Gaung lenguh dari tanduk kerbau yang panjang telah memenuhi udara sebagai babak baru. Perintah-perintah dari pemimpin kelompok terdengar bersahutan. Kesibukan luar biasa telah terlihat pada dua pihak yang berseteru. Dua kelompok besar yang sama-sama menata barisan.
Sejumlah pengawas dari kubu Ken Banawa melihat keadaan gawat saat debu tebal membumbung tinggi. Setelah mereka melakukan pengamatan yang lebih teliti, para pengawas terperanjat. Mereka melihat pasukan berkuda dalam jumlah yang cukup besar telah bersiap untuk melanjutkan perang.
“Mereka benar-benar siap menyerbu bahkan sebelum tanda perang belum ditiupkan,” kata seorang pengawal.
“Keliru, justru mereka mungkin meminjam gaung tadi sebagai isyarat penyerbuan,” sergah temannya. “Pasukan berkuda Majapahit, bisa jadi, akan kesulitan hari ini.”
Sebagian dari mereka bergegas melaporkan perkembangan terbaru pada Ken Banawa. Ken Banawa menerima laporan dengan kening berkerut. Dua pengawas menunggu keputusan Ken Banawa dengan gelisah.
“Kami siap perintah, Ki Rangga,“ kata seorang pengawas.
Ken Banawa meminta mereka untuk menunggu. Ia segera memanggil para pemimpin prajurit dan para pemimpin pengawal dari dua kademangan. Dalam waktu yang sedikit lama, mereka menimbang rencana setelah mendengar laporan para pengawas.
“Bagaimana mungkin mereka lakukan itu? Bukankah mereka pun prajurit seperti kita?” bertanya seorang senapati muda.
“Gaung tanduk kerbau, meski bukan sebagai tanda perang dapat dimulai, tetapi tidak ada ketentuan pasti tentang waktu pertempuran. Yang kita lakukan kemarin itu sepenuhnya berdasarkan kesadaran atau mungkin siasat. Musuh dapat saja berpiikir bahwa lawannya kalah dalam jumlah. Bisa juga mereka menyiapkan rencana yang lain. Perang adalah kekacauan yang penuh tipu daya,” kata Ken Banawa dengan pandang mata tertuju pada semua orang.
Sejenak keheningan mendekap mereka. Fajar belum menampakkan diri. Garis timur masih gelap.
“Saya pikir,“ Bondan berkata memecah kesunyian, ”selagi kita menyiapkan segala sesuatu atau membuatnya lebih sempurna, saya akan berbuat seperti yang dilakukan Ki Cendhala Geni. Mengacaukan barisan depan mereka dan melakukan sedikit benturan pada pasukan berkuda. Mungkin kekacauan itu akan dapat membuahkan hasil.”
Ken Banawa bertukar pandang dengan Gumilang kemudian menarik napas dalam-dalam. Setelah merenung sesaat, Ken Banawa bertanya pemimpin pasukan berkuda itu, ” Bagaimana menurutmu?”
Gumilang tercenung sambil berpikir keras tentang rencana Bondan. Kemudian katanya,”Pasukan saya dapat membendung laju mereka, tetapi, bila usaha Bondan benar-benar dapat mengacaukan mereka maka itu adalah pukulan kita yang pertama.”
Orang-orang berpaling pada Bondan dengan tatap mata penuh harap.
“Saya mengerti,“ kata Bondan, ”dalam waktu itu mungkin saja Ki Cendhala Geni akan menghentikan usahaku. Tetapi kita tidak mempunyai pilihan lain.”
“Saya akan berada di belakang Bondan, Paman,” kata Gumilang kemudian. ”Saya akan membagi pasukan ketika kami telah berjarak dekat dengan mereka untuk mengurangi tekanan.”
“Secepat apa engkau dapat menyiapkan pasukan?”
Gumilang memejamkan mata. Sebelum dua kali tarikan napas, jawabnya, “Sebelum daun sirih hancur, kami akan berada di sana.” Gumilang menunjuk sebuah tempat yang terpampang dalam gelaran gambar di hadapan mereka.
Sebelum Ken Banawa mengangguk setuju, Bondan telah berkelebat meninggalkan kemah, meluncur deras, menyerbu barisan terdepan pasukan Ki Sentot. Sepasang kaki Bondan begitu cepat dan ringan berderap, seolah-olah ia tengah melayang di atas permukaan tanah. Bahkan rumput pun nyaris tak bergoyang ketika tersentuh oleh kakinya. Sekejap kemudian ia telah membuka jalan masuk bagi dirinya sendiri.
Bondan membuat keonaran yang kurang lebih sama dengan kekacauan yang diperbuat Ki Cendhala Geni sehari sebelumnya. Ikat kepala Bondan meliuk-liuk, mematuk leher dan lambung kuda, tendangannya pun melemparkan setiap orang yang mendekatinya. Rupanya pergerakan Bondan telah berada dalam perkiraan Ki Cendhala Geni. Lelaki tua berkemampuan tinggi, bahkan dikabarkan setara dengan Mpu Nambi, pun menghentak kekuatan, mengerahkan kemampuannya bergerak cepat, menuju angin ribut yang ditimbulkan oleh Bondan.
Tak lama setelah itu, Bondan mengangkat kepalanya dan menoleh ke satu titik yang semakin lama semakin dekat dengannya. Ia memutuskan untuk menyongsong orang yang getaran kakinya seolah menimbulkan gempa bumi. Bondan berlari kecil ke arah orang yang berlari melebihi kecepatan anak panah. Dan ketika jarak keduanya semakin dekat, Bondan berjongkok di atas satu lututnya lantas melempar segenggam anak panah ke arah orang itu.
“Gandrik!” geram orang itu lalu mengibaskan kapak yang tajam pada dua sisinya. Kegeraman itu membuatnya semakin menghentakkan kecepatan berlari sehingga tanah semakin tergetar lebih keras.