika Lawa Ijo lama tak menjawab.
Mendengar desakan terakhir ini, Lawa Ijo tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi mereka yang menyaksikan, anggukan kepala Lawa Ijo itu bagaikan melihat jatuhnya palu keputusan hukuman mati bagi mereka semua.
Maka terjadilah kegemparan di antara mereka. Beberapa orang telah menangis merintih-rintih minta diampuni dan diselamatkan jiwanya. Mereka bersumpah untuk tidak membuka mulut tentang peristiwa ini kepada siapa pun. Beberapa orang lagi jatuh pingsan, dan yang lain menggigil ketakutan.
Dalam keadaan yang demikian, terasalah kesetiakawanan mereka hancur lumat demi keselamatan masing-masing. Bahkan ada di antara mereka yang sampai hati terang-terangan mengumpati gadis yang sama sekali tak bersalah itu.


 
					