Pada bagian lambung di belakang pasukan Warastika, terlihat pasukan yang dipimpin Ra Caksana – yang berwajah sedikit bundar – dapat memecah kerumunan barisan pasukan Ki Sentot yang berhasil menyusup ketika Warastika terdesak. Dengan mantap pasukan ini merangsek maju mendekati bagian dalam yang menopang kekuatan Ubandhana. Melihat pasukannya bergeser mundur, Ubandhana mencoba melepas tekanan lawannya namun usahanya menemui jalan buntu. Beberapa prajurit dari Ra Caksana dapat menghambat alur bantuan yang datang mengarah ke Ubandhana.
Ubandhana yang mulai terkepung pun bertempur semakin ganas dan liar.
Pragola membawa pasukannya bergerak maju menuju dinding yang merupakan barisan kelompok yang dipimpin Ra Caksana. Dua kekuatan besar saling bertumbuk. Pada medan yang tak luas karena terhimpit gerak pasukan induk, maka arena itu menjadi semakin penuh gegap gempita. Dentang suara senjata beradu, pedang yang saling berbenturan, perisai yang saling bertumbukan, tombak yang terpukul patah ditambah dengan jerit kesakitan dan teriakan kematian semakin menggoncang suasana.
Korban mulai jatuh satu per satu dari kedua pihak. Darah meleleh membasahi baju, kulit dan tanah.
Matahari sedikit bergeser ke barat. Asap mulai terhempas oleh angin yang bertiup menyapu dataran perbukitan.
Di bawah mendung yang tipis berarak, pasukan gajah yang dipimpin Mpu Tandri telah merangsek maju dan membuat barisan Sumur Welut porak poranda. Upaya Gumilang untuk melumpuhkan pasukan gajah belum berhasil. Di tengah upaya yang belum menunjukkan hasil, Gumilang memutuskan untuk mengubah susunan barisan. Kelompok yang menghambat laju gajah digesernya untuk menggebrak lawan yang berada di belakang pasukan gajah. Sementara yang lainnya memukul pasukan gajah secara silang menyilang.
Teriakan Gumilang yang lantang memberi perintah kepada pasukannya segera dilakukan pasukannya tanpa pertanyaan dan kekhawatiran. Mereka lekas memenuhi perintah Gumilang dan pergerakan yang tiba-tiba itu memberi kejutan pada lawan yang berada di sekitar mereka.
Seorang pasukan berkuda Gumilang yang bertubuh besar melompat dari punggung kuda. Ia menubruk gajah dari sebelah samping, dengan tombak terhunus Ia menikam tepat pada mata gajah yang ditunggangi Mpu Tandri. Gajah itu pun melengking kesakitan yang memekakkan telinga. Sejenak kemudian gajah itu melangkah tak tentu arah dan seringkali melibas pasukan Ki Sentot.
Keberhasilan prajurit berkuda yang bernama Wiranta ini disambut dengan sorak sorai bergemuruh pasukan Sumur Welut. Sedangkan Wiranta sendiri terjungkal karena tergores tombak Mpu Tandri. Seorang temannya yang berada di sebelah kudanya segera menaikkan Wiranta ke kuda lalu melarikan Wiranta menuju garis belakang.
Gumilang yang kebetulan tidak menyaksikan sendiri itu segera mengerti bahwa seeorang dari pasukan Jala Bhirawa yang dipimpinnya telah berhasil menembus bagian lemah dari gajah. Lalu Gumilang menghela kuda, menyibak barisan dan mendekati pasukannya untuk memberi pesan tentang bagian terlemah dari gajah.
Kegelisahan merambati Ken Banawa ketika tahu bahwa pasukan Mpu Tandri mampu menekan barisan terdepannya. Sedangkan pada barisan itu, Ken Banawa menumpukan harapan bahwa mereka akan mampu menopang Gumilang sebagai belalai. Namun gelisah itu tak mengendap lama dalam hatinya sewaktu terlihat seekor gajah mulai lepas kendali. Ia menarik napas lega yang cukup dalam. “Gumilang akhirnya mengetahui cara melumpuhkan gajah-gajah itu,” gumam Ken Banawa dalam hatinya.
Namun di bagian lain, Ki Sentot yang menyaksikan seekor gajah mulai hilang kendali bergumam dalam hatinya, “Agaknya Mpu Tandri kesulitan mendobrak barisan depan Sumur Welut. Rasanya akan ada sesuatu yang tidak berjalan seperti yang aku rencanakan.”
Pasukan Jala Bhirawa kini mulai menjalankan peran sebagai belalai dari susunan Dirada Meta. Gerak laju pasukan gajah pasukan Ki Sentot mulai dapat dihambat. Mpu Tandri segera melompat turun dari gajah sesaat tubuh gajah sedikit terhuyung kemudian roboh.
Tombak Mpu Tandri yang runcing pada kedua ujungnya berputar dengan garang. Mpu Tandri bertarung dengan sengit sehingga beberapa prajurit Sumur Welut roboh ketika mencoba membatasi ruang geraknya. Mpu Tandri bertarung dengan kemarahan yang meluap-luap, ia berusaha untuk dapat bertemu dengan senapati yang memimpin pasukan berkuda. Bagi Mpu Tandri, kematian gajah yang ditungganginya adalah sama dengan merendahkan harga dirinya. Ia merasa terhina dan baginya itu adalah aib yang mencoreng mukanya.