Nagasasra dan Sabuk Inten

Nagasasra dan Sabuk Inten 9 – Kesiagaan Mahesa Jenar

Karya S.H Mintardja, Nagasasra Sabuk Inten

Pada hari itu, perjalanan tak menemui gangguan apapun. Ketika matahari hampir terbenam, segera pemimpin rombongan memerintahkan tiga orang pengawal berpencar untuk mendapatkan tempat berkemah yang aman. Sebentar kemudian tempat itu pun telah diketemukan, dan mulailah rombongan itu mengatur tempat peristirahatan buat malam harinya. Dengan senjata masing-masing mereka membersihkan rumput-rumput liar dan akar-akar pohon-pohon besar untuk kemudian dibentangkan tikar.

Sebenarnya Mahesa Jenar sangat merasa tidak sabar berjalan bersama dengan rombongan ini. Kalau ia berjalan sendiri, mungkin jarak yang ditempuhnya adalah 2 atau 3 kali lipat. Tetapi sekarang, setelah ia terikat dengan rombongan itu, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada mengikuti dengan menahan diri.

Ketika malam telah gelap, para pengawal segera menyalakan api. Sebentar kemudian lidah api itu pun telah menjilat-jilat ke udara. Panas yang dipancarkan terasa nyaman sekali pada malam yang dingin itu. Dan sebentar kemudian, karena kelelahan, beberapa orang telah jatuh tertidur.

Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tak tertarik untuk tidur. Meskipun ia juga merasakan lelah. Oleh pemilik barang yang dibawanya, Mahesa Jenar mendapat pinjaman sehelai tikar. Dan di atas tikar itu ia merebahkan dirinya.

Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Binatang-binatang hutan mulai keluar dari sarangnya. Suaranya terdengar bersahut-sahutan. Ada yang aneh kedengarannya,

tetapi ada pula yang mengerikan, seperti teriakan bayi yang kehausan air susu ibunya.

Dalam keremangan cahaya api, mata Mahesa Jenar yang tajam melihat betapa gadis cantik itu menjadi ketakutan. Sebentar-sebentar ia duduk, sebentar berbaring. Tetapi sebentar kemudian ia membenamkan kepalanya diantara bungkusan-bungkusan kecil yang dibawanya. Sebab tidak ada seorang pun di dalam rombongan itu yang dapat dimintai perlindungan seperti kedua wanita yang lain, kecuali bulat-bulat ia menggantungkan dirinya kepada para pengawal.

Tetapi yang terlebih menarik perhatian adalah si pemuda tampan. Tampak sekali betapa gelisahnya. Ia sama sekali tak membawa apapun, kecuali tongkatnya. Karena itu ia sama sekali tak berbaring.

Sebentar ia duduk, sebentar kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. Baru setelah lewat tengah malam, tampaknya ia agak tenang. Ia duduk di atas sebuah batu dan bersandar pada sebatang kayu. Tidak lama kemudian tampaklah pernafasannya berjalan perlahan dan teratur. Rupanya ia tertidur.

Melihat pemuda yang aneh itu tertidur, Mahesa Jenar pun menjadi agak tenang. Dan tidak atas kehendaknya sendiri, Mahesa Jenar pun tertidur pulas.

Malam kemudian menjadi bertambah kelam. Setitik demi setitik embun mulai menggantung di dedaunan. Suara binatang hutan sudah mulai berkurang. Hanya kadangkadang saja masih terdengar aum harimau yang kemudian disusul jerit ngeri beberapa ekor anjing hutan.

Tetapi dalam keadaan bagaimanapun, para pengawal itu tetap pada tugasnya. Mereka bergiliran tidur. Tiap-tiap kali tiga orang yang tetap bangun dan dengan penuh tanggung jawab melakukan tugasnya. Selain itu pemimpin rombongan itu pun kadang-kadang bangun menemani mereka yang kebetulan sedang mendapat giliran. Sedangkan mereka yang telah merasa mengupah orang untuk menjaga dirinya, merasa bahwa keadaan mereka telah aman. Karena itu mereka tidak lagi merasa perlu untuk tetap bangun semalam suntuk.

Ketika malam sudah menjadi semakin jauh, telinga Mahesa Jenar yang tajam sekali itu, mendengar suatu suara yang aneh. Meskipun pada saat itu ia sedang tertidur, tetapi suara itu dapat didengarnya, bahkan telah menyadarkannya.

Perlahan-lahan ia membuka matanya sedikit. Dan apa yang dilihatnya dari celah-celah kelopak matanya adalah sangat mengejutkan sekali. Tetapi meskipun demikian ia tidak segera bertindak. Dilihatnya pada waktu itu, tiga orang yang bergiliran jaga dan duduk di dekat perapian, telah menggeletak tak bergerak. Sedangkan disampingnya berjongkok si pemuda tampan.

“Alangkah hebatnya pemuda ini,” pikir Mahesa Jenar. Ia dapat merobohkan ketigatiganya tanpa banyak ribut-ribut. Untunglah bahwa telinganya telah terlatih baik untuk menghadapi segala kemungkinan.   Melihat hal yang demikian, Mahesa Jenar menjadi semakin waspada. Apalagi ketika pemuda tampan itu kemudian berdiri dan memandang berkeliling. Dan apa yang diduganya adalah benar.

Perlahan-lahan pemuda itu berjalan berjingkat ke arah gadis cantik yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa pemuda tampan itu akan melarikan gadis yang sedang lelap itu. Melihat hal yang sedemikian, ia tidak dapat tinggal diam. Meskipun ia sendiri tidak akan bertindak langsung, tetapi seharusnyalah bahwa ia berusaha untuk mencegahnya.

Perlahan-lahan dan hati-hati sekali tangannya meraba-raba mencari sebuah kerikil kecil. Ketika sudah didapatnya, maka dengan hati-hati pula kerikil itu dijentikkan ke arah kaki pemimpin pengawal yang sedang tidur pula.

Rupanya pengawal itu mempunyai perasaan yang tajam pula. Ketika ia merasa tubuhnya tersentuh kerikil yang dilemparkan Mahesa Jenar, ia pun segera terbangun. Maka apa yang pertama-tama dilihatnya adalah ketiga orangnya yang sedang bertugas telah menggeletak. Sesudah itu lalu dilihatnya si pemuda tampan berjalan hati-hati ke arah gadis yang sedang tidur lelap.

Melihat hal itu, kepala pengawal itu segera dapat menghubungkan persoalannya. Maka marahlah ia bukan kepalang. Mukanya menjadi merah seperti darah. Dengan cekatan sekali ia bangun dan meloncat dengan garangnya. Tanpa bertanya lagi tangannya segera terayun ke arah tengkuk si pemuda tampan.

Tetapi adalah di luar dugaan sama sekali, meskipun gerak pemimpin pengawal itu cukup cepat dan tanpa diduga-duga, namun dengan suatu gerakan miring yang sederhana, pemuda itu dapat menghindarinya.

“Hebat…” pikir Mahesa Jenar. Pemuda ini cekatan luar biasa. Siapakah ia sebenarnya?

Ketika pemimpin pengawal itu merasa bahwa pukulannya dapat dielakkan dengan mudah, ia menjadi semakin marah. Dengan geramnya ia melompat maju sekaligus tangannya menyambar leher. Tetapi kembali serangannya itu gagal. Dengan mencondongkan tubuhnya, pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri, bahkan sekaligus kakinya mengait kaki lawannya. Untunglah bahwa orang tua itu masih lincah juga, sehingga dengan satu loncatan ia dapat melepaskan diri.

Melihat cara orang itu menghindari serangannya, si pemuda tampan menjadi tertawa kecil.

“Bagus… Pak, kau masih juga pandai bermain bajing loncat,” kata pemuda itu.

Sementara itu, para pengawal yang lain, serta orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu pun terbangun mendengar keributan-keributan itu. Beberapa orang menjadi gugup dan bertanya-tanya. Tetapi para pengawal yang lain, yang melihat pemimpinnya bertempur, segera ikut serta melibatkan diri tanpa banyak berpikir.

Sejenak kemudian terjadilah suatu pertempuran yang sengit. Pemuda itu seorang diri harus bertempur melawan tujuh orang. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar tangguh luar biasa.

Melawan tujuh orang yang telah berani menyatakan dirinya menjadi pengawal perjalanan di daerah yang berbahaya, sama sekali ia tidak tampak mengalami kesulitan.

Dengan tangkasnya ia berloncatan ke sana kemari diantara pepohonan hutan. Tongkat hitamnya berputar-putar melindungi tubuhnya. Meskipun para pengawal itu mempergunakan bermacam-macam senjata, ada yang memakai pedang, ada yang mempergunakan tombak, gada besi dan sebagainya, tetapi semuanya itu tampaknya tidak banyak berguna.

Baca pula Kitab Kyai Gringsing

Beberapa orang lain pun kemudian dapat menerka apa yang akan dilakukan oleh pemuda itu. Karena dalam keadaan demikian, mereka merasa senasib, maka merekapun menjadi marah. Beberapa orang kemudian segera bangkit dan menyatakan kesetiakawanan mereka, untuk menangkap pemuda tampan itu.

Tetapi adalah aneh sekali. Pemuda itu tampaknya licin seperti belut. Geraknya cepat dan lincah sekali, bahkan mirip dengan gerak seekor ular yang melilit-lilit diantara pepohonan, tetapi sejenak kemudian menjulur melakukan serangan yang berbahaya.

Malahan setelah mereka bertempur beberapa lama, tampaklah bahwa pemuda itu tetap menguasai keadaan. Bahkan beberapa saat kemudian ia masih sempat tertawa-tawa dan berteriak nyaring.

“Jangan kalian turut campur. Aku inginkan gadis itu.”

“Jahanam,” bentak kepala pengawal, “aku telah menyanggupkan diri melindungi semua yang menjadi tanggung jawabku. Bagaimanapun hebatnya kau, aku akan tetap melawan sampai kemungkinan terakhir.”

Kembali pemuda itu tertawa, katanya, “Aku akan menghitung sampai bilangan 10. Siapa yang tidak mau minggir, bukan salahku kalau ia binasa.”

Mendengar ancaman itu beberapa orang merasa ngeri juga sehingga bulu roma mereka berdiri.

“Satu … dua … tiga …..” Pemuda itu mulai menghitung bilangan.

Sampai bilangan ini, telah banyak diantara mereka yang meloncat keluar dari gelanggang. Bagaimanapun perasaan kesetiakawanan mereka namun karena mereka tidak langsung berkepentingan, maka mereka merasa lebih baik minggir daripada turut menjadi korban. Karena itu, setelah bertempur beberapa lama, terasalah bahwa pemuda itu adalah pemuda yang perkasa.

Sampai bilangan ketujuh, tak ada lagi seorang pun yang berani membantu ketujuh pengawal yang sedang bertempur mati-matian itu. Sehingga pertempuran itu semakin nampak berat sebelah. Tetapi dalam pada itu Mahesa Jenar merasa kagum dan hormat kepada ketujuh pengawal itu, yang tidak lagi menghiraukan keselamatan diri mereka dalam melakukan kewajiban.

Sejenak kemudian Mahesa Jenar merasa tak sampai hati melihat keadaan yang demikian, maka segera ia melompat dan masuk ke dalam arena pertempuran. Tetapi sampai sedemikian jauh ia sama sekali tidak merasa perlu memperlihatkan kepandaiannya. Ia berkelahi dengan cara yang nampaknya sama sekali tak teratur dan sekaligus untuk mengetahui sampai dimana keperkasaan lawannya.

Pemuda tampan itu, ketika melihat Mahesa Jenar masuk ke dalam kancah perkelahian, terpaksa menghentikan hitungannya dan berkata kepada Mahesa Jenar.

“Hai orang tolol, kau jangan bermain-main di situ. Menyingkirlah.”

Mahesa Jenar pura-pura tak mendengar seruan itu. Dengan gerak yang bodoh ia menyerang terus bersama-sama ketujuh orang pengawal itu. Beberapa saat kemudian, kembali pemuda itu mengulangi seruannya, tetapi juga kali ini Mahesa Jenar tidak mempedulikannya. Ia berkelahi dengan gerak sekenanya saja. Bahkan ia menyerang pemuda itu dengan segenggam tanah yang dilemparkan ke mukanya, karena ia memang tidak bersenjata.

Akhirnya pemuda itu menjadi gusar.

Kisah Terkait

Nagasasra dan Sabuk Inten 4

kibanjarasman

Nagasasra dan Sabuk Inten 18 – Rara Wilis Menghilang dan Kemarahan Mahesa Jenar

kibanjarasman

Nagasasra dan Sabuk Inten 2

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.