Kemudian kata Lembu Daksa, ”Menurut ayah memang tidak pantas seorang lemah dan bukan keturunan orang kuat dapat menjadi raja. Dan itu pula yang dijadikannya alasan bahwa keturunan dari orang itu adalah orang-orang lemah dan golongan yang rendah.”
“Hmm, apakah itu dapat disimpulkan bahwa anggapan Ki Wisanggeni berasal dari pengaruh Arya Wiraraja jika Sri Rajasa adalah orang lemah dari golongan rendah?” tanya Bondan dengan melirik Gumilang.
“Mungkin, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa itu merupakan kesimpulan dari Ki Wisanggeni sendiri. Dan Lembu Daksa, apakah engkau tahu bahwa Sri Rajasa adalah keturunan Mapanji Garasakan?” Gumilang bertanya.
“Bagaimana penjelasan Senapati tentang kemungkinan itu?”
“Mapanji Garasakan adalah raja Panjalu. Dan engkau tahu bahwa Panjalu dan Jenggala terperangkap pertikaian untuk sekian lama. Selain itu, aku mendengar, beberapa orang dari istana Panjalu sempat berusaha memusnahkan keturunan Baginda Airlangga yang berada di wilayah Panjalu. Dari penuturan sejumlah tetua dan dapat dipercaya, Sri Rajasa adalah salah keturunan dari Mapanji Garasakan yang selamat dari upaya mengerikan itu. Salah seorang putri Mapanji Garasakan yang biasa disebut Wening Bethari kemudian menyeberang ke Jenggala.” Gumilang menghela napas ketika membayangkan seorang wanita yang berani berbeda pendapat dengan keluarganya lalu menempuh perjalanan berbahaya untuk menyelamatkan diri dari keluarga yang bersengketa.
Kemudian ia melanjutkan, ”Dalam masa yang panjang pada akhirnya dari wanita menurunkan seorang lelaki yang bergelar Gajah Harsana. Orang inilah yang menjadi ayah Sri Rajasa. Sedangkan nama lahir Sri Rajasa sendiri adalah Sadarpa Aswatama sesuai yang dipesankan oleh ayahnya jika lahir bayi lelaki. Lalu seorang telik sandi mengabarkan ke istana bahwa telah lahir seorang bayi lelaki yang diramalkan akan mengguncangkan tlatah Kadiri. Sejumlah pasukan dari kotaraja kemudian mendatangi tempat tinggal ibu Sadarpa lalu membawa wanita malang itu ke kotaraja. Sedangkan Sadarpa Aswatama yang berusia sangat muda itu telah dilarikan ke luar padukuhan dengan bantuan seorang brahmana.”
Suasana di dalam kemah itu terasa sunyi ketika Gumilang menceritakan kisah yang sangat jarang diketahui orang.
Bondan lekat memandang Gumilang sambil bertanya-tanya dalam hatinya, “Dari mana didapatnya pengetahuan seperti itu?”
Dan Lembu Daksa juga mempunyai pendapat tersendiri tentang kisah yang dituturkan Gumilang. Bahwa pada kenyataan sehari-hari, dengan umur yang tidak berbeda jauh dengannya, Lembu Daksa juga menempatkan penghargaan tinggi untuk Gumilang yang telah menjadi perwira dalam pasukan berkuda Majapahit.
“Ah,” desah Lembu Daksa.
Gumilang lurus menatap wajahnya. Mendung yang kelam seakan terlihat bergantung di atas kepala Lembu Daksa.
“Aku kira tidak seorang pun di antara kita yang menghendaki keadaan seperti yang aku jalani saat ini,” kata Lembu Daksa kemudian. Bondan dan Gumilang bertukar pandang namun mereka tidak berkata-kata.
Lalu Lembu Daksa melanjutkan, ”Beberapa waktu terakhir aku sempat berpikir, apakah ini semua adalah balasan perbuatanku di masa lalu?” Ia memandang dua orang di dekatnya bergantian. Seolah ingin mendapatkan sebuah jawaban yang dapat membantunya dalam membuat keputusan.
Gumilang menarik napas dalam-dalam lalu berpaling pada Bondan, katanya, ”Aku tidak mempunyai pendapat yang dapat meringankan beban Lembu Daksa. Sementara aku sendiri tidak ingin menambah beban pikirannya.”
“Sebenarnya,” ucap Bondan dengan tarikan napas panjang, ”setiap orang akan terhubung dengan segala peristiwa yang dialaminya. Meskipun satu perbuatan telah dilakukan dalam waktu yang sangat lama di masa silam, namun perbuatan itu tetap mempunyai kemungkinan untuk membawa akibat di masa mendatang.” Bondan mengubah letak duduknya.
“Pada mulanya aku berpikir bahwa keputusanku untuk menjadi prajurit Majapahit adalah bagian dari baktiku pada ayah dan ibu. Dan aku juga meyakini bahwa hidup sebagai prajurit adalah bentuk lain dari perintah Yang Maha Kuasa,” kata Lembu Daksa lirih.
“Ia tidak pernah menyuruh seorang dari kita untuk menjadi orang yang selalu memegang senjata,” sahut Gumilang.
Lembu Daksa tersenyum. Ia mengerling pada perwira muda itu sambil berkata, ”Perintah itu memang tidak dinyatakan secara tegas. Tetapi aku melihatnya dari sisi yang berbeda. Menjadi prajurit adalah tugas kemanusiaan yang tidak dikatakan-Nya secara langsung.”
Mendengar penjelasan Lembu Daksa, Gumilang menganggukkan kepala kemudian tanggapnya, ”Maka dengan begitu tidak ada kesalahan yang kau perbuat di masa lalu.”